Home Default Blog

Biennale Jogja 17 Titen : Pengetahuan Bertumbuh, Pijakan Berubah
ARTIKEL

Biennale Jogja 17 Titen : Pengetahuan Bertumbuh, Pijakan Berubah

Rabu, 4 Oktober 2023. Biennale Jogja 17 menggelar jumpa pers di Taman Budaya Yogyakarta
yang dihadiri oleh seniman, kurator serta Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Lebih dari
60 seniman dari berbagai Negara di Eropa Timur, Asia selatan serta Indonesia ikut terlibat
dalam acara Biennale Jogja 17 kali ini yang diselenggarakan di beberapa titik di daerah
Yogyakarta diantaranya ada di Taman Budaya Yogyakarta, area Panggungharjo serta area
Bangunjiwo, Bantul.

Biennale Jogja merupakan Biennale internasional yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan diorganisir oleh yayasan Biennale Yogyakarta.
Biennale Jogja pertama kali diselenggarakan pada tahun 1988.

Dari tahun 2011 hingga tahun 2021, Biennale Jogja meluncurkan proyek Biennale Jogja
Ekuator (BJE) di putaran pertama Biennale Jogja memiliki fokus pada kawasan khatulistiwa.
Penyelenggaraan Biennale Jogja Ekuator putaran kedua (2023-2027), tahun ini berbeda
dengan residensi sebelumnya karena tidak hanya melampaui gagasan ekuator sendiri, tetapi
ekuator itu sekarang menjadi spirit dengan ruang penyelenggaraan agenda-agenda Yayasan
Biennale Yogyakarta.

Judul pada Biennale 17 tahun 2023 ini diberi nama “Titen: Pengetahuan Bertumbuh, Pijakan
Berubah”. Menggambarkan suatu gerakan yang beragam. Titen atau Niteni merupakan asal
kata dari Bahasa Jawa, yang diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca
tanda-tanda dari alam. Berpikir melalui Titen adalah bagian dari usaha untuk membawa
semangat dekolonisasi dalam produksi pengetahuan serta untuk melestarikan cara pandang
dari kelompok lokal dan masyarakat yang telah tumbuh.

“Kami memilih judul Titen jadi judulnya sengaja diambil dari bahasa Jawa jadi kalo orang
bilang Niteni, atau Titen. Bagi kami bekerja dengan warga di beberapa desa itu menjadi
sebuah upaya mendokumentasikan pengetahuan untuk berguru kembali kepada alam untuk
mencoba menelisik atau membaca sebuah kehidupan atau konteks ekologis yang kita
hadapi dalam kehidupan di desa,” ujar Alia Swastika selaku Direktur Yayasan Biennale
Yogyakarta, Rabu, 4 Oktober 2023.

Jumpa pers bersama para seniman dan kurator, Jogja, Rabu, 4 Oktober 2023 (Foto: Karin Alifa/LPM Daunjati)

Menggunakan konsep trans-lokalitas untuk menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas
dengan lokalitas lain. Biennale Jogja kali ini mengumpulkan seniman, komunitas, ilmuwan
adat untuk menjadi wadah pertemuan serta pertukaran pengalaman melalui kerja seni
budaya, dari berbagai Negara seperti masyarakat First Nation di Australia, kelompok indian
di Amerika, masyarakat adat di Kanada, serta para seniman dan kelompok seni di Indonesia.
“Setelah tema ekuator selesai di tahun 2021 yayasan biennale Yogyakarta kemudian
bergeser untuk memasuki tema baru yaitu trans lokalitas dan trans historisitas. Dari sini kita
juga ingin gagasan geopolitik menjadi satu arena yang lebih luas jadi tidak hanya dengan
Negara-Negara di kawasan ekuator tetapi mendefinisikan ulang apa itu gerakan perubahan
untuk Negara Negara selatan dalam konteks diplomasi global sekarang ini,” tutur Alia
Swastika.

Di tahun 2017 Biennale Jogja menandai gagasan trans lokalitas itu bagaimana
praktek-praktek seni kontemporer menjadi media dari kehidupan bersama. Pandemi
mengajarkan banyak terutama melihat pengetahuan lokal dan bisa jadi agen sangat penting
bagi kehidupan kontemporer, jadi bagaimana praktek lokal, pengetahuan lokal ini menjadi
spirit baru.

“Jadi teman teman disini akan bercerita bagaimana para seniman kemudian secara langsung
bergerak dalam dinamika kehidupan desa dan menjadikan desa suatu pijakan suatu upaya
untuk membuka percakapan bersama,” tutur Alia Swastika.

Biennale Jogja 17 memulai kerja-kerja kuratorialnya dengan pembahasan tentang bagaimana
memaknai seni, seniman, ekosistem seni dalam upaya menuju dekolonisasi pengetahuan.
Para kurator yang terlibat pada biennale jogja kali ini datang dari konteks ruang dan sejarah
yang berbeda seperti, Yogyakarta, Nusa Tenggara, Nepal, Asia Selatan dan Eropa Timur.
Namun terdapat kesamaan yang berkaitan dengan situasi politik masa kini yang merupakan
dampak panjang kolonialisme, pertumbuhan kapitalisme global dan ketimpangan relasi
kuasa antar kelompok manusia.

“Banyak sekali kontek-konteks lokal yang berbeda di Indonesia sendiri dan di karya pun
menggaris bawahi bagaimana ketika para kuratorialnya terutama juga memperluas dan
menatap sejarah seni Indonesia yang selama ini sangat didominasi oleh narasi – narasi dari
Jawa,” ujar Alia Swastika.

Kemudian bisa kita lihat beragamnya partisipan dalam acara tersebut, termasuk seniman,
kepala desa, petani, dan perempuan yang mengorganisir ibu-ibu rumah tangga dari berbagai
kampung.
Salah satunya ialah seniman asal Indonesia yaitu Monica Hapsari, melakukan residensi
selama dua bulan lebih di Dusun Sawit, desa Panggungharjo. Praktek langsung, latihan Gejog
Lesung bersama Ibu-Ibu kemudian berkolaborasi membentuk kelompok Gejog Lesung dan
menghasilkan karya lagu baru.

“saya dengan ibu-ibu bikin lagu ga cukup sebulan, kan biasanya residensi sebulan beres kita
bikin karya, ternyata dalam sebulan saya harus mendapatkan trust nya ibu-ibu terlebih
dahulu,” ujar Monica.

Pada jumpa pers Biennale Jogja dihadiri juga oleh Guru Besar Ilmu Susastra FIB Universitas
Indonesia, Prof Melani Budianta PhD salah satu akademisi yang tidak hanya menulis buku
dan teori saja tapi memang terjun pada konteks-konteks yang langsung serta memberikan
pandangannya seputar Biennale Jogja.

“Seni sebagai intervensi di ruang ruang publik itu sudah biasa dan sekarang diletakan disebar
di desa, ini mencoba meresistensi desa sebagai tempat selfie, tapi desa sebagai
benang-benang ruang dialog terjadinya suatu peristiwa seni hingga bersama sama saling
belajar,” tutur Prof Melani.

“.. yang menjadi terobosan dari Biennale ini, masyarakat bukan penonton, dia juga bukan
yang diajari oleh senimannya untuk menjadi seniman, tapi senimannya itu menganggap
masyarakatnya itu sudah seniman semua dan mereka belajar bersama membuat sesuatu
yang berbeda, jadi disini ada terobosan-terobosan yang politis di kota Jogja.” ujar Prof
Melani.

Pewarta : @didannpermana
Penyunting : @rifkarhmd
Dokumentasi : @karinalfrhmdhn
Layout dan Design : @meylfinr