Home Default Blog
Titik balik merebut kemerdekaan berdasar pada kebebasan berpikir dan berekspresi yang hidup dalam bayang represi.
Penetapan penerapan berdirinya pers Indonesia tak lepas dari kesadaran para tokoh pemikir di era kebangkitan nasional, yang memiliki kesadaran bahwa peranan media massa amat begitu penting dalam penyadaran akan kesamaan nasib yang dialami oleh masyarakat Nusantara waktu itu.
Dengan kehadiran kolonial Belanda yang menjajaki bumi Nusantara di awal abad ke-17, mereka menguasai segala bentuk pemberitaan dan informasi di kalangan masyarakat Indonesia dengan kepentingan 3G (Gold, Glory and Gospel). Setelah itu, di abad ke-19 baru muncul beberapa surat kabar yang menggunakan bahasa daerah setempat seperti Brotamani (1855) yang muncul di Surakarta dan menggunakan bahasa Jawa.
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) tentang Pers, menuturkan bahwa: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kontribusi pers cakupan Nusantara dipelopori oleh Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo atau biasa dikenal Tirto Adhi Soerjo, seorang anak dari golongan Priyayi Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro dan cucu dari Raden Mas Tumenggung Tirtonoto di Blora Jawa Tengah pada tahun 1880. Tirto membentuk dua media cetak yang seratus persen dikuasai oleh pribumi bernama “Soenda Berita” dan kedua, “Medan Prijaji”
7 Februari 1903, Tirto Adhi Soerjo mendirikan Soenda. Berita koran pertama Nusantara yang dimodali dan diisi tenaga-tenaga pribumi yang mempunyai label “kepoenjaan kami pribumi” sebagai ciri bahwa media tersebut dikuasai sepenuhnya oleh rakyat Nusantara. Namun, tak lama berselang di antara 1905-1906, media tersebut mengalami krisis finansial dan terpaksa gulung tikar.
Kebangkrutan tidak menghalanginya untuk kembali pada gelanggang pers nasional. Tirto kembali membentuk Medan Prijaji sebagai wadah baru pemberitaan dan pemantik kesadaran nasional. Medan Prijaji terbit perdana pada 1 Januari 1907 di Bandung, bertujuan untuk membela nasib rakyat dan mengkritik pemerintahan Hindia Belanda.
Sebagai pemantik gelora pembebasan, Medan Prijaji membuat artikel pertama pada surat kabar yang berjudul “Boycott”, artikel ini ditujukan untuk masyarakat agar tidak mematuhi perintah Belanda yang mengharuskannya kerja tanpa henti. Medan Prijaji menjadi media arus utama dengan 2.000 pelanggan tetap. Di bawah kepala surat kabar Medan Prijaji tertulis “orgaan boeat bangsa jang terperintah di Hindia Olanda, tempat memboeka soearanja”. Moto yang disampaikan oleh Tirtohadisoerjo pada masa itu sudah dianggap radikal, dibandingkan dengan moto yang digunakan surat kabar lain, seperti Sinar Sumatra “Kekallah keradjaan Wolanda, sampai mati setia kepada keradjaan Wolanda”.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah “pribumi” ‘Indonesia asli’.
Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” resmi berbadan hukum. NV (Naamloze Vennootschap) atau perseroan terbatas alias PT ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, seperti Poetri Hindia juga Soeloeh Keadilan. Kemulusan jalan itu tak lain karena beliau memperoleh bantuan dari bangsawan lokal dan saudagar anak negeri. Di Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan inilah beliau memantik dan menyadarkan bahwa Bangsa Nusantara sedang mengalami penjajahan dan harus melawan. Medan Prijaji memiliki kebijakan, memberikan kesempatan kepada para pembacanya untuk menulis dan mengadukan berbagai persoalan yang berhubungan dengan hak mereka. Tirto akan memberikan komentar untuk surat-surat yang masuk. Bagi mereka yang memiliki kasus hukum, Medan Prijaji akan menyiapkan pembela. Medan Prijaji mencatat telah membantu 225 kasus masyarakat yang berurusan dengan pemerintah. Mulai dari penjual ikan pindang hingga sultan di luar Jawa-Madura.
Dan karena itu, Tirto dibawa ke meja hijau pada 1912 dan diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Maluku. Di tahun yang sama pula, Medan Prijaji berhenti mencetak surat kabar karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya, Belanda melikuidasi aset pribadi Tirto yang menyebabkannya semakin terpuruk dalam pengasingan. Setelah diasingkan, dinamika sosial di Jawa sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Tirto mulai dilupakan orang-orang, ditambah ia selalu diawasi pemerintahan Belanda karena track recordnya, hingga 7 Desember 1918 Tirto menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang ke-38 tahun.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pramoedya membentuk tokoh rekaan historis dalam novel tetraloginya. Seperti tokoh Minke yang tampaknya merupakan perwujudan R.M. Tirto Adhi Soerjo, bapak kewartawanan berbahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah menumbuhkan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906. Berhubungan dengan ini, dapat dikatakan bahwa, walaupun ada banyak kemiripan antara watak utama Minke dan R. M. Tirto Adhi Soerjo, mereka tidak seluruhnya identik. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya tetap harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah (dalam wawancara 17 Juni 1991). Oleh sebab itu, tokoh utama dalam tetralogi ini bukan Tirto, melainkan Minke sebagai seorang tokoh buatan yang bersumberkan sejarah. Mengenai pengambilan tokoh Tirto, ia menjelaskan sebagai berikut. “R. M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres. Ini nilai kultural yang telah dicapai oleh R. M. Tirto (surat kepada Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Feb. 1987).”
Menurut Pramoedya Ananta Toer, Tirto Adhi Soerjo dijulukinya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada 1973 secara resmi Dewan Pers Republik Indonesia menetapkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional dengan penetapan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto yang menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Hari Pers Nasional (HPN) di Indonesia diperingati setiap tanggal 9 Februari sebagai bentuk penghormatan terhadap peran pers dalam pembangunan bangsa. Sejak pertama kali diperingati pada tahun 1970, HPN menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan pers di Indonesia.
Antara Tirto Adhi Soerjo dan Pramoedya Ananta Toer merupakan reka kritis dalam pembebasan pemikiran dan pembongkaran ketidakadilan melalui bentuk penulisan sebagai perlawanannya. Mereka menghasilkan bacaan-bacaan populer yang berkembang di antara masyarakat, terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin. Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Penyebaran gagasan dalam bentuk bacaan politik tersebut berkenaan dengan konsep pergerakan. Kedua tokoh ini, Pramoedya dan Tirto, juga menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya dilakukan melalui tindakan fisik, tetapi juga melalui pemikiran dan tulisan. Karya-karya mereka menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan penting mengenai keadilan sosial dan hak asasi manusia. Perayaan Hari Pers Nasional menggarisbawahi pentingnya media yang bebas dan independen dalam menumbuhkan masyarakat yang terinformasi.
Sosok Tirto dan Pram menyuarakan kebebasan dalam berpikir yang tak lekang waktu, hal itu menjadi polemik tersendiri. Di tahun 2025, masih ada kekhawatiran bahwa media di Indonesia tidak cukup mewakili suara kelompok minoritas dan isu-isu yang berkaitan dengan keadilan sosial. Banyak jurnalis yang berjuang untuk mengangkat isu-isu ini, tetapi seringkali terhambat oleh bias editorial atau tekanan dari pemilik media. Ketika media berkomitmen pada prinsip keberagaman dan inklusi dalam pemberitaan mereka agar dapat mencerminkan realitas masyarakat yang beragam. Isu keberagaman dalam pemberitaan masih menjadi sorotan.
Hari Pers Nasional tahun 2025 menjadi momen refleksi yang penting bagi pers di Indonesia. Tulisan ini, terutama menjadi pengulangan titik awal hidup pers melalui tokoh Tirto dan Pram, dan kekalnya hasil karya bacaan menjadi pemikiran yang hingga seabad masih diabadikan. Terlepas dari kontroversi yang ada, mulai dari kebebasan berpendapat, regulasi media, hingga tantangan lainnya. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa pers dapat berfungsi secara efektif dalam masyarakat demokratis. Untuk itu, inklusifnya berita antara sisi marginal dan rentan masih harus diperdengarkan, dikuatkan, dipertahankan, hingga akhirnya tetap dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kebebasan pers dan keberagaman suara di Indonesia.
Refleksi Hari Pers Nasional 2025: Kebebasan Pers, Tantangan Digital, dan Warisan Perjuangan
Prabowo Subianto pada media Instagramnya menyatakan, “Para insan pers setanah air, Pers menjadi pilar informasi mengapresiasi insan pers yang menjalankan pekerjaannya. Pers yang profesional yang punya integritas adalah aset bagi negara. Pers Indonesia harus mengutamakan kepentingan Indonesia. Perlu saya ingatkan Pers Indonesia harus selalu mengutamakan kepentingannya bangsa negara dan rakyat Indonesia harus waspada terhadap usaha-usaha untuk mengendalikan pemikiran, dan mempengaruhi jalannya opini-opini rakyat dengan menggunakan modal yang besar. Ada kecenderungan di dunia ini, mereka-mereka yang punya modal besar, menguasai media dan ingin mempengaruhi masyarakat negara-negara tertentu. Walaupun kita menjunjung tinggi kebebasan pers, tetapi harus mewaspadai berita hoax, kebencian, ketidakpercayaan sesama warga negara, upaya pemecah belah. Pers yang dinamis, bertanggung jawab, yang memiliki suatu pengertian tentang apa yang menjadi kepentingan Indonesia. Cita-cita pendiri bangsa, yang pancasila– yang terlibat pada pembangunan bangsa yang commit pada kesatuan Indonesia”
Perkembangan teknologi digital memang membawa tantangan baru bagi pers di Indonesia, Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menerapkan berbagai regulasi yang dianggap membatasi ruang gerak pers.
Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sering kali digunakan untuk menindak jurnalis yang dianggap menyebarkan berita bohong atau informasi yang merugikan pihak tertentu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis dan aktivis hak asasi manusia bahwa regulasi tersebut dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Salah satu kontroversi utama yang dihadapi pers di Indonesia adalah masalah kebebasan berpendapat. Meskipun secara konstitusi, kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dalam praktiknya, banyak jurnalis yang mengalami tekanan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan kelompok-kelompok tertentu.Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam kebebasan pers, tantangan yang dihadapi masih signifikan.
Warisan tokoh-tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer dan Tirto Adhi Soerjo dirayakan karena kontribusi mereka telah membuka jalan bagi kehidupan kontemporer untuk melanjutkan perjuangan demi kebenaran dan keadilan di masyarakat Indonesia. Tema-tema perlawanan dan ketahanan yang ditemukan dalam karya-karya Pramoedya beresonansi dengan perjuangan yang sedang berlangsung dan dihadapi oleh para jurnalis di Indonesia, terutama dalam konteks penyensoran dan penindasan politik. Atas kebebasan berpendapat dan pembungkaman paksa.
Selain itu, persinggungan antara sastra dan jurnalisme lebih jauh dicontohkan dalam cara narasi Pramoedya yang sering kali mencerminkan realitas sosial-politik eksplorasi Pramoedya terhadap tema-tema seperti kolonialisme, nasionalisme, dan kesenjangan sosial memberikan konteks yang kaya untuk memahami tantangan yang dihadapi pers di Indonesia. Kemampuan sastra untuk merangkum isu-isu sosial yang kompleks memungkinkan keterlibatan yang lebih dalam dengan publik, menumbuhkan budaya berpikir kritis dan dialog. Dengan demikian, karya-karya Pramoedya tidak hanya berfungsi sebagai mahakarya sastra tetapi juga sebagai teks-teks penting untuk memahami evolusi jurnalisme Indonesia dan perannya dalam mengadvokasi perubahan sosial.
Pada akhirnya, hubungan antara Pramoedya Ananta Toer dan Tirto Adhi Soerjo dicirikan atas kesamaan bentuk perjuangan dalam penulisan, mereka yang memiliki komitmen terhadap keadilan sosial, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat Indonesia. Mengembangkan suara yang diperjuangkan melalui karya yang kekal. Keberhasilan konstruksi kritis yang masih menjadi polemik hingga kini. Kontribusi mereka secara signifikan telah membentuk lanskap sastra dan jurnalisme Indonesia, menjadikan mereka bagian integral dari wacana yang sedang berlangsung seputar identitas nasional dan peran pers dalam masyarakat yang demokratis. Perayaan Hari Pers Nasional kemarin, 9 Februari 2025 menjadi bukti bahwa kekuatan pemikiran kritis dalam penulisan sangat penting atas perlawanan ketidakadilan, penindasan, dan hal marjinal yang masih terus diperjuangkan.
Sumber:
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/R_M_Tirto_Adhi_Soerjo | Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
https://doi.org/10.24036/jfe.v4i1.160 | Asar, A. (2024). Diskriminasi pada masa kolonialisme belanda dan jepang dalam novel bumi manusia dan novel perburuan karya pramoedya ananta toer: sebuah studi historiografi. Jurnal Family Education, 4(1), 71-79.
https://doi.org/10.37052/ml34(1)no4 | Ismail, A. (2021). Pramoedya ananta toer’s novels on independence revolution from the perspective of journalistic hegemony. Malay Literature, 34(1), 69-88.
https://doi.org/10.19105/ghancaran.v1i1.2946 | Rm, F. and Aflahah, A. (2019). Kolonialisme dan nasionalisme dalam novel bumi manusia karya pramoedya ananta toer. Ghancaran Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 1(1), 10-25.
https://doi.org/10.46444 /wacanasaraswati.v23i2.673 | Wiratama, I. (2023). Intertekstualitas pandangan feminisme tirto adhi soerjo dan minke dalam novel bumi manusia. Wacana Saraswati Majalah Ilmiah Tentang Bahasa Sastra Dan Pembelajarannya, 23(2), 27-40.
Penulis: Sophia Septiani
Foto: Laurancia Melani Yuswantoro
Penyunting: Marissa Anggita