Home Default Blog

DIHENTIKAN REKTORAT, KELAS TERAKHIR SEKOLAH MARX TETAP DIGELAR
ARSIP

DIHENTIKAN REKTORAT, KELAS TERAKHIR SEKOLAH MARX TETAP DIGELAR

Bandung, Daunjati (19/05) – Satu hari setelah penghentian resmi Sekolah Marx oleh pihak rektorat ISBI Bandung atau Sembilan hari setelah penyerudukan oleh ormas Front Pembela Islam ( FPI) dan pembiaran oleh pihak  kepolisian, LPM Daunjati akhirnya memutuskan tetap menggelar Sekolah Marx dengan tema ”Penciptaan Teater berdasarkan Pemikiran Karl Marx” hari kamis 19 Mei 2016. Sebagai pemateri adalah DN Udung (Universitas Sanatadarma Yogyakarta) menggantikan Dr. Benny Yohanes, S.Sen, M.Hum yang menolak meneruskan perkuliahan.

Mengambil tempat di  ruangan BEM ISBI Bandung, DN Udung lebih banyak mengurai Marxisme dan pengaruhnya pada  konsep dramaturgi Bertold Brecht dan Agusto Boal. Pada konsepsi dramaturgi yang digagas oleh kedua tokoh tersebut, lahir sebuah reaksi dialektis atas melembaganya puitika aristoteles pada khazanah sastra drama di era yunani-klasik, dengan trilogi tragika-nya ; poema, pathema, mathema, yang mendasari bahwa semua tragedi yang dialami manusia adalah an sich terberi (given), tidak bisa dan tidak mungkin untuk dirubah. Pembacaan yang lebih bergerak, dalam era-borjuasi, ketika dominasi kebangsawanan eropa mulai digugat oleh para borjuis-pengusaha, seperti hadir dalam naskah-naskah Hendrik Ibsen maupun Anton Chekov, yang menyimpan  visi ilusif sastra drama, melalui konsepsi ruang empat-dindingnya, membuat kekedapan teks terhadap semua yang berada di luar dinding. Visi realisme dalam teater membuat framing akan realitas, menjadi senyatanya seperti apa yang digiring oleh pengarang, apa yang bisa dibaca dari tragika aristoteles ataupun visi ilusif realisme adalah bagaimana teater dibayangkan sebagai sebuah dunia yang steril dan kedap interupsi, dimana teater menjadi sebuah alat persuasi satu arah dengan premis yang hegemonik.

Bertolak dari tragika Aristoteles maupun visi ilusif realisme, dengan basis dialektika Hegel dan praktik pengubahan realitas dari Karl Marx, hadir dua tokoh teater yang berpraktik di Jerman juga di Amerika Latin, yaitu Bertold Brecht dan Augusto Boal. V-Effekt atau yang lebih dikenal dengan teori alienasi pada dramaturgi Bertold Brecht mencoba keluar dari sekedar estetitasi kesusastraan semata, yaitu bahwa juga terdapat; visi sosial juga politik di dalam teater, yang padanya dia bisa langsung menghubungkan apa yang ada di dalam pertunjukan dengan apa yang ada di luar pertunjukan. pembayangan ini bisa mengkritisi realitas optis yang dibangun di dalam panggung, juga membatalkan tujuan naluriah dari dramatik itu sendiri, apabila tidak dan hanya membuat realitas bersembunyi. Teater  bukan menjadi arena penggugahan perasaan, tetapi mampu membobol katup keacuhan para penontonnya akan situasi sosial yang sehari-hari dialaminya, membocorkannya menjadi sebuah praktik nyata yang bergerak – sehingga Bertold Brecht tidak menempatkan pertunjukannya sebagai premis komunikasi yang tertutup, semakin terbuka maka semakin besar pula kritisismenya terhadap realitas.

Augusto Boal membawa dialektika pemanggungan Brecht langsung pada lokus konflik itu sendiri, jika pada Brecht, fase persuasi masih harus berada pada dialektika, antara teks yang terberi dan teks yang dikritisi, artinya komunikasi teks masih pada fase resepsi yang berjarak.

Alih-alih menggerakan irama dramatiknya di dalam panggung, Boal langsung datang dan memetakan pola dramaturginya langsung pada konteks konflik-nya. Boal langsung hadir dan mendata aspek-aspek dramaturgi yang tersebar di dalam lapangan pra-pertunjukannya; jika dia hendak mengolah ruang opresif yang ada di dalam pasar maka dia akan terlebih dahulu meriset beberapa kategori konflik yang hadir, yang bisa dia serap dan jadikan impuls pertama pertunjukan, misal atas ; tengkulak pasar, pembeli, pengecer, penadah, calo dan preman pasar. Pembacaan Boal akan realitas pra-pertunjukan selalu berada pada bimbingan seorang marxis yang taat, dimana tidak pernah ada realitas yang nyata senyatanya, dimana selalu ada kuasa di balik semua realitas, dan kerja teaternya bertugas untuk membongkar realitas tersebut langsung melalui sistem kerja teater pada dan di saat pertunjukan itu berlangsung. Konsep teater Boal sendiri dikenal dengan istilah ‘The Joker’ yaitu sang peran yang memahami dan sang pemeta ulung, serta sang pemeran ulung atas semua masalah yang terpapar di lapangan konflik. The Joker bertugas memerankan dan menerangkan semua hal yang berceceran dan tidak terdata di dalam peta masalah, yang selama ini disembunyikan dalam agenda kerja kapital.

Diikuti oleh 30 peserta kelas nampak hidup, meskipun kelas ini terbuka bagi masyarakat umum, tapi ternyata  mayoritas peserta adalah mahasiswa Jurusan Teater  ISBI Bandung. Dalam sesi tanya jawab terjadi perdebatan sengit antar peserta, John Heryanto menyatakan relevansi  pendekatan Boal sambil dipertemukan dengan performance art, dia percaya percampuran tersebut dapat menjadi jalan keluar bagi teater yang selama ini mandeg karena tidak lagi tangkas menjawab persoalan-persoalan aktual. Bagi John kekuatan teater sekarang mesti bisa menangkap peristiwa dan kemampuannya mencipta peristiwa baru.

Berbeda dengan John, Iwan Setiawan malah mengkritisi pendekatan Boal, bagi Iwan pendekatan Boal menghilangkan daya puitika, apa artinya teater tanpa puitika? Dia juga mengkritisi  pendekatan Boal di Indonesia telah jatuh pada pemakaian teknik-tekniknya yang hanya digunakan untuk kepentingan pragmatis, pendekatan Boal di Indonesia bagi Iwan telah kehilangan gagasan ideologisnya dan rawan dimanfaatkan kepentingan kapitalis. Sambil tetap mengakui kontribusi Boal, pendekatan Boal menyadarkan seniman teater dari konsep-konsep utopis menjadi praksis, selain itu  kerja riset seperti yang dilakukan Boal menjadikan seniman teater menjadi lebih realistis untuk terlibat dengan gerakan-gerakan lain demi menciptakan perubahan sosial. Mengakhiri perdebatan John menyatakan puitika pada Boal bukan pada bahasa metaforik tapi pada perubahan masyarakat itu sendiri.

Di Jurusan Teater ISBI Bandung sendiri dasar kurikulum yang digunakan adalah Realisme. Sepanjang studi mahasiswa dibekali pendekatan akting Stanilavaskiyan dan banyak membawakan lakon-lakon realisme barat. Meskipun begitu di luar studi formal bermunculan bentuk-bentuk teater eksperimental. Generasi paling baru berupaya membagi waktu; di dalam perkuliahan mereka menciptakan teater realisme sesuai kepentingan kurikulum, di luar mereka melakukan kerja eksperimen meskipun  masih menggunakan pendekatan akting Stanilavsky dan pola dramaturgi Aristotelian. Sejumlah teknik dipelajari: butoh, tari, bela diri dan performance art. Meski  sekolah marx dianggap selesai oleh Rektorat dan dielaborasikan dalam mata kuliah. Namuan panitia tidak begitu saja membiarkan nasib Sekolah Marx menggantung. “Dengan dilanjutkannya  sekolah Marx ini, sebagai bukti bahwa kami tidak begitu saja menyepakati. Bukankan sekolah, belajar dan berpikir adalah hak setiap orang yang dijamin oleh undang-undang” tegas  Mohamad Chandra Irfan sebelum materi ‘Penciptaan Teater berdasarkan Pemikiran Marx’ dimulai.

 

[Ganda Swarna]