Home Default Blog
Mengusung tema “From Shelf to Self-Expression : Exploring Ready – Made” dalam kegiatan Art school roadshow salah satu rangkaian Jakarta Doodle Fest yang dilaksanakan Kamis, 3 Oktober 2024 bertempat di Design Center ITB berkolaborasi dengan KMSR (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) ITB dihadiri oleh puluhan pengunjung. Heru Hikayat sebagai kurator seni rupa, Attina Nuraini dan Evan Driyananda sebagai seniman REEXP (REcycle EXPerience) menjadi narasumber dalam kegiatan roadshow tersebut.
Berdasarkan press release Jakarta Doodle Fest (JDF) merupakan ajang selebrasi seni visual yang digawangi oleh media TFR News hadir kembali tahun ini dengan tema baru: “Art to Cart”. Tema baru ini bertujuan mengangkat pentingnya bagi para seniman untuk tidak hanya berkarya tetapi juga untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari karya mereka, karenanya program-program yang ditampilkan dalam JDF 2024 pun banyak yang mengangkat isu tersebut, di antaranya merupakan roadshow ke berbagai sekolah dan fakultas seni di Indonesia yang tahun ini akan mengunjungi Jakarta, Bandung, dan Malang.
Melalui pemaparannya dalam roadshow, Heru berbicara mengenai perayaan keseharian dalam seni rupa kontemporer. Keseharian yang dimaksud adalah bermula pada inspirasi dari Marcel Duchamp yang menampilkan sebuah urinoir dengan tanda tangan ‘R.Mutt’ sebagai karyanya yang berjudul “Fountain” pada tahun 1917 pada pameran seni rupa di Grand Central Palace, New York. Berdasarkan hal tersebut sebagian orang menyebutnya skandal tetapi sebagian yang lain menyebut hal tersebut adalah sebuah revolusi atas konsep dasar mengenai karya seni. Hal itu menjadi sebuah perdebatan sehingga pada akhirnya karya Marcel Duchamp terbukti bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah inovasi penting dalam dunia seni. Lalu, mengapa karya “Fountain” menjadi begitu penting? melanjutkan pemaparannya bahwa karya “Fountain”menjadi penting adalah karena tiga hal; Pertama, dalam karya “Fountain” Duchamp menunjukan bahwa karya seni menjadi penting bukan karena kualitas visual maupun selera yang baik ataupun buruk. Karya seni menjadi penting sebab ia diperlakukan penting. Kedua, Visual indifference yang dinyatakan oleh Duchamp serta prinsip “total absence of good or bad taste” yang merujuk pada benda keseharian, Jika dulu karya seni dianggap lahir dari “ketiadaan” dan senimanlah yang membuatnya menjadi “ada” Duchamp merombak semua itu dengan menunjukan bahwa karya seni dilahirkan seniman dengan merujuk pada keseharian. Ketiga, Benda sehari-hari, barang produk industri massal, objek-objek fungsional, semuanya bisa menjadi seni, jika seniman mampu memperlakukannya dengan cara tertentu yang diterima oleh medan seni, Istilah yang kemudian dipakai untuk mewadahi ide ini adalah yang disebut Readymade.
Pemaparan lebih lanjut bahwa Prinsip lain yang kemudian dianggap penting di era pasca Readymade Duchamp adalah bahwa tangan seniman tidak sendirian menghasilkan karya, ada banyak tangan lain yang turut bekerja dalam membuat karya seni itu, dalam prinsip ini diartikan kontribusi seniman terletak pada keberaniannya dalam memilih dan dalam menawarkan cara pandang baru, “Selalu berharap ada karya-karya yang menunjukan terobosan dalam penjelajahan artistik” Heru dalam wawancaranya. Berbicara mengenai keseharian bahwasannya dulu karya seni dihasilkan dengan berpijak pada narasi-narasi agung contohnya kisah-kisah biblikal, mitos penciptaan, ataupun potret kalangan ningrat, kegiatan sehari-hari dari kehidupan orang-orang biasa, dianggap tidak cukup penting untuk dijadikan karya seni, revolusi ala Duchamp menjadi terobosan prinsip elitis tersebut bahwa Karya seni dapat dihasilkan dari benda keseharian yang berasal dari kehidupan orang banyak, karya seni pun bisa dihasilkan dari benda-benda produksi massal, dalam hal ini perlu digaris bawahi yang menjadi penting dari seniman itu sendiri adalah tawaran cara pandang baru yang kemudian memantik praktik pemaknaan atas keseharian itu sendiri. Terakhir, Heru dalam tanya jawab memberikan tips penting untuk membuat sebuah karya yang merujuk pada keseharian adalah yang dapat dilatar belakangi oleh skala, momentum dan perspektif.
Selain berbicara keseharian dalam seni kontemporer pada art school roadshow adapula pemaparan mengenai REEXP atau REcycle EXPerience by Attina Nuraini dan Evan Dryananda, keduanya merupakan seorang seniman yang menggunakan benda sehari-hari untuk berkarya.
REEXP itu sendiri adalah sebuah kegiatan berkesenian yang diawali dari ketertarikan terhadap pop culture dan toys art movement, menurut Attina dan Evan REEXP merupakan sebuah ekspresi yang lahir dari keinginan untuk merubah dan menata ulang berbagai benda temuan yang cenderung terlupakan bahkan kurang diharapkan keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sebuah media penciptaan karya seni dengan berbagai tahapan eksperimen dan eksplorasi dalam penggunaan teknik Potong Sambung Konstruksi serta found object sebagai teknik juga media utama yang digunakan dalam proses penciptaan karya.
Selama pemaparan mengenai REEXP dapat ditarik kesimpulan bahwa karya REEXP secara visual banyak terinspirasi dari beragam wujud karakter yang kerap hidup di alam imajinasi seniman, dilengkapi dengan sentuhan kebahagiaan, keajaiban, mimpi, dongeng, taman bermain, dunia imajinatif dan berbagai deformasi object, semua itu merupakan beberapa faktor yang banyak mempengaruhi ide dan gagasan seniman dalam berkarya, “Kita mengharapkan ada yang muncul karya-karya yang cukup menarik untuk dibahas sebagai karya yang baik” ucap Evan saat di wawancara mengenai output dari kegiatan roadshow. Dalam perjalanan berproses kreatif secara tidak langsung karya seni yang mereka ciptakan, ternyata dapat pula menyampaikan sebuah gagasan pelestarian lingkungan, adapun salah satu contoh adalah karya yang berjudul “(End)emic Animals Series” yang dibuat seperti hewan-hewan yang sudah punah sebagai bentuk protes terhadap perburuan hewan liar.
Dalam perjalanannya REEXP juga telah berkesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti pameran seni, Kolaborasi, lokakarya, Talk show dan bekerja sama dengan berbagai industri seperti desainer, perusahaan, musisi dan Instansi Pendidikan. Mereka solid dan vokal dalam membuat karya dari sampah utamanya sampah tekstil yang dibuat ulang sebagai suatu karya tiga dimensi yang lebih bernilai menjadi sebuah inspirasi bagi para peserta. Dalam akhir pemaparannya Attina dan Evan memberikan sebuah motivasi bagi para peserta roadshow bahwa jangan pernah berhenti berkreasi dalam mengembangan sesuatu yang sudah ada.
Salah satu mahasiswa Program Studi Kriya Fakultas Seni rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Christynt memberikan tanggapannya mengenai kegiatan roadshow “Kegiatan yang menarik bisa sebagai pushment saya untuk terus do something supaya tidak burn out” tambahnya kegiatan tersebut menjadi sebuah ajang kesempatan dalam berkarya meskipun ada sedikit ketakutan dalam membuat tantangan seni instalasi, Christynt cukup enjoy dalam mengikuti kegiatan tersebut. Adapula karya REXXP by Attina dan Evan yang cukup menarik perhatiannya yaitu berjudul “Play in the Universe”, sebuah karya yang diciptakan dari limbah tekstil dan dibuat untuk berinteraksi dengan pengunjung.
Penulis : Hana Diah Khoerunnisa
Dokumentasi : Dokumentasi Art School Roadshow Bandung JDF 2024
Penyunting : Ossa Fauzan N.