Home Default Blog
Menentukan sikap untuk tidak memilih atau biasa disebut golput memang masih menjadi perdebatan. Terlebih di momen Pemilu 2019 yang sudah tinggal menghitung hari ini. Menjelang pemilu serentak April ini, jumlah kelompok golput diperkirakan akan meningkat. Tren kenaikan ini sejalan dengan yang terjadi di pilpres sebelumnya. Dilansir dari tirto.id, menunjukkan bahwa jumlah golput naik dari 48,3 juta orang pada Pilpres 2009, menjadi 58,9 juta orang di Pilpres 2014. Dan, diperkiran akan bertambah 20 persen pada pemilu tahun ini.
Pada masa sekarang golput memang cenderung diartikan secara plastis dan lentur oleh kebanyakan masyarakat. Kadang mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan apolitik seperti bersantai di rumah, dipersamakan dengan mereka yang dengan kesadaran politik tertentu dengan datang ke TPS tapi merusak kertas suara. Padahal, tidak berarti kedua-keduanya bisa kita sebut golput. Jadi, sebenarnya apa itu golput?
Sejarah Munculnya Golput
Pada kemunculan pertamanya, istilah golput atau golongan putih di Indonesia merujuk sesuatu yang spesifik, menurut Ekspres edisi 14 Juni 1971, golput adalah sebuah gerakan untuk datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya. Hal itu akan mengakibatkan suaranya jadi tidak sah, dan tak dihitung. Jadi, para pemilih tetap pergi ke bilik suara. Tidak pasif.
Istilah golput ini berasal dari gerakan golongan putih yang digalakkan aktifis Arief Budiman. Gerakan ini berawal dari gerakan protes atas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang tidak demokratis pada masa Orde Baru (Orba) pada tahun 1971.
Mereka mendeklarasikan gerakan ini pada awal Juni 1971, sebulan sebelum pemilu pertama Orba itu. Kelompok pemuda ini juga membuat semacam simbol dan propaganda golput bikinan seniman Balai Budaya. Mereka lantas memasang pamflet simbol dan poster -poster propaganda tersebut di sejumlah titik di Jakarta. Sontak, aksi ini menimbulkan masalah pada pelaksanaan Pemilu 1971. Tindakan lebih jauh pun diambil rezim Orba. Menurut A. Samsuddin dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia dalam ‘Pemilihan Umum 1971: Seri Berita dan Pendapat’, rombongan golput yang sedang berjalan kaki dari gedung Balai Budaya menuju Bapilu Golkar di Jalan Tanah Abang III dicokok aparat. Kejadian itu persis di depan gedung Kodim. Mereka pun ditahan. Ekspres edisi 14 Juni 1971 menulis, ajakan menjadi penonton atau tidak memilih dalam Pemilu 1971 akan ditindak oleh pemerintah. Ancaman hukumannya lima tahun kurungan.
Pemilu 1971 adalah hajatan politik pertama di era Orba setelah 4 tahun Soeharto menggantikan kepemimpinan Soekarno. Kontestan partai politik jauh lebih sedikit dari Pemilu 1955. Sejumlah parpol dibubarkan, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Ada delapan parpol lama, satu parpol baru, dan satu organisasi peserta Pemilu yang ikut Pemilu 1971. Parpol lama antara lain Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Persatuan Tarbiah Islamiah (Perti), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Sementara parpol baru adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Muncul juga Golongan Karya (Golkar) untuk pertama kalinya sebagai peserta Pemilu.
Demokrasi Semu Pemilu
Di balik meriahnya hajat politik perdana di masa rezim orba, Pemilu 1971 hanyalah menjadi demokrasi semu belaka. Karena pemilu tersebut dipenuhi dengan banyak kecurangan. Meskipun Golkar baru pertama kali mengikuti pemilu, Golkar sudah diprediksi akan memenangkan pemilu karna disokong oleh banyak kekuatan.
Menurut Sejarawan Anhar Gonggong, Soeharto dengan berbagai cara, kata Anhar, berusaha melemahkan kekuatan parpol besar lain sambil membesarkan Golkar. Soal nama, misalnya, tidak digunakan istilah ”partai”, tetapi ”golongan”. Padahal, dalam praktiknya, Golkar jelas-jelas partai politik.
Lalu mulai tumbuh gagasan Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer sekaligus politik praktis penyokong Orde Baru. Struktur panitia pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri, dan pejabat penjabat dari Angkatan Darat. Saat hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga ketat polisi dan tentara. Saat itu juga, mulai dikenal istilah ”Serangan Fajar”, yaitu pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai pemerintah.
Golkar juga melakukan manuver politiknya di daerah-daerah , Soeharto mengintruksikan babinsa untuk membantu kesuksesan kampenya dengan melakukan kampanye di desa-desa bahkan memaksa warga untuk memilih Golkar pada saat pelaksanaan pemilu. Dengan semua manuver itu, walhasil Golkar pun menang telak. Golkar pun menjadi anak emas Orba yang berdiri
kokoh selama lebih dari 32 tahun lamanya.
Lalu, apakah golput merupakan tindak pidana dan melanggar hukum?
Dari pemaparan sejarah di atas, kita dapat memahami golput merupakan bentuk ekspresi politik dari masyarakat untuk memprotes keras, mengkoreksi sistem pemerintahan, dan menggugat sistem politik pemilu hari ini.
Tetapi, terkadang kita sering tertipu oleh bebagai upaya intervensi dari partai atau kubu paslon yang merasa dirugikan, dan juga pemerintah yang mulai ketar-ketir karena meningkatnya presentase golput di setiap tahunnya. Seperti slogan-slogan tentang bahaya golput, dan anjuran untuk mempergunakan hak politiknya hanya untuk memilih saat pemilu tanpa dibarengi dengan pendidikan tentang demokrasi dan politik terlebih dahulu.
Memilih atau tidak memilih adalah hak yang dijamin hukum. Sebab, pada pasal 28e Undang-Undang Dasar 1945 “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan pasal 23 Undang-Undang HAM yang berisi “(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan pilitiknya. (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa” juga menjamin golput sebagai hak.
Dalam dokumen resmi PBB tentang hak dan partisipasi dalam politik, menyebut bahwa pihak negara, termasuk Indonesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi. Jadi, kalau ada larangan untuk golput, larangan itu merupakan tindakan anti-demokrasi dan anti rule of law.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, juga tidak melarang seseorang menjadi golput. Bagi seseorang atau kelompok yang memilih untuk golput dan menyebarluaskan gagasannya agar mengambil sikap golput dalam pemilu 2019, artinya juga bukan sebuah pelanggaran hukum. Sebab hal itu merupakan hak politik warga negara sepenuhnya dan tidak terkena tindak pidana.
Pasal 308 Undang-Undang Pemilu juga harus dibaca jelas karena yang dilarang adalah tindakan pemaksaaan untuk memilih atau tidak. Jadi jelas bahwa golput bukanlah tindakan yang melanggar hukum, justru melarang seseorang untuk golput lah yang merupakan tindak pidana.
Nah, sebagai kaum muda kita harus lebih bijaksana menentukan pilihan kita, kita juga harus lebih kritis dan dialektis dalam melihat apa yang sedang terjadi. Jadi apa sarannya? Tentukan pilihanmu. Memilih atau tidak memilih, jangan sampai salah pilih! Milihnya 5 menit, sengsaranya 5 tahun.
daunjati/Sulistyo