Home Default Blog
Manifestasi Paham Absurditas Dalam Teater
Teater absurd merupakan genre drama yang berfokus pada eksistensialisme, isolasi, serta kekacauan alam pikir manusia. Genre ini berkembang pesat setelah perang dunia II di negara-negara Eropa. Menurut Martin Esslin dalam bukunya “The Theatre of the Absurd (1961)”, lahirnya teater ini dipengaruhi oleh filosofi absurdisme yang dipelopori oleh dua tokoh filsuf asal Prancis, yaitu Jean – Paul Sartre dan Albert Camus yang berargumen bahwa kehidupan pada dasarnya tidak memiliki arti intrinsik dan manusia perlu menciptakan makna sendiri dalam dunia yang kacau dan irasional. Ciri dari teater absurd dapat terlihat dari alur cerita yang tidak berpatokan disertai dialog yang berantakan serta terus berulang dalam mencerminkan kebingungan sekaligus ketidakpastian perasaan manusia yang dapat dilihat dalam teater “Waiting for Godot” (1952) karya Samuel Bennett, sebuah Tragicomedy menarasikan 2 orang bernama Vladimir dan Estragon yang ingin menemui sosok bernama “Godot” untuk mendapatkan sebuah pencerahan dalam hidup. Namun, walau sudah lama mereka menunggu, “Godot” tidak juga kunjung datang. Dalam rentang mereka bertemu sepasang pria lain bernama Lucky dan Pozzo dimana kemudian mereka ikut berdebat mengenai arti kehidupan.
Samuel Beckett sendiri sebenarnya lebih suka menyebut karyanya sebagai “Parabolic Drama”. Kata parabel dalam bahasa Yunani, yaitu Parabolē yang berarti menandakan. Secara umum diartikan sebagai sebuah perbandingan, atau paralel, yang dengannya satu hal digunakan untuk mengilustrasikan hal lain (John Dominic Crossan dalam Michael Y Bennet. 2011:115). Dimana dapat terurai menjadi 7 macam unsur utama yang meliputi : 1) Penggunaan metafora, 2) Perfomatif, 3) Penggunaan gestur dan bahasa secara Metonimik (mengungkapkan suatu hal dengan memakai kata lain), 4) Heterotopik (saling berbenturan satu sama lain), 5) Terdapat sebuah dilema dalam kekacauan konflik, 6) Reorientasi permasalahan, 7) Merenungkan kontradiksi kehidupan.
Pembawaan isu-isu sosial dengan sudut pandang yang subversif dalam genre ini sangat memerlukan tenaga ekstra dari para aktor dalam membawakannya dengan tetap “menghibur” kepada para penonton. Karena jika hal ini tidak dieksekusi secara benar, akan berefek domino pada pembawaan teater secara menyeluruh. Tantangan lain yang dihadapi ketika membawakan teater dengan genre ini, yaitu terdapat pada kecenderungan dialog yang monoton sehingga penonton awam bisa saja merasa jenuh di tengah pertunjukan.
Keberadaan teater absurd di Indonesia sendiri sudah mulai nampak pada akhir dekade 1970-an dengan munculnya garapan-garapan seperti “Bip Bop” (W.S Rendra), “Aduh” (Putu Wijaya) dan “Menunggu Godot” (Arthur S. Nalan) yang merupakan gubahan langsung dari “Waiting Godot” karya Samuel Beckett. Sebagai karya pionir dari teater absurd, termasuk pula dengan “BIUS” dari Benny Yohannes yang pertama kali ditampilkan langsung sebagai ujian tingkat akhir mahasiswa program studi Teater ISBI Bandung dalam minat pemeranan yang terdiri dari Faisal Khadafi (Orang Tua / MAUT), Monika Rusmarlina (AMIN), Aziz Ma’ruf (TUNA SUMANTRI) serta bidang artistik Rahmat Syahrif H.
Garapan ini secara sekilas hanya menampilkan mereka yang beradu argumen mengenai mereka di masyarakat ditambah dengan seorang orang tua yang sesekali menyela obrolan mereka dalam klinik kumuh nan gelap. Namun, jika kita telisik kembali secara mendalam terdapat berbagai simbolisme yang disisipkan dalam pertunjukan ini. Dimulai dari judul “BIUS” atau disebut juga sebagai “Anesthesia” dimana dalam bahasa Yunani memiliki arti “tidak bisa merasakan” sedangkan secara etimologis hal tersebut merupakan tindakan medis dalam mematikan syaraf-syaraf tubuh untuk sementara dalam tubuh manusia sebelum melakukan pembedahan. Begitu Pula dengan ketiga tokoh yang ditampilkan memerlukan waktu yang lama untuk bisa memahami empati satu sama lain karena sudah terbius terlebih dahulu oleh berbagai ego yang merasuki pikiran mereka .
Diagnosis Karakter
Nama dari setiap tokoh yang ditampilkan juga memiliki makna tersendiri yang dapat kita bedah, dimulai dari TUNA SUMATRI. Kata TUNA yang memiliki arti sebagai “seseorang yang memiliki suatu kekurangan”, di mana secara ironis hal tersebut bertentangan dengan profesinya sebagai seorang dokter yang dituntut dapat mengobati segala macam keluhan dari pasien yang mendatanginya, tetapi nyatanya ia melakukan malpraktik seperti menggunakan hipnotis secara obsesif tanpa sepengetahuan pasien, lalu memajang foto tersenyum pasien yang masih berada dalam pengaruh hal tersebut dengan menggunakan alat menyerupai tengkorak manusia sembari menyetel lagu orkestra klasik dengan tempo cepat. Profesi dokter juga bersinonim dengan kata MANTRI yang memiliki arti dalam KBBI sebagai “nama pangkat atau jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas (keahlian) khusus”. Lalu, terakhir nama SUMANTRI kemungkinan mengambil inspirasi dari tokoh pewayangan bernama Bambang Sumantri dimana ia merupakan seorang tokoh yang dikisahkan sebagai ksatria terhormat dengan dianugerahi kesaktian dengan senjata tombak bergerigi bernama cakrabaskara. Lambat laun, ia menjadi tamak akan kekuasaan, tetapi hal tersebut luntur ketika segala macam kemalangan menimpa dirinya.
Selanjutnya, AMIN adalah seorang penulis yang awalnya hanya menuruti segala perintah TUNA SUMANTRI, tetapi lambat laun memberontak dan selalu mencari pembenaran atas berbagai tindakan nekad yang dilakukan oleh dirinya. Terakhir, ada Orang Tua / MAUT dimana jika kata tersebut kita acak, akan membentuk kata UMAT dan TAMU, hal tersebut tercermin dari tindakannya sepanjang pertunjukan terlihat hanya memantau sembari sesekali menyela perdebatan dari AMIN dan TUNA SUMANTRI dari ayunan yang berada di sebelah kiri panggung.
Watak tokoh yang dominan muncul pada lakon ini memiliki akar pada sifat-sifat para kaum “elitis” yang merupakan suatu kelompok yang dianggap paling terpilih atau paling unggul dalam masyarakat. Gaetano Mosca, seorang sosiolog pencetus dari teori elitis klasik menjelaskan bahwa fenomena ini dapat muncul karena mereka memiliki kualitas-kualitas tertentu yang memungkinkan dalam mendominasi keadaan, seperti kecerdasan, keterampilan, dan akses terhadap sumber daya yang ada.
Refleksi Artistik
Dalam segi artistik, pertunjukan ini melakukan permainan cahaya yang membuat Setting panggung seolah terbagi menjadi dua, di mana bagian kanan panggung dibuat lebih terang, sedangkan bagian kiri dibuat gelap. Untuk hand property yang ditampilkan dalam garapan ini, membutuhkan kekuatan fisik dari aktor dalam mengeksplorasinya secara penuh. Secara keseluruhan, terdapat tiga rangka pintu besi kosong yang digerakan oleh para aktor, rangka lurus melambangkan ego, lalu rangka pintu miring melambangkan super-ego, serta rangka pintu rendah yang melambangkan id / insting. Hal tersebut merupakan referensi teori psikoanalisis kepribadian yang dicetuskan oleh seorang psikolog bernama Sigmund Freud. Terdapat juga peti berisi tulang rangka yang dapat digerakan 360° memiliki andil besar dalam mengungkap rahasia jiwa terdalam dari TUNA SUMANTRI. Pada akhir cerita tokoh AMIN terbunuh lalu dimasukan paksa ke dalam peti oleh TUNA SUMATRI bersama dengan Orang Tua / MAUT sebagai simbolisasi dari matinya semua pembenaran moral dari TUNA SUMATRI dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter, pada titik ini pula Orang Tua / MAUT mengungkapkan diri sebagai malaikat pencabut nyawa dari TUNA SUMANTRI.
Kostum yang dipakai oleh TUNA SUMANTRI secara sekilas terlihat seperti piyama, Namun, nyatanya memiliki motif garis-garis hitam lurus serta kumuh bak pakaian seorang narapidana disertai rambut panjang berantakan yang jauh dari stereotip dokter. Lalu, Tokoh AMIN memakai lingerie merah yang dilapisi jubah panjang serta kacamata hitam layaknya seorang eksibisionis yang haus perhatian. Terakhir, Orang Tua / MAUT memakai pakaian hingga 7 lapis yang dibuka satu demi satu selama pertunjukan berlangsung sebagai cerminan dari peryataan 7 lapisan langit yang ada pada agama-agama abrahamik
Kritik Klinikal
Pada adegan pembuka TUNA SUMANTRI berhasil memancing penonton dengan berteriak kencang lalu dilanjutkan dengan rutinitas “normal” dengan menggosok gigi sembari memakai jubah dokter kebanggaanya sembari memanggil semua pegawainya dengan gaya militer.
Namun, transisi dari tiap adegan masih kurang terkontrol oleh para aktor sehingga suasana yang ditampilkan dalam panggung menjadi stagnan terutama ketika memasuki paruh pertengahan dikarenakan intonasi dialog yang cenderung inkonsisten. Akan tetapi, hal tersebut masih dapat terselamatkan dengan pembawaan klimaks cerita yang berhasil memancing kembali perhatian penonton dengan terdapatnya adegan-adegan di luar dugaan seperti Orang Tua / MAUT yang tiba-tiba mengucapkan “Assalamualaikum” ketika TUNA dan AMIN sedang berdebat sengit lalu terdapat juga adegan perawat yang menjatuhkan diri ke dalam tumpukan sampah medis yang mereka buang sendiri. Para penonton pun agaknya masih terlihat bingung antara harus tertawa atau tetap diam ketika adegan tersebut ditampilkan, Di satu sisi, ada yang tampak menikmati momen tersebut dengan tertawa kecil, tetapi di sisi lain, ada yang justru memasang wajah bingung. Kombinasi antara humor dan situasi yang tak terduga membuat adegan-adegan tersebut menjadi salah satu hal yang akan selalu diingat penonton ketika tirai panggung telah ditutup
Sebagai akhir kata, saya akan menutup ulasan kali ini dengan sebuah kutipan:
Kau tak akan pernah bahagia
Jika kau terus mencari kebahagian itu seperti apa
Kau pun tidak akan pernah hidup
Jika kau masih mencari makna kehidupan
(Buku “Youthful Writings” Albert Camus, Oktober 1932).
Penulis : M. Haikal A. A.
Penyunting : Acep Muhammad S.
Dokumentasi : Rizki Novriyan E.