Home Default Blog

KASUS BUNUH DIRI HINGGA KRITIK DUNIA AKADEMIK DALAM TEATER “RUANG TUNGGU DALAM 7 FRAGMEN”
ARTIKEL

KASUS BUNUH DIRI HINGGA KRITIK DUNIA AKADEMIK DALAM TEATER “RUANG TUNGGU DALAM 7 FRAGMEN”

Adhyra Irianto merupakan seorang seniman teater asal Curup, Bengkulu. Beliau lahir di Curup, Bengkulu pada tanggal 14 Juli, 1988. Beliau merupakan pemilik sanggar teater Senyawa di kampung halamannya dan pemilik situs Pojokseni.com. Saat ini, beliau baru saja menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di ISBI Bandung. Pementasan karyanya berjudul “Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen” merupakan pementasan pertama kali dengan bentuk yang telah dimodifikasi dari bentuk karya sebelumnya yang berjudul “Ruang Tunggu”. Pementasan tersebut dilakukan di Gedung Rumentang Siang, Bandung pada tanggal, 7 Oktober 2023. Pementasan ini juga menjadi salah satu bagian dalam rangka memenuhi tugas akhir studi Pascasarjana yang dibimbing oleh pembimbing pertama dan kedua; Dr. Benny Yohannes Timmerman S.Sn., M.Hum., dan Dr. Yuyu Sukmawati Saleh., M.Si.

Sinopsis “Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen”

Pada “Fragmen pertama” diawali dengan kemunculan pria berpayung yang diperankan oleh Wanda Rahmad Putra. Ia bertekad untuk mengakhiri hidupnya oleh sebab ketidakbermaknaan hidup. Kemudian, muncul pria Necis yang diperankan oleh sang Sutradara Adhyra Irianto, memberikan nasihat serta harapan pada pria berpayung bahwa dalam menjalani hidup butuh sebuah harapan agar menjadi orang penting seperti pria Necis tersebut. Usai memberi nasihat, pria Necis memberikan bingkisan kepada pria berpayung yang di dalamnya ternyata berupa seuntai tali untuk gantung diri, sehingga hal tersebut justru memperkuat pria berpayung untuk mengakhiri hidupnya.

Pria Berpayung dan Pria Necis. Bandung, 7 Oktober 2024.
(Foto : Ruang Tunggu Theatre Team)

“Fragmen kedua”, menceritakan  pria muda yang diperankan oleh Ariel Valeryan juga ingin mengakhiri hidupnya karena ditinggal oleh mantan istri beserta anaknya yang  berusia 2 tahun. Disekelilingnya, berserakan barang barang yang memiliki kenangan dengan mantan istrinya yang kini tinggal di sebuah apartemen. Kemudian datang pria tua sekaligus pemulung yang diperankan oleh Fikri Husni, pria tua itu menginginkan barang yang berserakan tersebut. Agar dapat izin mengambil barang-barang yang berserakan tersebut, pria tua itu secara terpaksa mendengar keluh kesah pria muda perihal masalah yang dihadapinya. Kemudian pria tua memberikan beberapa nasihat-nasihat klise serta bujukan kepada pria muda agar melawan niatnya untuk mengakhiri hidupnya. “Lalu apa yang akan kau lakukan, mendatangi apartemen itu dan memukuli suami barunya?” tanya pria tua, “tidak, aku hanya ingin bunuh diri,” jawab pria muda yang telah berputus asa.

Pemulung dan Pria Muda. Bandung, 7 Oktober 2024.
(Foto : Ruang Tunggu Theatre Team)

Pada saat pria muda mengizinkan pria tua mengambil barang-barangnya yang berserakan, segera pria tua mengambilnya sambil memperhatikan satu-satu barang yang dirasa perlu diambil. Kemudian, secara tidak sengaja, ia melihat foto mantan istri pria muda dan berkata “perempuan di foto ini kah yang kau maksud mantan istrimu? Asal kau tahu, sekarang dia adalah istriku,” kata pria tua yang kemudian tertawa sambil meningalkan pria muda. 

“Fragmen ketiga”, menceritakan seorang mahasiswa yang diperankan oleh Muhfi Miftahul Fikri, yang telah melakukan riset biologi selama 2 tahun sebagai syarat kelulusannya. Namun, riset mahasiswa tersebut ditolak mentah-mentah oleh penguji karena ketidak sesuai dengan prinsip yang ditetapkan oleh penguji. Bahkan, mahasiswa tersebut dinyatakan telah “melecehkan sains”. Setelah kekecewaan dan depresi yang dialami mahasiswa tersebut, tiba-tiba datang karyawan kebersihan yang juga diperankan oleh Wanda, membantunya untuk lulus. Namun, dengan satu syarat bahwa mahasiswa tersebut harus membaca surat pernyataan pengakuan telah melecehkan sains dengan suara lantang. Mahasiswa yang telah kehilangan sedikit akalnya itu pun menyanggupinya. Setelah membaca surat pernyataan tersebut dengan lantang, karyawan kebersihan itu mengambil toga kelulusan dari tempat sampah dan dipakaikannya pada kepala mahasiswa tersebut. Akhirnya, mahasiswa tersebut diluluskan oleh karyawan kebersihan serta tetap berpegang teguh kepada asas-asas hasil risetnya yang ditolak oleh sang penguji dengan membuang semua berkas risetnya ke tempat sampah yang bertuliskan “Sampah dunia Ketiga”.

“Fragmen keempat” menceritakan tentang 3 orang pria diantaranya; pria berpayung, pria necis dan mahasiswa. Ketiga pria tersebut diceritakan sedang berada di stasiun untuk menunggu kereta yang membawa mereka ke tanah harapan. Kesal karena kereta yang ditunggunya tak kunjung tiba, tiba-tiba datang seorang pria sedang bersiul yang diperankan oleh Imam Khadafi, bermuka cerah dan riang gembira bak sang Mesias yang turun dari langit, menarik-narik mainan kereta api mininya dan mengajak ketiga pria yang sedang duduk di stasiun kereta api agar mengikutinya ke tanah harapan. Ketiga pria yang sudah frustasi dengan keadaan menunggu, akhirnya mengikuti pria bersiul tersebut walau pada akhirnya mereka berempat duduk menunggu bersama-sama kereta dengan tujuan tanah harapan tak tentu kapan tibanya, bisa jadi tidak akan pernah tiba. “Jadi, kalian ingin tau barang ini (mainan kereta api)? Maka, barang inilah harapan itu,” kata pria bersiul di tengah adegan fragmen keempat.

Pria Berpayung, Pria Necis, Mahasiswa, dan Pria bersiul. Bandung, 7 Oktober 2024.
(Foto : Ruang Tunggu Theatre Team)

“Fragmen kelima” menceritakan tentang pria muda yang mengenakan daster berwarna merah sedang bunuh diri. Kemudian datang seorang mahasiswa yang mencegahnya untuk bunuh diri karena ia tidak ingin repot mengurus orang yang sudah mati karena bunuh diri. Tiba-tiba datang hantu senior yang diperankan oleh Yeni Sari Ovikawati, memberikan tugas kepada mahasiswa tersebut untuk menakut-nakuti orang di kampus jika ingin mendapatkan poin sebagai syarat menuju gerbang akhirat. Secara mengejutkan, mahasiswa tersebut juga ternyata hantu, sehingga membuat pria muda menggagalkan niat bunuh dirinya tersebut karena lari terbirit-birit karena mahasiswa yang ternyata adalah hantu. “Pria muda yang kabur itu adalah ketua prodi,” kata hantu senior sambil tertawa bersama dengan hantu mahasiswa.

“Fragmen keenam” adalah tarian semi balet tanpa dialog yang dimainkan oleh Chandra Jumara Mukti. Gerakan tari ini terlihat penuh dengan perasaan depresi, amarah, dan keputusasaan ditambah dengan dukungan audio yang memperdengarkan cerita korban penyintas kekerasan seksual. Di tengah gerakan tarian yang diperagakan penari, muncul dua orang dari sayap kanan dan kiri panggung dengan pakaian yang serba hitam, membawa kuburan yang kemudian diletakkan di sisi penari dengan jarak yang cukup jauh.

Penari. Bandung, 7 Oktober 2024.
(Foto : Ruang Tunggu Theatre Team)

“Fragmen ketujuh” menceritakan 2 pria yang masing-masing diperankan oleh Muhfi dan Ariel. Diceritakan pria yang satu merupakan orang yang membela agama sedangkan pria yang menjadi lawannya adalah pria yang membela adat istiadat leluhurnya. Pertarungan tersebut sempat di jeda beberapa kali oleh kemunculan pria berpayung yang sebenarnya tidak berniat menghentikan pertarungan mereka. Pria berpayung hanya menyatakan bahwa dirinya memang suka kekerasan, terutama melihat ada yang berkelahi. Ia juga mempertanyakan kepada kedua orang yang bertarung tersebut “siapa yang antagonis diantara kalian?”. Namun, masing-masing petarung tersebut merasa bahwa mereka adalah kebenaran yang paling ideal, yang satu menganggap benar karena membela ajaran Tuhan, sedangkan lawannya menganggap benar karena membela adat istiadat leluhurnya. 

Setelah pria berpayung pergi, kedua orang tersebut bertarung dengan cara menari bersama. Setelah itu, pemain fragmen sebelumnya; pria necis, pria tua, pria berpayung juga ikut menari. Di tengah asiknya dansa sambil memutar jazz slow music dengan visual layar yang memperlihatkan perang dunia ke-2, tiba-tiba datang pria bersiul dengan membawa kereta mainannya itu. “Nahh, apakah kalian ingin ikut ke tanah harapan? Mari kita berangkat!” kata pria bersiul. Kemudian semua aktor yang menari tadi mengikuti pria bersiul itu, yang akhirnya menciptakan barisan untuk melakukan ojigi kepada para penonton sebagai bentuk rasa hormat dan maaf.

Analisis Pertunjukan “Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen”

Teater ini sangat menarik karena ceritanya yang terfragmentasi dalam 7 sesi, menciptakan kesan alur teater modern yang berbeda karena pada kebanyakan teater modern bersifat linier. Cara penyampaian kritik yang dibawa secara metafor, menjadikan teater ini terasa halus dalam menyampaikan pesan yang bersifat kritik.

Adhyra Irianto selaku sutradara sekaligus aktor mengatakan bahwa pementasan teaternya menggunakan komposisi absurdisme, montase, dan parabolik drama. Absurdisme adalah hal yang memayungi secara keseluruhan bentuk karya, montase adalah alur ceritanya yang berbentuk per-fragmen, dan parabolik drama adalah cara penyampaiannya.

Menurut Adhyra, dikatakan absurdisme karena beberapa dari ciri-ciri karakter dalam teater absurd adalah tidak ada yang dapat dianggap akhir dalam cerita karena alur ceritanya yang tidak beraturan, adegan-adegan yang dapat menggiring pada penegasian logika, seperti halnya; pria tua pemulung adalah pria yang menjadi suaminya mantan istri pria muda dan bersama istrinya tinggal di apartemen, dan memiliki stimulus untuk berkontemplasi terhadap makna dunia yang nirmakna. 

Kemudian alur ceritanya yang dibentuk secara per-fragmen mencirikan struktur teater montase, oleh sebab berbagai macam perbedaan bentuk cerita yang ditampilkan di atas panggung membentuk suatu ide dalam judul “Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen”. Di karya ini juga pergantian montase, adalah memulai cerita baru pada fragmen berikutnya (back to zero). Penjelasan lebih lanjut dari Adhyra, teater montase adalah teknik penggabungan antara cerita per-fragmen yang berbeda-beda. Walau terkesan abstrak, tetapi semuanya mengerucut pada sebuah ide pesan yang ingin disampaikan penulis naskah.

Sementara itu, masing-masing dialog per-fragmen terdengar sangat metafora. Menurut Adhyra, itulah yang disebut dengan parabolik drama. Istilah parabolik drama memiliki premis yang mendukung keterbentukan simbolisasi yang memperkuat impresi atmosferal pada suatu pesan yang disampaikan di atas panggung. Salah satu cirinya adalah bentuk penyampaian yang metaforis. Terlihat dari cerita masing-masing fragmen merepresentasikan sesuatu apa yang terjadi secara riil dari fenomena yang ada, tetapi dibawa dengan pesan yang penuh dengan nuansa metaforis dan performatif dari setiap dialog yang diperagakan para aktor yang penuh dengan nilai absurd, pengharapan dan kematian.

“…. kata Albert Camus, usaha yang sesungguhnya adalah bertahan di situ, selama mungkin, dan dengan cermat mengamati tumbuh-tumbuhan aneh di negri yang jauh. Memang kita butuh ketabahan hati dan ketajaman pikiran, apalagi melakoni permainan maut yang tak manusiawi itu, dimana absurd, harapan, dan kematian saling berdialog tanpa ampun” ungkap Wanda Rahmad Putra, pemeran Pria Berpayung dan Dosen teater ISBI Bandung, dalam cuitannya di akun Instagram @wanda_rp.

Kasus Bunuh Diri Menjadi Gagasan Karya Teater “Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen”

Secara garis besar, gagasan yang melatarbelakangi sang sutradara Adhyra Irianto adalah fenomena kasus bunuh diri di Indonesia yang secara statistik mengalami kenaikan, khususnya di provinsi asalnya yakni Bengkulu. Di tahun 2023, data di Indonesia tentang kasus bunuh diri tercatat sebanyak 1.224 jiwa. Sedangkan dalam tahun 2024 yang terhitung hingga bulan Agustus, data dari Pusiknas Bareskrim Polri terhitung sebanyak 988 jiwa. Tentunya, hal tersebut memiliki kenaikan yang cukup tinggi. Dalam kurun satu semester, hampir menyentuh angka seribu. Bahkan menurut Kompas, sekitar 850% kasus bunuh diri tidak terlaporkan dan kebanyakan kasus yang tidak terlaporkan itu berasal dari daerah pedesaan. Dari data keseluruhan tersebut, Provinsi Bengkulu menduduki peringkat ke-3 angka bunuh diri terbanyak di Indonesia dengan perhitungan kasar perbandingan antara kasus bunuh diri dan jumlah penduduk keseluruhan, yakni; 8,72 : 100.000.

Terkait dengan berbagai faktor dari berbagai kasus bunuh diri, Adhyra menilik dari pernyataan Emile Durkheim, bapak sosiologi dunia, menyatakan bahwa terdapat empat kriteria yang memicu tindakan bunuh diri, yaitu; egoistic, altruism, anomie, dan fatalistic. Egoistic adalah faktor bunuh diri karena lemahnya social integration. Minimnya nilai kolektivitas atau kerjasama dalam kelompok sosial karena lemahnya social integration, memicu bunuh diri secara egoistic. Sedangkan Altruism  adalah tindakan bunuh diri karena kuatnya social integration. Individu mendapatkan tekanan dari lingkungan sosial yang begitu kuat seperti kelompok dengan solidaritas yang sangat tinggi yang memicu konformitas individu akibat kuatnya arus social integration. Penuntutan untuk memenuhi lingkungan tersebutlah yang dapat memicu bunuh diri altruistik, salah satu contohnya; pengorbanan individu atas nama sebuah kelompok.

Anomie adalah bunuh diri karena perubahan bentuk yang sangat mendadak terhadap keterdampakan tujuan dan aspirasi suatu individu. Hal tersebut dapat dilihat sebagai contoh; seseorang yang bunuh diri karena krisis ekonomi yang membuatnya kehilangan pekerjaan secara mendadak, sehingga individu tersebut menderita kerugian finansial sejatuh-jatuhnya. Kematiannya merupakan bunuh diri secara anomik. Fatalistic adalah bunuh diri karena kekuatan aturan dalam masyarakat yang dianggap terlalu berlebihan. Individu yang tertekan oleh hal tersebut dan memilih bunuh diri merupakan bentuk bunuh diri secara fatalistik.

“Berapa banyak dari kita yang memiliki masalah, butuh tempat untuk berteduh. Namun sayang orang-orang yang tidak beruntung ini, malah makin menguatkan diri untuk mengakhiri hidup.” Ujar Adhyra Irianto

Kritik terhadap Dunia Akademik, Khususnya di Indonesia

Di fragmen 3, ditampilkan mahasiswa yang telah melakukan riset selama 2 tahun ditolak mentah-mentah karena metodologinya yang tidak sepandangan dengan sang penguji. Riset yang dilakukan mahasiswa tersebut dimetaforakan dengan keilmuan biologis terkait dengan perbedaan pandangan perihal jumlah kingdom. Penguji menganggap bahwa hanya terdapat 6 kingdom, dan landasan teori mahasiswa yakni Cavelier Smith adalah keliru tentang 7 kingdomnya dengan menambahkan kingdom Chromista; salah satu di dalamnya mencakup alga merah. Secara latar belakang, Cavelier Smith merupakan tokoh zoologi yang dengan teorinya menuai kritik dari berbagai kalangan peneliti zoologi, akan tetapi saat ini teorinya dapat diterima oleh banyak ilmuan di Eropa. Bahkan, Amerika telah mengklasifikasi kingdom menjadi 8. Berbeda dengan Indonesia yang secara umum masih mengklasifikasi kingdom dalam 6 kriteria.

Dari pemaparan itu, sang sutradara sekaligus penulis naskah mengkritisi sistem akademik yang banyak terjadi di Indonesia dari berbagai institusi pendidikan. Menurutnya dalam dunia akademik di Indonesia, masih banyak pengekangan terhadap kreativitas para akademisi dalam mencari berbagai landasan karena legalisasi keilmuan, walaupun  yang dikekang memiliki argumen yang sangat kuat. Sehingga bukannya menimbulkan keterbukaan pemikiran yang dapat menciptakan hal-hal baru, pada akhirnya cenderung bersifat dogmatis. Itulah kebanyakan hasil penelitian dari dunia akademik di Indonesia berujung pada istilah sampah dunia ke 3. Istilah tersebut secara simbolis diperlihatkan pada adegan mahasiswa yang membuang hasil penelitiannya ke tempat sampah yang bertuliskan sampah dunia ke-3.

Istilah sampah dunia ke-3, menurut sutradara berasal dari istilah “dunia ke-3”. Secara definitif, dunia ke-3 merupakan negara-negara berkembang yang pernah mengalami penjajahan. Berbagai daerah itu salah satunya adalah di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kaitannya dengan sampah, sutradara merepresentasikan berbagai hasil penelitian para akademisi yang pada akhirnya hanya menjadi tumpukan kertas berdebu. Apalagi, tumpukan kertas tersebut secara tidak sadar kelak hanya menjadi sampah yang diantaranya adalah tumpukan kertas skripsi, tesis, disertasi, hingga berbagai macam karya ilmiah lainnya yang terbit di jurnal atau dibukukan.

“Semua isu pertunjukan Ruang Tunggu sangat relevan. Apalagi di fragmen 3, aku cukup memperhatikan bagaimana burnout akademik masih menjadi persoalan pendidikan tinggi kita hari-hari ini. Melihat mahasiswa mengalami kelelahan fisik, emosional, mental akibat tekanan akademik yang berkepanjangan,” Ujar Wanda Rahmad Putra.

Kesimpulan

Teater Ruang Tunggu dalam 7 Fragmen merupakan teater absurd. Ceritanya yang terfragmentasi karena menyerpih dan memotong-motong, mencirikan syarat pada bentuk montase drama dengan parabolik drama sebagai cara apa yang ingin disampaikan melalui dialog metafor performatif. 

Keresahan pada meningkatnya angka bunuh diri di Indonesia, khususnya di Bengkulu menjadi ide dari terciptanya karya teater ini. Penulis naskah sekaligus sutradara berharap pada masing-masing individu untuk memaknai hidupnya, sehingga tidak ada bentuk bunuh diri yang sering muncul karena ketidakbermaknaan hidup. Selain itu, secercah kritikannya pada dunia akademik yang dirasa mencemaskan dirinya, disimbolisasikan pada istilah sampah dunia ke-3, menjadi harapan Adhyra terhadap progresi dunia akademik di Indonesia.

Teater ini sangat menarik. Cara penyampaian kritik yang dibawa secara metafor serta gagasan dari kasus bunuh diri di Indonesia sangat perlu diapresiasi, sebab dibawa ke dalam manifestasi absurdisme yang memberontak pada ke-nirmaknaan dunia. Oleh karenanya, perlu ada keberlanjutan dalam pementasan pertunjukan ini pada berbagai tempat di Indonesia dengan bentuk yang tentunya harus lebih baik dari pementasan pertama ini..

 

Referensi:

Arlinta, D. (2024, Februari 28). Sebanyak 869,10 Persen Kasus Bunuh Diri di Indonesia Tidak Terlaporkan. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/02/28/sebanyak-86910-persen-kasus-bunuh-diri-di-indonesia-tidak-terlaporkan-mayoritas-kasus-terjadi-di-pedesaan

Crossman, A. (2024, June 07). Émile Durkheim: “Suicide: A Study in Sociology”. Retrieved from ThoughtCo.: https://www.thoughtco.com/study-of-suicide-by-emile-durkheim-3026758

Muhammad, F. (2021, Januari 20). Mengapa Negara Diklasifikasi Sebagai Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga? Retrieved from National Geographic: https://nationalgeographic.grid.id/read/132509408/mengapa-negara-diklasifikasi-sebagai-dunia-pertama-kedua-dan-ketiga

Polri, B. (2024). Tindakan Bunuh Diri Nyaris Capai Seribu Kejadian dalam 9 Bulan. Retrieved from Pusiknas.polri.go.id: https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/tindakan_bunuh_diri_nyaris_capai_seribu_kejadian_dalam_9_bulan#:~:text=TAHUKAH%20Anda%3F,mulai%20Juni%20hingga%20Agustus%202024

Purwanto, A. (2024, Maret 14). Menyelisik Problematika Kasus Bunuh Diri. Retrieved from Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/14/menyelisik-problematika-kasus-bunuh-diri#:~:text=Pusat%20Informasi%20Kriminal%20Nasional%20Polri,di%20Indonesia%20mencapai%201.226%20jiwa.

Sudirman, R. W. (2024, Maret 14). 5 Provinsi dengan Angka Bunuh Diri Paling Tinggi. Retrieved from IDN Times: https://www.idntimes.com/health/fitness/rifki-wuda-sudirman/provinsi-dengan-angka-bunuh-diri-paling-tinggi?page=all

Susandro, D. (2020). Parabolic Drama: Penyangkalan Teoretik Terhadap Teater Absurd. Melayu Arts and Performance Journal, 49-61.

Tamam, M. B. (2016, November 22). Klasifikasi Kingdom Chromista. Retrieved from Generasi Biologi: https://generasibiologi.com/2016/11/artikel-ciri-ciri-kingdom-chromista-contoh.html


Penulis : Ossa Fauzan N. & Fikri Husni Hidayat
Dokumentasi : Ruang Tunggu Theatre Team
Penyunting : Acep Muhamad Sirojudin