Home Default Blog
John Heryanto
(Pertunjukan ke 9 Pada FTR V : Teater Beta, MA Attaqwa Pusat Putra Bekasi – Sebening Mutiara |Karya: Zahari Aksam , Sutradara: Ahmad Liwaul Hamdi)

Daunjati, Selasa sore (22/03) Hanyalah bunyi tetabuhan rebana dan alunan shalawat dari sekumpulan santri yang duduk melingkar mengantarkan si penghayat pada keremenangan pagi, dari sejuknya lampu-lampu, dari kehausan para lelaki yang menggoyangkan kepala. Begitulah peristiwa pertama menampakan dirinya di atas panggung semacam rutinitas keseharian yang mengantarkan pada aktifitas di warung kopi.
Warung menjadi perjumpaan kedua bergulirnya peristiwa di atas panggung dengan memetakan dirinya antara identitas kultur yang dibawa dengan teks. Tulisan Bang Madun menjadi cara lain untuk mengatakan letaknya di pinggiran kota besar dengan kebudayaan transisi antara desa dan kota, namun pemilik warungnya dari desa. Jadilah warung adalah tempat membicarakan keluh kesah, kegembiraan, dan gossip. semuanya terbuka seperti di desa. Di Warung itulah hampir keseluruhan adegan berlangsung dan keseharian menjadi cara lain untuk mengungkap bagaimana menjalani agama sebagai yang sederhana dan dekat.
‘Sebening Mutiara’ mengisahkan agama dan laku lewat bentuknya yang filmis. filmis sebagai strategi menggungkap apa yang tersebunyi di balik nama agama, sejenis pisau bermata dua. Melaui itu pula agama dikembalikan pada para pemeluknya sebagai yang sehari-hari.
Mata pertama; agama milik para pendakwah yang selalu berteriak Allahu Akbar, diwakili adegan Ust. Basyar yang menerima uang dari pengusaha untuk membayar biaya pendidikan anaknya, dimana uang tersebut masuk ke dalam saku baju sehingga lupa untuk dikeluarkan dan uang tersebut tinggalah dalam baju Ustad selamanya. Di tangan pendakwah pula agama menjadi fundamentalis yang dikit-dikit main pukul-pukul seperti yang dilakukan Ust. Basyar yang memukuli Ahmad tanpa pernah menayakan apa-apa, selain dari pada Kamu telah menghinakan agama, dan aku malu…

Sedangkan pada mata kedua, agama ditangan Ahmad menjadi yang biasa nyaris tak memperlihatkan apa-apa, ia hanya melakoni menunggu dan memasrahkan seutuhnya pada yang absolut sebagai kesatuan ruang dan waktu. Baginya yang ia pahami hanyalah ikhlas itu berani tak diketahui siapa-siapa.
Pada kedua mata pisau itulah para penghanyat seakan diajak untuk menelisik keadaan yang berlangsung disekitarnya ditengah maraknya aksi terorisme, keberutalan atas nama agama dan berbagi kekasaran lainya seperti yang dilakukan ormas-ormas keagaman yang turun dijalanan layaknya tukang jagal sambil bilang Allahu Akbar.
‘Sebening Mutiara’ mewarkan cara lain beragama sebagai yang dikemablikan ke pada tanah para pemelukanya sebagai yang sehari-hari. Bukankah kata agama itu berasal dari ageman (pakaian) sejenis sarung, peci, mukena, sorban dll yang dipakai di badan maka agama dapat dipakai siapapun dan apapun terserah pemiliknya. Kiranya sudah saatnya remaja memakai agamanya sendiri yang bukan berdasarkan para pendakwah yang fasis melainkan ngaca, ngaji jeung ngaci.