Home Default Blog

KONSER GITA SUARA CHOIR: BUKAN MENG-COUNTER BALIK ULAH ORMAS TERTENTU
ARSIP

KONSER GITA SUARA CHOIR: BUKAN MENG-COUNTER BALIK ULAH ORMAS TERTENTU

Berfoto seusai pentas (Foto: Instagram Barudak ISBI)
Jam delapan, malam itu (8/12/16) jalan di sepanjang Buah Batu terasa lembab sekalipun hujan sudah berhenti cukup lama. Sedari siang berkali-kali air deras mengguyur kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, yang bernomor 212 itu, hingga menyisaan udara dingin. Banyak orang telah berkumpul sejak pukul tujuh, tapi bukan hendak demonstrasi. Di dalam Gedung Kesenian Sunan Ambu, konser dimulai.
Ya, untuk kali pertama dalam sejarahnya, regu paduan suara mahasiswa yang sering dicap hanya sebagai pelengkap sajian protokoler dan seremonial wisuda ini menggaungkan ‘gemanya’ kepada khalayak di ‘rumah’ sendiri tanpa embel-embel wisuda. Dalam konser yang bertajuk ‘Untaian Manikam Nusantara Harmoni Indonesia’ inilah Gita Suara Choir memperdengarkan bahana melodi tradisi dari nusantara.
Konser dimulai dengan barisan beriring memasuki ruang proscenium yang ditata berundak di bagian muka. Senandung nada baritone yang monotone seolah diset dari para penyanyi itu untuk mengiring pranata baris disela lampu panggung yang bernuansa biru. Pekat magis dan padu padan sahut-menyahut penyanyi soprano dan alto ikut bersua laksana canon. Rangkaian ucapan berbahasa sunda kemudian dilantunkan laksana surup di tengah lautan bunyi. Dengan balutan kostum tradisionalnya, ‘penyurup’ yang berdiri sendirian pada baris depan itu mengawali ‘Rajah’, sebagai aransemen pertama.
Berikutnya lagu-lagu daerah dijalin dengan ilustrasi singkat oleh narasi verbal yang tidak menggunakan microphone, barangkali sang narator lupa dengan itu, namun hal itu rupanya tidak mengganggu terlampau jauh. Kondensor masih digantung di atas para penyanyi, beberapa alat juga berdiri dengan stand yang ada di muka. Sekalipun vokal penyanyi telah lantang, namun keberadaan perangkat elektronik itu cukup membantu blending dengan deretan pemusik yang telah standby di sisi kanan panggung.
Kami sudah pengen acara konser seperti ini dari sejak sepuluh tahun lalu”, kata Indra Yogaswara, konduktor senior Gitsu selepas acara tersebut yang menolak bahwa tema konsernya terkait pembalikan berita pemberitaan di media masa beberapa hari sebelumnya. Diakui juga oleh alumni ISBI yang akrab disapa Iyey ini bahwa motivasi acara benar-benar untuk wahana ekspresi grup semata-mata, tidak ada kepentingan di luar itu. Apalagi sampai seolah supaya menjadi wacana umum untuk menepis anggapan anti nasional dan anti toleransi yang tengah menjadi stigma Bandung akibat gerakan organisasi masyarakat tertentu di Sabuga beberapa hari sebelumnya.
Untuk prepare saja kami harus latihan sampai dua bulan, jadi ini murni keringat dan kerja keras”, Tegas Iyey yang dapat peran sebagai pengatur aba-aba bergantian dengan Aloysia Yuliana tersebut. Benar saja, gedung yang dipadati lebih dari lima ratus orang itu menjadi saksi usaha mereka. Instrumen pentatonik dipadu dengan selaras dan rampak pada jenis musik diatonis pada beberapa lagu seperti pada ‘Badminton’, Ibing Gotong Singa’, dan ‘Tokecang’ –ketiganya dari Jawa Barat.
Sela berubah ritme ketika peralihan musik bergeser ke Indonesia timur dengan instrumen yang lebih lambat seperti pada ‘Bolelebo’ (Nusa Tenggara Timur), ‘Hela Rotane’ (Maluku), dan ‘Ampar-ampar Pisang’ (Kalimantan Selatan), dan beberapa lagu lain hingga ‘Apuse’ (Papua). Agaknya peralihan semacam ini memang menjadi tantangan tersendiri yang menuntut kekompakan yang tinggi. Hal senada yang dituntut secara objektif untuk sebuah penyelarasan pada bagian akhir konser perdana ini.
Fase terakhir dari paduan suara ini menghadirkan komposisi medley antara ‘Bungong Jeumpa’ (Aceh), Sik Sik Sibatumanikam (Sumatera Utara), serta beberapa lagu lain hingga –dan lagi-lagi– sebuah lagu dari Papua yang sangat rancak, yakni ‘Yamko Rambe Yamko’. Euforia sedikit kendur saat bagian yang rancak ini diakhiri dengan lagu ‘Merah Putih’ ciptaan Gombloh. pada bagian akhir. Empat solois dengan warna suara berbeda secara bergantian bernyanyi, diikuti gabungan vokal seluruh penyanyi serta diakhiri dengan salutasi bersama para penari ilustrasi dan pemusik.
Sebuah pekerjaan rumah bagi Gitsu masih menanti. Standing ovation sesungguhnya merupakan bonus dari sebuah tuntunan atas tontonan yang disuguhkan. Sejauh mana ini nanti akan diperhatikan kedepannya sebagai perangkat manajemen pertunjukan yang memiliki ‘penggemar tertentu’ ini? Kita akan melihatnya pada Gitsu di tahun-tahun mendatang.
[Regy Lekan / Risetor Seni]