Home Default Blog

LAKI-LAKI, SINDEN, DAN DINAMIKA BERKESENIAN SEORANG SINDEN LAKI-LAKI: SEBUAH HASIL WAWANCARA DENGAN “MAMAH RR”
ARTIKEL

LAKI-LAKI, SINDEN, DAN DINAMIKA BERKESENIAN SEORANG SINDEN LAKI-LAKI: SEBUAH HASIL WAWANCARA DENGAN “MAMAH RR”

Sinden seringkali diidentikkan dengan penyanyi perempuan yang menyanyikan lagu-lagu bihari atau lagu berbahasa daerah pada pertunjukan wayang, jaipong, dan pertunjukan seni lain yang diiringi dengan alat musik tradisional dan para nayaga (sebagaimana dalam pertunjukan wayang golek). Namun kenyataannya, profesi sinden tidak hanya terikat pada perempuan saja, melainkan laki-laki pun dapat menjadi seorang sinden. Hal ini sebagaimana Ramadhan atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Mamah RR yang telah Daunjati wawancarai pada 6 Desember 2024 di sela-sela aktivitas latihannya di Gedung Karawitan ISBI Bandung.

Ramadhan Teguh Imana, atau Mamah RR merupakan salah satu sinden laki-laki jebolan Jurusan Karawitan ISBI Bandung, menurut penuturannya, sampai saat ini ia merupakan satu-satunya laki-laki lulusan Jurusan Karawitan di ISBI Bandung dengan tugas akhir kepesindenan, walaupun pada kenyataannya eksistensi sinden laki-laki bukanlah kali pertama ada, namun sinden laki-laki dengan didikan dan gelar “akademis”  barulah Ramadhan hingga saat ini.

“Dari dulunya juga ada (sinden laki-laki), ada sejarah sinden laki-laki tahun ’80-an, itu pak Soleh Sarirasa, kalau sekarang yang masih ada pak Atim Solehmuda,” terang Ramadhan.

Selaku laki-laki yang bergelut dalam profesi kepesindenan, Ramadhan mengaku bahwa latar belakang ketertarikannya dengan dunia kepesindenan dapat diteropong dari kecenderungan musik yang disukainya selama waktu kecil, seperti lebih tertarik dengan lagu-lagu degung dan kacapian dibandingkan dengan lagu-lagu kiwari. Kecenderungan kesukaan lagu-lagu inilah yang pada akhirnya membentuk ketertarikan Ramadhan dengan kepesindenan ketika masuk dunia perkuliahan di ISBI Bandung, Ramadhan mengaku bahwa ketertarikannya pada ranah kepesindenan murni dari diri sendiri tanpa ada inspirasi dari siapa-siapa, ketertarikannya pada kepesindenan bagaikan kodrat dari Ilahi.

“Kalau tertarik dengan dunia kepesindenan, mungkin ketika masuk ke ranah perkuliahan. Latar belakangnya (terjun ke dunia kepesindenan), kata keluarga sejak kecil juga ceuk kolot ti baheula oge teu resep kana lagu-lagu ayeuna, resepna kana lagu-lagu degung, kacapian [kata keluarga dari zaman dahulu gak suka sama lagu-lagu sekarang, sukanya pada lagu-lagu degung, kacapian], mungkin latar belakang (mengapa bisa terjun ke dunia kepesindenan) mah gak ada yang menginspirasi, karena memang sudah ada dari diri sendiri, geus ti kudrat ceuk kasarna mah [sudah dari kodrat kalau kata kasarnya mah],” jelas Ramadhan ketika ditanya bagaimana latar belakang mengapa bergelut di profesi kepesindenan.

Selain belajar kepesindenan di kampus, Ramadhan pun belajar kepesindenan di alam atau di luar kampus kepada salah satu sinden, yakni Mamah Peueut. Menurutnya cara pengajaran antara kepesindenan di kampus dan di luar kampus jelas berbeda, pengajaran kepesindenan di kampus menggunakan pendekatan teori lalu praktek dan terakhir evaluasi, sedangkan pengajaran kepesindenan di luar kampus menekankan praktek langsung di atas panggung yang mana seringkali jika terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam  melantunkan lagu langsung dikoreksi atau dievaluasi di atas panggung.

“Kalau belajar kepesindenan (di luar kampus), jadi kalau privat secara langsung mah engga, tapi kenal dengan seseorang yang saya anggap ibu, yakni kepada Mamah Peueut, tapi (belajar kepesindenan dengan Mamah Peueut] tidak secara privat seperti di perkuliahan –teu diwurukan [tidak diajarkan] secara langsung, tapi diajarkannya langsung praktek di atas panggung.” Ungkap Ramadhan.

Penampilan sinden laki-laki Ramadhan Teguh Imana, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Mamah RR ketika pentas di atas panggung (Foto: Ramadhan Teguh Imana)

Sebagaimana mempelajari segala sesuatu, belajar kepesindenan pun harus mengorbankan waktu yang cukup lama dalam berproses. Ramadhan menuturkan bahwa kurang lebih telah sepuluh tahun ia berproses dan belajar dalam mendalami dunia kepesindenan hingga mulai banyak manggung di mana-mana seperti sekarang ini.

“Saya terjun ke kepesindenan itu waktu pertama kali kuliah, mungkin dari semester satu sampai sekarang, ya sampai sekarang juga masih belajar-belajar untuk mengolah vokal, mengolah laras, mengolah rumpaka dan lain-lainnya, ada sepuluh taun mah (belajar kepesindenan,” tutur Ramadhan sembari mengingat-ingat berapa lama waktu yang dihabiskan untuk belajar kepesindenan.

Sinden Laki-laki: Mengalami Diskriminasi Karena Dianggap Bukan Ranahnya

Dalam konstruksi masyarakat di masa kini, yang mana dapat dikatakan dalam masa emansi perempuan agar terbebas dari cengkeraman patriarki, perempuan yang mengerjakan ranah laki-laki dalam kesenian (seperti menjadi penabuh kendang, pemain rebab, dan dalang) dianggap sebagai sesuatu yang mulai nampak wajar dan istimewa karena dianggap sebagai upaya penyetaraan gender dalam kesenian. Namun, ketika seorang laki-laki menggarap pekerjaan yang secara struktur sosial gender di masyarakat adalah pekerjaan perempuan (sebagaimana sinden) acap kali dipermasalahkan oleh masyarakat karena dianggap turun hierarki sosialnya, hal ini sebagaimana pengalaman empiris Ramadhan ketika pertama kali menyelami dunia kepesindenan. Ramadhan menuturkan bahwa ketika pertama kali terjun sebagai sinden laki-laki, ada sebagian masyarakat mempermasalahkan posisi dirinya sebagai seorang laki-laki yang bergelut dalam dunia kepesindenan.

“Iya dipermasalahkan (ketika seorang laki-laki menjadi sinden), semenjak saya terjun di dunia kepesindenan itu, sekarang mah banyak (sinden laki-laki) yang lain selain saya langsung ada yang menerima (jika seorang laki-laki menjadi sinden). Tapi kalo zaman dulu, pertama saya ada di panggung jaipongan, di panggung wayang, banyak yang kontra (jika seorang laki-laki menjadi sinden), karena gini, karena ada yang bicara kalau perempuan ke ranah laki-laki itu istimewa karena diangkat derajatnya, kalau laki-laki ke ranah perempuan itu jadi nurun (derajatnya), katanya gitu. Karena kan katanya laki-laki dulu (hierarkinya) baru perempuan, katanya mah,”

Meskipun mengalami beberapa ombak diskriminasi saat berkesenian karena sebagai laki-laki yang bergelut dalam kepesindenan, Ramadhan meyakini bahwa ketertarikan, minat, bakat, dan kemampuannya dalam ber kepesindenan adalah anugerah dari Tuhan yang memang telah Tuhan berikan padanya untuk dimanfaatkan.

“Nah, tapi terlepas dari itu (pernah dipermasalahkan sebagai sinden laki-laki), ya saya jual kelebihan saya yang diberikan oleh Tuhan sebagai anugerah (yaitu bisa nyinden), untuk dimanfaatkan oleh saya (anugerah itu).” Jelas Ramadhan.

Ramadhan mengatakan, dalam menghadapi diskriminasi dalam berkesenian tersebut, ia selalu mengingat pada keinginannya yang kuat serta didukung oleh teman-teman dan keluarga agar tetap semangat dalam berjuang di dunia kepesindenan.

“mungkin dari diri sendiri juga ada keinginan yang kuat, terus dukungan dari teman-teman sekitar dan keluarga yang menguatkan saya untuk tetap di ranah kepesindenan.” Kata Ramadhan

Dinamika Sinden Laki-laki: Mulai dari Dikenal Pejabat, Naik Pesawat, Hingga Pernah Dikatai Bencong Saat di Panggung

Meskipun pada awalnya Ramadhan mengalami diskriminasi karena dianggap bukan ranahnya laki-laki dalam ber kepesindenan, Ramadhan dapat membuktikan bahwa menjadi laki-laki yang bergelut di dunia kepesindenan memberikan pengalaman berkesan yang tak dapat dilupakan, mulai dari dikenal orang berpangkat, manggung ke luar kota, hingga naik pesawat.

“Pengalaman berkesan (selama ber kepesindenan) ya senengnya  bisa kenal dengan orang-orang berpangkat, orang-orang yang terkenal, ya artislah, terus bisa manggung ke luar kota, ya ke Kalimantan, cita-cita pengen naik pesawat, ya kesampean. Itu berkesan bagi saya,”

Meskipun mendapat pengalaman baik dan berharga selama bergelut di dunia kepesindenan, dinamika dalam ber kepesindenan tidaklah selalu manis, pernah suatu waktu ketika sedang manggung, ia mendapat teguran kurang mengenakan hanya karena dirinya seorang sinden laki-laki.

“Kalo pengalaman yang kurang enaknya ada, ya pro dan kontra itu pasti ada ya, kalo yang ga enaknya mungkin yang kontra kepada saya pribadi , ya (ada seseorang) kaget karena adanya sinden laki-laki, (dia) langsung menegur (saya) di panggung, dia bilang ‘embung ku bencong ah nu ngawihna’ [gak mau sama bencong ah yang nyanyinya]. Padahal kan kalo bencong kan, maaf saya menafsirkan, bencong itu kan pindah gendernya, kan ada transgender dan crossgender, kalo saya kan crossgender, ya pekerjaan yang dipekerjakan oleh wanita dilakukan oleh laki-laki (seperti saya),” 

Meskipun Ramadhan mendapat teguran negatif ketika berada di panggung karena menggeluti pekerjaan crossgender, Ramadhan menjadikan teguran tersebut sebagai motivasi untuk terus berkarya.

“Tapi kan kalo di panggung saya kan engga memakai pakaian wanita, hanya suaranya saja yang dipakai itu suara wanita, itu yang berkesan dan diingat oleh saya. Tapi tidak menjadikan saya patah semangat, malah buktikeun, urang bisa leuwih ti maranehanana [ingin membuktikan, bahwa saya bisa lebih dari mereka].”

Sinden: Selama Suara Mampu, Tak Peduli Laki-laki atau Perempuan, Itu Adalah Sinden

Meskipun sinden selalu identik dengan pekerjaan perempuan, tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki pun dapat menjadi sinden, Ramadhan mengatakan bahwa selama suara-suara tinggi dapat digapai oleh laki-laki saat nyinden, tak peduli itu laki-laki atau perempuan, maka itu adalah seorang sinden,

“Memang dari konsep kan pertamanya tuh sinden kan seorang ronggeng, yang bisa menari, yang bisa menyanyi, malah kasarnya mah yang bisa memuaskan hasrat laki-laki, kalo ke ranah itu ya kasarnya. Tercipta dari itu kan sinden itu, nah tapi saya berpikiran begini satungtung bisa kataekan si sora eta, bisa keneh kabawa ku urang, eta sinden [selama suara itu bisa tercapai, masih bisa tergapai oleh kita, nah itu sinden]. “ ujar Ramadhan.

Mendukung pernyataan tersebut, Ramadhan mengatakan bahwa sejak zaman dahulu pun telah ada sinden-sinden berjenis kelamin laki-laki, seperti Atim Solehmuda dan Soleh Sarirasa. Ramadhan mengatakan, jika seorang laki-laki bergelut di dunia kepesindenan, selama hal itu diterima oleh masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa laki-laki yang menjadi sinden tidaklah keluar dari pakem kepesindenan

“Saya menafsirkan kalau masih bisa dibawakan atau kataekan mah sok aja. Jeung satungtung masyarakat menerima terlepas dari pro dan kontra ya tidak menjadi keluar dari pakem, toh pakem-pakem di kepesindenannya juga tidak dilabrak. Jadi angger sora pangluhurna awewe, ku abdi ge kudu kaudag [jadi tetep kalau suara tinggi perempuan, harus bisa seperti itu saya juga].”

Sebagaimana budaya yang bersifat dinamis atau berubah sesuai dengan perkembangan zaman, crossgender dalam kesenian adalah suatu hal yang lumrah di zaman sekarang, ia mengomparasi dengan keadaan dimana mulai hadir penabuh kendang perempuan, bahkan hingga dalang perempuan. Sebagaimana dengan itu, laki-laki yang bergelut di dalam “ranah pekerjaan perempuan” sejatinya adalah suatu hal yang sebenarnya wajar saja, sebagaimana emansipasi.

Ayeuna tukang kendang aya nu istri, tukang rebab aya nu istri, malah dalang kan aya nu istri di Karawang oge [Sekarang penabuh kendang ada yang perempuan, tukang rebab ada yang perempuan, bahkan dalang perempuan juga kan ada di Karawang], ya mungkin itu kalo di perempuan mah emansipasi, nah kalo di lelaki teuing [apa namanya].” Ucap Ramadhan sambil tertawa.

Lomba Kepesindenan Hanya Untuk Sinden Perempuan, Bagaimana Dengan Sinden Laki-laki?

Dalam akhir wawancara Ramadhan dengan Daunjati, Daunjati menanyakan keikutsertaan Ramadhan dalam lomba kepesindenan yang telah digelar, Ramadhan mengaku bahwa selama ini ia baru satu kali ikut serta lomba kepesindenan, yakni di SMKI (SMKN 10 Bandung), itu pun dengan dipaksa oleh panitia karena lomba tersebut kekurangan peserta.

“Pernah waktu itu lomba di SMKI, itu juga karena peserta lombanya kurang, jadi ya diikutsertain sama panitia.” Ucap Ramadhan sambil tertawa mengingat kejadian itu.

Dalam perlombaan kepesindenan, seringkali syarat peserta lomba dikualifikasi dengan jenis kelamin perempuan, secara otomatis sinden laki-laki tidak dapat terlibat dalam lomba tersebut, hal ini diperparah dengan tidak adanya perlombaan kepesindenan bagi sinden laki-laki untuk berkompetisi. Hal tersebut cukup disayangkan oleh Ramadhan, maka daripada itu, ia bersama kawan-kawan lainnya berusaha untuk membuat semacam lomba kepesindenan yang ditujukan bagi laki-laki, sebagaimana contohnya lomba kepesindenan Piala Titim Fatimah.

Terakhir, Ramadhan berpesan kepada setiap laki-laki yang sedang berproses dan belajar menekuni dunia kepesindenan agar tetap istiqomah, jangan patah semangat, dan terus bergerak maju menggapai tujuan dan cita-cita

Sing junun, sing tawekal, sing istikomah [yang rajin, yang tawakal, tetap istiqomah], jangan patah semangat, terus kalau ada goncangan sedikit-sedikit kalau kuat jalani, da engke oge lamun geus jalanna mah bakal jadi [nanti juga kalau sudah jalannya mah bakal tergapai]. Jangan mundur sebelum maju.” Pesan Ramadhan.


Penulis : Purwa Sundani
Dokumentasi : Ramadhan Teguh Imana
Penyunting : Ossa Fauzan Nasrulloh