Home Default Blog
Pementasan Teater “Wawancara dengan Mulyono” karya Rachman Sabur yang akan digelar pada Sabtu, 15 Februari 2025 berakhir batal dilaksanakan karena Studio Teater digembok oleh pihak Instansi. Akibat dari adanya hal ini, Aliansi Mahasiswa ISBI Bandung melakukan serangkaian aksi bertajuk “Kebebasan Berekspresi Dipenjara di Kampus Seni” yang berlangsung di Taman Buaya ISBI Bandung pada Senin, 17 Februari 2025 sebagai respon dari ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan kampus, terutama dalam hal kebebasan berekspresi dalam lingkungan akademik seni. Pertunjukan “Wawancara dengan Mulyono” ini seharusnya menjadi bagian dari rangkaian peringatan hari jadi ke-43 Teater Payung Hitam. Namun, momentum tersebut terhalang akibat akses ke tempat pertunjukan yang tidak dapat digunakan -digembok.

Hal ini memicu keresahan di kalangan mahasiswa ISBI Bandung, yang kemudian mereka suarakan dalam bentuk demonstrasi. Spanduk dengan pesan khusus dipajang di lingkungan kampus, diantaranya bertuliskan “Kebebasan dipenjara di kampus seni” serta berbagai pernyataan lain yang menggambarkan kekecewaan mahasiswa terhadap kondisi yang mereka hadapi. Demonstrasi ini diawali dengan para mahasiswa menuangkan kegelisahan mereka dalam spanduk bertuliskan “Sebuah kampus seni yang takut pada seni adalah ironi yang membusuk” dan “Demokrasi dan seni mempunyai nafas sendiri”. Tulisan-tulisan ini menjadi simbol protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai bentuk pembungkaman ekspresi di institusi seni yang seharusnya menjadi ruang bebas dalam berekspresi.
Sesi orasi digelar sebagai wadah bagi para demonstran untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung. Dalam orasi tersebut, mahasiswa menekankan bahwa kebebasan seni di lingkungan akademik tidak boleh dibatasi dengan dalih birokrasi atau regulasi administratif yang justru menghambat perkembangan ekspresi kreatif. Aksi ini kemudian diakhiri dengan mengiringkan tulisan yang berisi berbagai opini para demonstran menuju gedung Rektorat ISBI Bandung. Arakan tersebut menjadi bentuk simbolis dari perjuangan mahasiswa dalam mempertahankan hak mereka untuk berkarya dan berekspresi tanpa batasan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan dalam dunia seni.

Salah satu narasumber kami, W.A mengungkapkan bahwa aksi ini merupakan akumulasi dari berbagai polemik yang telah lama terjadi di ISBI Bandung, seperti; gedung mangkrak, masalah UKT, dan berbagai permasalahan lainnya. “Sebenarnya kegiatan ini adalah salah satu bom waktu dari keresahan mahasiswa ISBI Bandung dari berbagai masalah yang terjadi di kampus ini semacam UKT, gedung mangkrak dan semacamnya.” Ujar W.A.
Selain itu, ada pula pandangan yang menyebutkan bahwa kejadian ini berkaitan dengan sikap kampus terhadap pertunjukan yang diselenggarakan oleh Teater Payung Hitam, serta kekhawatiran pihak kampus yang terikat oleh birokrasi negara. Dalam siaran persnya yang menerbitkan penyataan sikap dalam menanggapi pertunjukan teater “Wawancara dengan Mulyono”, ISBI Bandung menegaskan bahwa mereka tetap bersikap netral terhadap isu politik dan hal-hal yang berbasis SARA. Namun, pernyataan ini justru memicu polemik di kalangan mahasiswa. Para demonstran menolak sikap tersebut, dengan alasan bahwa kampus mestinya menjadi ruang bebas dalam berekspresi. “Seharusnya kampus adalah tempat di mana berbagai ekspresi tidak dibatasi,” ujar A.V, salah seorang demonstran.
Menanggapi aksi demonstrasi ini, Wakil Rektor ISBI Bandung, Indra Ridwan, S.Sos., M.Sn., M.A., Ph.D., memberikan pernyataan mewakili pihak kampus, mengingat Rektor ISBI Bandung tidak memberikan tanggapan apapun. Menurutnya, demonstrasi adalah hal yang wajar dalam lingkungan akademik dan menilai bahwa gerakan ini memiliki tujuan yang jelas. Namun, tanggapannya menegaskan pula bahwa permasalahan utama dalam insiden ini adalah terkait perizinan.
Indra Ridwan menjelaskan bahwa Rachman Sabur dan Tony Supartono tidak memiliki izin penggunaan ruang teater. Tetapi, selalu menggunakannya untuk latihan. Mengenai penggembokan ruang teater beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan prosedur standar karena seluruh ruangan kampus memang ditutup pada malam hari karena ada beberapa barang yang memang harus dijaga. Menegaskan bahwa pihak kampus tidak bermaksud membatasi kebebasan seni tetapi, harus mengikuti aturan yang berlaku mengingat ISBI Bandung merupakan institusi pendidikan seni yang berada di bawah regulasi pemerintah.
Setelah kami mewawancarai Indra Ridwan, adapula tanggapan dari demonstran terkait pernyataan bahwa kebebasan di kampus seni yang berafiliasi dengan negara tidak bisa sepenuhnya diekspresikan karena adanya regulasi yang harus dipatuhi. Menurut Avik, salah seorang demonstran ia menyebutkan bahwa “Jika kita melihat sudut pandang orang diluar kampus seni, mereka pasti memiliki sudut pandang bahwa kampus seni adalah kampus yang bebas berekspresi, akan tetapi jika kebebasan berekspresi tersebut dilarang di kampus ini lebih baik ganti aja jangan menjadi kampus seni.” ujar Avik.
Pembatasan ekspresi di lingkungan kampus seni merupakan sebuah ironi yang sulit dibayangkan oleh banyak orang. Polemik ini telah berkembang menjadi isu nasional karena berkaitan dengan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Demonstrasi ini menunjukkan bahwa mahasiswa peduli terhadap hak mereka dalam menyuarakan ekspresi melalui karya seni. Di sisi lain, pihak kampus memiliki alasan tersendiri terkait kebijakan dan regulasi yang harus mereka patuhi terlepas dari dampaknya terhadap kebebasan berkesenian dan hak para seniman.
Penulis: Hesa Nugraha Pratama, Marcellino Evan Cheung
Dokumentasi: Dewi Rosaria Indah, Hesa Nugraha Pratama, M. Haikal A. A.
Penyunting: Hana Diah Khoerunnisa