Home Default Blog
Sabtu, 26 Oktober 2024 Perpustakaan Bunga Di Tembok menggelar talkshow rutinan “Sabtu Sore” yang ketiga membahas mengenai standar kecantikan yang dikemas dengan tema “Cantik kok ada standarnya?! Membongkar standar kecantikan dari Waktu ke Waktu”. Hal ini dilatarbelakangi dengan konsep kecantikan yang selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik. Di Indonesia sendiri, standar kecantikan telah melalui beberapa fase dari zaman kolonial hingga tren global kecantikan ala Korea. Bentuk-bentuk standar kecantikan seperti ini seringkali berdampak negatif pada berbagai aspek mulai dari fisik hingga kesehatan mental. Mengikuti arus pembicaraan yang asik oleh pembicara Cici dari komunitas great upi, ukm kampus yang berfokus pada penelitian, edukasi dan advokasi isu gender dan inklusi sosial juga pembicara lain yaitu Neneng Yanti K. Laphan sebagai dosen antropologi budaya, ada beberapa poin menarik yang dibahas, diantaranya :
Konstruksi Sosial Standar Kecantikan.
Pada poin ini dibahas bahwa Standar kecantikan merupakan hasil konstruksi sosial bertahun-tahun dan tidak lepas dari pengaruh patriarki dan kolonialisme. Dalam masyarakat patriarki, perempuan seringkali dipandang sebagai objek visual, dan kecantikannya dipandang sebagai sesuatu yang dapat diukur, dinilai, dan bahkan dikendalikan oleh standar eksternal. Standar-standar yang bersifat patriarki ini telah berkembang sepanjang sejarah dan, dipengaruhi oleh nilai-nilai kolonial, telah menciptakan citra kecantikan yang sempit dan eksklusif.
Kisah dalam Lutung Kasarung: Standar Kecantikan yang Terjaga Sejak Dahulu.
Neneng sebagai dosen Antropologi budaya berbicara bahwa standar kecantikan sudah ada jauh sebelum masa kolonial melalui cerita rakyat Lutung Kasarung sebagai bentuk tradisi lisan. Contoh lokal seperti Lutung Kasarung dalam cerita rakyat, dimana tokoh perempuan seperti Purbasari digambarkan baik hati dan cantik luar dan dalam, menunjukkan bahwa standar kecantikan sudah ada sejak zaman dahulu. Namun, standar-standar ini sering kali dilebih-lebihkan dan perempuan dinilai berdasarkan penampilan dibandingkan kualitas pribadinya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, kecantikan telah menjadi bagian dari struktur sosial yang menghubungkan penampilan fisik dan nilai perempuan.
Pengaruh Psikologis dan Tren Kecantikan.
Tren kecantikan saat ini yang menuntut kulit yang putih atau cerah juga membawa dampak psikologis bagi perempuan, dimana perempuan sering merasa tertekan untuk memenuhi standar ini, bahkan membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan yang dibentuk oleh kapitalisme dan patriarki. Kapitalisme yang berkolaborasi dengan patriarki menghasilkan produk kecantikan yang menjual janji-janji kulit “cerah,” “bersih,” dan “putih,” yang seolah menjadi standar global. Ini menunjukkan bahwa tren kecantikan berfungsi bukan hanya sebagai produk perawatan diri, tetapi juga simbol status sosial.
Pergeseran Tren dan Kecantikan Indonesia.
Teknologi dan globalisasi mendorong standar kecantikan menjadi semakin kosmopolitan, atau yang dikenal sebagai cosmodernism. Hal-hal kecil dalam kecantikan kini dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Di Indonesia, kecantikan ideal mulai bergeser dari referensi Barat, Eropa hingga Korea, yang kerap mengedepankan standar “eksotis” atau “modern” yang terlihat lebih menarik. Tetapi, sejatinya kecantikan Indonesia memiliki potensi yang unik, dimana kecantikan seharusnya tidak hanya dinilai dari penampilan fisik tetapi, juga dari kualitas pribadi dan keberagaman budaya lokal yang sarat dengan nilai kearifan lokal. Penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki standar kecantikan inklusif yang merangkul keragaman dan kearifan budaya lokal.
Stigma Patriarki dan Peran Budaya Lokal.
Budaya patriarki turut mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kecantikan perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan harus memiliki kulit yang putih atau tubuh yang langsing untuk dianggap cantik. Standar ini sering kali membuat perempuan merasa butuh validasi eksternal. Namun, untuk melawan tekanan ini, perempuan perlu diberdayakan agar dapat menilai dan merayakan kecantikan mereka sendiri tanpa tekanan dari standar-standar ini. Melalui Budaya lokal dapat menjadi referensi dalam mendefinisikan kecantikan yang lebih otentik dan alami. Kecantikan perempuan adat menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki ekspresi kecantikannya sendiri yang tidak harus mengikuti standar global. Dengan memanfaatkan nilai-nilai budaya lokal, perempuan bisa merasa lebih diterima tanpa tekanan standar kecantikan tunggal.
Standar Kecantikan Inklusif.
Langkah menuju standar kecantikan yang lebih inklusif melibatkan pemahaman (learn) yang lebih dalam tentang keberagaman, mendukung titik awal yang positif, serta melakukan kampanye melawan standar kecantikan global yang sempit. Kebijakan publik juga dapat membantu membentuk pandangan masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman kecantikan. Narasi alternatif diperlukan untuk menciptakan ruang yang lebih terbuka dan ramah bagi berbagai bentuk kecantikan, serta membentuk pemahaman bahwa kecantikan tidak memiliki satu definisi tunggal. Selain itu, pendidikan gender juga memiliki peran yang cukup penting dalam membebaskan perempuan dari stigma standar kecantikan yang kaku. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang gender dan hak-hak pribadi, perempuan dapat lebih mengenali potensi diri mereka serta merasa berdaya untuk memilih bagaimana mereka ingin tampil dan merawat diri. Pendidikan ini dapat membuka wawasan perempuan untuk lebih menghargai keberagaman kecantikan tanpa perlu mengikuti standar yang seragam.
Pada poin-poin pembicaraan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada akhirnya kecantikan seharusnya tidak terikat satu standar semata. Pada era yang lebih modern seperti sekarang ini sudah sepatutnya kita dapat mengakui dan menerima bahwa perempuan dapat cantik dalam keragaman ekspresinya sendiri, tanpa terbelenggu oleh definisi kecantikan global yang kaku dan tidak relevan.
Penulis : Hana Diah
Dokumentasi : Hana Diah
Penyunting : Ossa Fauzan