Home Default Blog

MEMPERINGATI SEABAD PRAMOEDYA ANANTA TOER BERSAMA BANDUNG BERGERAK DALAM ACARA SABTU SORE #16 “AKU DAN BUKU-BUKU PRAM”
ARTIKEL

MEMPERINGATI SEABAD PRAMOEDYA ANANTA TOER BERSAMA BANDUNG BERGERAK DALAM ACARA SABTU SORE #16 “AKU DAN BUKU-BUKU PRAM”

 

Potret foto bersama para pengunjung dan narasumber dalam acara “Aku dan Buku-Buku Pram”. Bandung, 8 Februari 2025. (Foto: Raesha Nurfitriani H/LPM Daunjati)

Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer pada 6 Februari, Bandung Bergerak menggelar acara diskusi bertajuk Sabtu Sore #16 “Aku dan Buku-Buku Pram”. Acara ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan yang diselenggarakan pada 7-8 Februari 2025 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jl. Pasirluyu Timur No.117A, Bandung.

Potret sesi “Gonjreng Sore” bersama Abah Omtris. Bandung, 8 Februari 2025. (Foto: Raesha Nurfitriani H/LPM Daunjati)

Acara Sabtu Sore #16 diawali dengan penampilan musik oleh Abah Omtris, selanjutnya diikuti oleh sesi diskusi bersama tiga narasumber utama, yakni Deni Rachman (Pemilik Lawang Buku/Toko Buku Bandung/Klub Buku Laswi), Reita Ariyanti (Editor dan penerjemah), dan Galuh Pangestri (Penulis dan Koreografer Tari), diskusi ini dipandu oleh M. Akmal Firmansyah.

Potret diskusi “Aku dan Buku-Buku Pram”. Bandung, 8 Februari 2025. (Foto: Raesha Nurfitriani H/LPM Daunjati)

Diskusi: Warisan Pemikiran Pram

Deni Rachman membagikan pengalamannya mengunjungi rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer di Blora, Jawa Tengah. Ia harus transit di Kota Semarang sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah yang kini dihuni oleh Soesilo Toer, adik Pramoedya. Kondisi rumah tersebut cukup memprihatinkan, dengan halaman penuh rumput liar serta ayam dan kambing yang berkeliaran bebas. Di dalam rumah, terdapat sepuluh rak buku besar yang mulai lapuk akibat rayap.

Menurut Deni, menulis bagi Pram adalah bentuk bentuk perlawanan, karena sejak kecil ia tidak pandai berbicara. Proses kreatifnya melibatkan latihan fisik dan wawancara langsung dengan saksi sejarah. Bahkan saat diasingkan di Pulau Buru, Pram tetap menulis dengan berbagai cara.

Reita Ariyanti menambahkan bahwa Pram sengaja tidak ingin bukunya disunting karena ingin menjaga keautentikan wawancara sejarah yang ia lakukan serta menghindari pengaruh yang dapat mengubah makna asli tulisannya. Hal ini juga merupakan bentuk perlindungan diri dari trauma yang dialaminya selama menulis.

Galuh Pangestri berbagi pengalamannya mengenal karya Pram pertama kali melalui selebaran mading di kampusnya tentang berita kematian Pramoedya Ananta Toer. Setelah itu, ia menemukan novel Larasati (1960), yang menarik perhatiannya karena kemiripan dengan nama belakangnya. Buku ini kemudian menjadi inspirasi utama dalam penciptaan koreografi tari yang ia buat. Salah satu kutipan favoritnya dari Pram berasal dari novel Anak Semua Bangsa (1980), bagian dari Tetralogi Pulau Buru:

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Mama, 84)

Lapak Komunitas dan Ruang Diskusi Terbuka

Potret Lapak Komunitas. Bandung, 8 Februari 2025. (Foto: Raesha Nurfitriani H/LPM Daunjati)

Selain diskusi, acara ini juga menghadirkan pasar buku dan lapak komunitas yang menjual berbagai pernak-pernik sastra. Ruang ini tidak hanya menjadi tempat bertukar informasi mengenai buku-buku Pram, tetapi juga wadah bagi komunitas dan penggiat sastra di Bandung untuk berbagi inspirasi dan memperkuat semangat literasi.

Dengan adanya lapak komunitas, pengunjung semakin tertarik untuk berdiskusi. Selain sesi utama yang diadakan oleh Media Bandung Bergerak, terdapat juga ruang diskusi informal di luar ruangan, dimana para peserta dapat berbincang lebih santai mengenai pemikiran dan karya Pram.


Penulis: M.Haikal.A.A, Rizki Bassica Arvensis
Dokumentasi: Raesha Nurfitriani H.
Penyunting: Rifka Rahma Dewi