Home Default Blog
Bandung, Daunjati (02/08) – Pukul 19.30 WIB Iman Soleh membuka acara Silaturahmi bersama Anies Baswedan yang dilaksanakan di markas komunitas Celah Celah Langit (CCL), Ledeng, Bandung. Acara sudah didatangi banyak orang sebelum dimulai. Jalan menuju CCL yang berupa gang kecil pun sudah lumayan sesak dengan mobilisasi motor para pengunjung yang hendak mencari tempat parkir, bahkan sejak 30 menit sebelum acara dibuka. Komunitas CCL yang berdiri sejak 1998 ini memang kerap membuat gang-gang di belakang Terminal Ledeng ramai orang. Seperti yang terjadi malam ini, orang-orang ramai hadir untuk datang ke CCL, entah karena ingin melihat Anies Baswedan secara langsung, mencari hiburan kebudayaan atau sekadar rindu pada nyamannya suasana markas komunitas CCL.
Banyak kejutan menarik sejak acara dimulai. Selain bentuk acaranya sendiri yang mendatangkan Anies Baswedan secara langsung–yang notabene sedang hangat-hangatnya sebagai tokoh pendidikan yang banyak menjadi inspirasi banyak anak muda, dan sebagai Menteri Pendidikan yang baru menjabat selama 20 bulan dan diberhentikan; membuat banyak pihak sedih bahkan kecewa–dan hadirnya beberapa tokoh populer yang sangat tak disangka-sangka. Seperti Ajip Rosidi, Doel Soembang, Ferry Courtis, sampai Ma Ci Ibunda Ridwan Kamil. Hadirnya tokoh-tokoh tersebut menambah nuansa spesial atas hangatnya CCL malam itu.
Setelah dibuka oleh Iman Soleh (pendiri), acara diisi dengan penampilan-penampilan. Seperti Gus Jur yang tampil menyanyikan puisinya “Lebih baik Gelo daripada Korupsi” dengan iringan musik jazz menjadi sebuah pertunjukan yang menaikan tensi malam itu menjadi cair. Gayanya yang khas ‘gelo’ atau gelo dalam istilah sundanya selalu spektakuler, selain memancing tawa juga memancing perenungan. Setelah Gus Jur, acara dilanjut dengan pertunjukan-pertunjukan musik yang rata-rata bertema kan perdamaian, perlawanan terhadap ketidakadilan, kemanusiaan dan pendidikan. Seperti Aape, musisi dengan permainan gitarnya yang jazz menyanyikan lagu ‘Bandung untuk Perubahan’ karyanya sendiri dan lagu ‘Lawan’ teks ciptaan Iman Soleh yang ia musikalisasi dengan enerjik dan berhasil menambah tensi acara makin bersemangat. Acara lalu berlanjut diisi oleh pembacaan puisi, penampilan standup comedy dan kuis berhadiah kaulinan barudak. Selain hadirnya seniman-seniman dan penyair-penyair, yang spesial malam itu juga hadir seorang doktor mainan tradisional. Dr. Arif namanya, ia baru saja menyelesaikan mendata mainan tradisional di seluruh Indonesia. Ia menjelaskan sedikit tentang betapa pentingnya mainan tradisional untuk pendidikan anak Indonesia. Mainan kita itu lebih banyak dari Jepang. Jepang cuma punya 600-an mainan tradisional, tapi mereka punya 3 museum. Nah, kita, 1700 lebih dan gak punya museumnya satu pun, ujar Dr. Arif menyampaikan harapannya.
Acara makin meriah saat Doel Soembang juga ikut menyumbangkan penampilan, menyanyikan ‘Hamparan Sajadah’ yang menyulap CCL menjadi begitu syahdu. Tak lama setelah penampilan Doel Soembang, Anies Baswedan, orang yang sebenarnya paling ditunggu malam itu datang. Semua berdiri memberi penghormatan, tokoh-tokoh seniman, penyair dan beberapa tamu menyalaminya. Iman Soleh lalu mengomandokan semua untuk berdiri, dan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mendadak atmosfer cair itu menjadi kondisi yang khidmat. Ferry Courtis yang belum kebagian tampil juga maju setelahnya, menyanyikan lagu tentang kemuliaan guru yang begitu membuat atmosfer malam itu–dengan telah hadirnya Anies Baswedan di hadapan para hadirin ditambah dengan lantunan gitar dan suara yang menghanyutkan dari Ferry Courtis–menjadi makin akrab. Iman Soleh mempersilahkan Anies Baswedan dan Ajip Rosidi untuk berpindah ke meja di panggung untuk memulai acara inti yaitu diskusi.
Diskusi dimulai dengan cerita Anies Baswedan yang malam itu, katanya, kali ketiga datang ke CCL. Ia menyampaikan rasa senangnya. Saya ingin membuka dengan cerita, di Indonesia Mengajar, sebelum para pengajar muda berangkat saya selalu berpesan: “Kalau ada yang bilang terima kasih sudah datang ke sini dan mau jadi guru, katakan bahwa saya datang ke sini mewakili bangsa, tidak penting siapa yang kirim” Ujar Anies Baswedan, yang seperti ingin menyampaikan bahwa urusan pendidikan tidak ada sangkut pautnya oleh siapa kita diutus, tapi urusan semua orang. Anies juga melanjutkan dengan kata-kata populernya “Menjadi seorang guru, jangan sekali-kali menyebutnya sebagai pengorbanan, tapi itu adalah sebuah kehormatan”. Anies Baswedan yang sejak muda telah giat di dunia pendidikan, adalah penggagas program Indonesia Mengajar. Program yang mengirim para anak muda untuk menjadi guru di pelosok-pelosok negeri yang belum terjamah pendidikan. Dalam masa penjabatan Jokowi sebagai presiden, Anies, yang sebelumnya pun sempat akan mencalonkan diri menjadi RI1, dipilih menjabat menjadi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Progres Anies dari memberi inspirasi anak-anak muda dengan Indonesia Mengajarnya, lalu menjadi Menteri Pendidikan, membuat ia menjadi perhatian banyak orang. Terlebih saat menjabat menjadi Menteri, terobosan-terobosannya yang berbeda dan cenderung tak pernah dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yaitu membangun infrastruktur pendidikan yang ‘non fisik’, alias bangunan pola pikir dan ekosistem pendidikan. Ia percaya, bahwa persoalan pendidikan tak pernah selesai karena pemerintah selalu saja menganggap bahwa pembangunan telah terjadi ketika materialnya ada, fisiknya terlihat. “Padahal kalau itu terus terjadi, misalnya, bangunan sekolah dibangun tanpa melibatkan kerja sama di wilayah ekosistem pendidikan lokalnya, 2-3 tahun bisa dipastikan bangunan sekolah yang baru dibangun itu pasti ambruk lagi. Berbeda dengan jika yang kita bangun adalah ekosistem pendidikan, orangtua yang bahagia mengantar anaknya di hari pertama sekolah, akan mengulanginya di tahun berikutnya. Itu ekosistem pendidikan, itu pembangunan pola pikir. Tidak akan ‘ambruk’ biarpun berganti menterinya. Itu yang selama 20 bulan ini saya bersama banyak orang di kementerian, secara solitaire bangun sama-sama. Sebab, masalah pendidikan itu masalah serius. Tak bisa cepat, harus pelan-pelan. Saya selalu menyampaikan pada orang-orang di kementerian, kita bekerja dalam sunyi yang tak mencari tepuk tangan, tunggu lah nanti biar sejarawan yang menulis tentang perubahan yang telah berhasil terjadi di dunia pendidikan. Kita tidak ikut pola main politik yang sering kali menggunakan hasil survey sebagai ‘derajat tepuk tangan’. Kehormatan yang mesti kita jaga, bukan penghormatan. Sebab kehormatan tak ternilai, tak bisa dijual dan dibeli, itu yang mesti selalu dijaga sama-sama.”
Malam itu baru menginjak pukul 21.00 WIB saat Anies Baswedan membuka sesi inti ini, hari yang sudah mulai malam membuat momen-momen Anies Baswedan bicara menjadi momen yang terasa berharga dan mengharukan. Beberapa pengunjung sangat serius mendengarkan, bahkan banyak yang berkaca-kaca. Ada yang terus merunduk tiap Anies Baswedan sampai pada kalimat terakhir. Speechless. Karena ini merupakan sesi diskusi, Iman Soleh mempersilahkan para pengunjung untuk bertanya. Serentak banyak yang mengacungkan tangan, berebut ingin bertanya. “Nu ngarora heula, sok para pemuda”, kata Iman Soleh, memutuskan sesi pertanyaan pertama diberikan buat yang muda dulu.
Seorang mahasiswa UPI lalu mendapat giliran pertama untuk bertanya.
Apa ada rencana turunan dari program Indonesia Mengajar yang lebih pada minat membaca Indonesia?
“Kemarin, kami membuat program wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran sekolah dimulai. Program itu mewajibkan siswa membaca apapun. Tujuannya, menjadikan membaca sebagai kebiasaan, bukan sebagai pengetahuan. Mudah-mudahan program ini terus dilanjutkan oleh menteri yang baru. Sebab begini, Indonesia, beberapa waktu lalu masuk dalam survey minat membaca, kita ranking 60 dari 61. Padahal, dalam survey infrastruktur literasi (membaca) kita ada di peringkat 34. Anda tahu peringkat 34 itu kita ada di mana? Kita ada berada lebih baik di atas Jerman, Portugal dan Selandia Baru. Perpustakaan kita lebih lengkap dari negara-negara besar itu. Tapi tidak ada yang mau datang ke perpustakaannya. Maka dari itu, penting bahwa membaca harus berhasil kita jadikan sebagai kebiasaaan.” jawab Anies Baswedan dengan gaya bicaranya yang selalu meyakinkan.
Sesi pertanyaan berlangsung 2 kali, dengan 3 orang penanya di tiap sesinya. Tapi terhitung hanya 3 saja yang benar-benar bertanya, selebihnya menyampaikan rasa kagum dan rasa terima kasih. Ada yang menarik pada sesi kedua, ia salah satu penanya yang tak bertanya. Kang Wawan (64) namanya, seorang guru yang setahun lagi akan pensiun. Tua tapi enerjik, tanggapan spontan dari Anies saat terhibur menyaksikan aksi Kang Wawan yang menggelikan. Ia begitu romantis saat pertama kali maju ke depan mikrofon. Menyampaikan betapa bangganya ada orang seperti Anies Baswedan di Indonesia. Ia bahkan telah menyiapkan selembar kertas berisikan poin-poin harapan dan diberikan pada Anies. Di akhir aksinya, Kang Wawan dengan kata-katanya yang mulai bergetar lirih dan serius, membacakan penggalan lirik True Colors dari Cindy Lauper “But I see your true colors, shining through, and that’s why I love you. So don’t be afraid to let them show your true colors. True colors are beautiful, like a rainbow” dan melanjutkannya dengan mencium kening Anies Baswedan. Sebuah momen yang membuat haru.
Iman Soleh lalu menutup sesi pertanyaan dengan mempersilakan Anies Baswedan untuk memberikan penutup atas diskusi ini.
Pak Anies lalu berdiri dari kursinya, maju ke depan sedikit lalu mulai berbicara.
“Saya datang dengan kepala tegak, dan pergi dengan kepala tegak. Pendidikan harus terus menjadi gerakan semua orang. Kalau semua orang sudah mau menyadari itu, maka persoalan pendidikan akan lebih cepat selesai. Kita semua harus berani memulai untuk bilang, bahwa kita adalah bagian dari yang membangun republik ini bukan yang menggerogoti. Ekosistem pendidikan yang harus kita usahakan rapikan. Ruh dan nuansa yang telah lama hilang itu, yang harus sama-sama kita kembalikan. Seperti ada analogi, seorang dirigen dalam sebuah orkestra, dia datang tanpa membawa alat musik apapun, tapi kehadirannya mampu memberi ruh dan nuansa yang menjadikan orkestra itu lebih terasa hidup. Walaupun pemain orkestra masih bisa berjalan tanpa seorang dirigen, tapi akan hilang apa yang disebut sebagai ruh dan nuansa musiknya. Sama seperti dalam pendidikan, guru harus hadir kepada siswa membawa ruh dan nuansa itu. Semoga kita bisa sama-sama berusaha mengembalikan ekosistem dan pola pikir masyarakat untuk menyelesaikan persoalan pendidikan. Saya saat dipanggil oleh Presiden, saya bilang, terima kasih Pak Jokowi atas kehormatan yang telah diberikan pada saya selama 20 bulan. Revolusi Mental yang digagas, telah berhasil menjadi kenyataan di tahun ajaran baru ini. Tak ada lagi ibu yang harus menguburkan anaknya karena kekerasaan di sekolah. Tahun ini, korban kekerasaan sekolah ada pada angka 0.”, Anies Baswedan mengakhirinya yang langsut disambut tepuk tangan oleh hadirin.
Sesi pertanyaan dan diskusi telah berakhir. Mi Amih Ibunda Iman Soleh dan Ma Ci, Ibunda Ridwan Kamil lalu dipersilahkan untuk mendoakan Anies Baswedan sekaligus memimpin doa bersama. Rangkaian acara yang begitu sangat lengkap, dari mulai hiburan kesenian, wawasan kebudayaan dan diskusi bergizi bersama Anies Baswedan semakin lengkap dengan suasana haru dari momen berdoa bersama yang dipimpin oleh 2 ibu dari tokoh besar itu. Khidmat dan sunyi saat semua menundukan kepala.
Pukul 23.30 WIB, sesaat sebelum acara berakhir, Iman Soleh tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat pada acara malam itu dan menyerahkan bagian penutup pada sastrawan Ajip Rosidi.
“Mudah-mudahan gagasan Anies Baswedan yang menganggap pentingnya keberagaman untuk persatuan Indonesia bisa dibela ku nu keur ngariung ayeuna di dieu”, Ucap Ajip Rosidi, menutup malam itu dengan sempurna.
[Naufal W. Hakim/ Wartawan Magang | Editor: Mohamad Chandra Irfan]