Home Default Blog

MENGEJA REFORMASI DALAM DISKUSI “MENGEJAR KETERTINGGALAN JALAN REFORMASI”
ARTIKEL

MENGEJA REFORMASI DALAM DISKUSI “MENGEJAR KETERTINGGALAN JALAN REFORMASI”

Reformasi tahun 1998 digadang-gadang sebagai momen titik balik rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang militeris diganti dengan kekuatan sipil yang demokratis. Namun, apakah 27 tahun berlalu pasca Reformasi 1998 Indonesia telah benar-benar mencapai demokrasi yang sejati? mengingat masih maraknya pelanggaran HAM, praktik korupsi dan nepotisme, serta lemahnya penegakan hukum, benarkah Reformasi telah membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan?

Dalam diskusi publik bertajuk “Mengejar Ketertinggalan Jalan Reformasi” yang digelar oleh Pers Suara Mahasiswa UNISBA dalam rangka peluncuran zine “Lawan” edisi April di halaman Gedung Akuarium UNISBA, Sabtu (19/04/2025), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono, menegaskan bahwa sejatinya Reformasi belum benar-benar terjadi di Indonesia. Ia menilai bahwa menurunkan Soeharto dari kekuasaan tidak cukup jika tidak disertai dengan proses keadilan atas pelanggaran-pelanggaran masa lalu.

“Reformasi belum pernah terjadi sejak ‘98. Merasakan dari tulisan dan dari yang terjadi, standar reformasi turun. Seharusnya ada beberapa hal selain menurunkan Soeharto, yakni juga mengadili Soeharto atau kroni-kroninya,” ujar Heri Pramono.

Heri menyebut bahwa meskipun Reformasi melahirkan UU HAM dan UU Pers tahun 1999, keduanya hanya sebatas simbol legal formal. Ia menilai implementasi kedua UU tersebut kian terkikis seiring berjalannya waktu.

“Secara politik hukum pun Reformasi hanya membuka hadirnya UU HAM ’99 dan UU Pers ’99, tapi itu hanya sebatas di atas kertas saja. Saat ini pengaplikasiannya semakin terkikis, bahwa pasca Reformasi kehidupan bernegara tidak lebih baik … Kalau kita bicarakan pelanggaran HAM bukan hanya Orde Baru saja, tapi (yang terjadi) pasca reformasi apakah kita nihilkan (kasus pelanggaran-pelanggaran HAM) itu?,” lanjutnya.

Heri berpendapat bahwa Reformasi 1998 bukanlah suatu keberhasilan dalam mencapai Indonesia yang demokratis, melainkan cara lain untuk melanjutkan tradisi Orde Baru, hal ini ia lihat sebagaimana Reformasi hanya menurunkan Soeharto saja, sedangkan aktor-aktor pelanggar HAM di masa Orde Baru masih menempati jabatan strategis di bangku politik dengan santai tanpa bayang-bayang dosa dan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan di masa Orde Baru.

“Aktor pelanggar HAM di masa Orde Baru masih santai-santai saja kok, tidak dibayang-bayangi oleh pertanggungjawaban mereka sebagai aktor-aktor pelanggar HAM, malah dikasih jabatan,” katanya.

Reformasi Telah Gagal: Warisan Pembangunanisme dan Militerisme Ala Orde Baru

Selain Heri Pramono, hadir pula pembicara lain dalam diskusi, yakni Herry Sutresna alias Ucok Homicide selaku pentolan grup hiphop Homicide yang pada masa akhir Orde Baru hingga awal Reformasi vokal dalam melayangkan kritik sosial lewat lirik dan beat.

Bagi Herry, Reformasi di tahun 1998 telah gagal. Meskipun Soeharto telah lengser karena didesak oleh rakyatnya sendiri dan era Reformasi mulai dibangun dari reruntuhan Orde Baru, ia menilai bahwa meskipun Soeharto turun, Orde baru tidaklah benar-benar runtuh. Ia melihat bahwa budaya pembangunanisme ala Orde Baru masih tetap dijalankan setelah masa Reformasi. Yang menjadi soal, esensi dari pembangunanisme ini selalu berdasar pada pasar, bukan berdasar pada rakyat.

“Pembangunan itu sesuatu yang Orde Baru banget. Ada alasan tertentu kenapa Soeharto disebut Bapak Pembangunan. Yang kita rasain hari ini terutama setelah SBY bikin MP3EI dan kemudian Jokowi memperbesar jadi percepatan pembangunan, esensinya adalah pembangunan itu tidak berdasarkan dari bawah (rakyat), tapi berdasarkan bagaimana pemerintah melihat pasar, pemerintah melihat cukong-cukong. Itu yang kemudian jadi masalah sampai hari ini, tidak akan pernah selesai kalau kita tidak menggugat gagasan pembangunanisme itu,” jelas Herry.

Dampak dari pembangunanisme adalah secara beriringan hadir militerisme dalam upaya “menjaga” program pembangunan. Budaya pembangunanisme yang beriringan dengan munculnya militerisme bukanlah satu-satunya persoalan gagalnya Reformasi, melainkan juga gagalnya gerakan Reformasi 98 dalam menghapus Dwifungsi ABRI secara utuh.

“Fondasi utama dari pembangunanisme itu bagaimana kemudian militer menjaganya, artinya apa? militerisme. Sampai hari ini kegagalan utama yang perlu dicatat dari kegagalan ‘98 itu adalah menghapuskan dwifungsi ABRI secara utuh,” tambahnya.

Herry menekankan bahwa sejak Reformasi, Dwifungsi ABRI seolah-olah dicabut, tetapi elemen dari Dwifungsi itu sendiri –Komando Teritorial–  sebagai pengontrol sipil sampai ke tingkat yang paling kecil –tingkat desa lewat Babinsa– yang ada sejak masa Orde Baru sama sekali tidak pernah dicabut hingga kini.

“Dwifungsi ABRI seolah-olah dicabut, tapi komando teritorialnya –Kodam, Kodim, Koramil, dan Babinsa–  tidak. Itu adalah kontrol, di mana militer mengontrol sipil, semacam panoptikon kalau zaman dulu.” tegasnya.

Dalam refleksi sejarah, pembicara lain, Daniel Limantara selaku CEO dan Founder Neo Historia –media yang berfokus pada sejarah– menyampaikan bahwa pengesahan RUU TNI pada bulan Maret lalu merupakan suatu langkah dalam memperbesar kemungkinan kembali pada era militerisme. Jika direfleksikan dengan sejarah, dengan disahkannya RUU TNI, Indonesia telah mundur kembali pada kemungkinan tidak adanya demokrasi karena kehidupan banyak dikontrol militer, yang pada akibatnya negara tidak akan pernah mencapai kemajuan.

“Kalau kita melihat sejarah dunia, negara yang dikuasai militer itu tidak pernah maju,” ucap Daniel.

Melawan: Suatu Bentuk Kewajiban

Dalam kondisi carut marut negara yang semakin tak karuan dan lambat laun semakin dekat menuju pada tirani –bayang-bayang represi, teror, penggusuran paksa, dan lain sebagainya, melawan adalah suatu bentuk kewajiban dalam mempertahan kemerdekaan. Mengutip kata-kata yang sering diatributkan pada Thomas Jefferson, Daniel Limantara menyebutkan bahwa melawan adalah hak bagi rakyat apabila kekuasaan negara banyak memaksakan dan mengerangkeng rakyat. Dalam pendapatnya, Daniel menyerukan bahwa penting untuk melawan, berani bersuara, dan belajar dari masa lalu supaya kesalahan-kesalahan masa lalu tidak terjadi lagi.

“Kalau kita melihat sejarah dunia seperti kata-kata yang sering diatributkan ke Thomas Jefferson, ketika kuasa menjadi tirani maka perlawanan menjadi kewajiban. Salah satu hak rakyat adalah untuk melawan jika kekuasaan (negara) sudah memaksakan (rakyat). Maka itu penting agar kita sadar apa yang kita lawan supaya kita dapat mencegah kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu tidak terulang lagi di masa kita. Kita harus terus berbicara, terus bersuara,” jelas Daniel.

Menurut Daniel, salah satu bentuk perlawanan adalah dengan menyuarakan pendapat dan menguji pendapat itu lewat diskusi. Daniel menyinggung bahwa perbedaan sipil dengan militer adalah sipil menguji kebenaran pendapat lewat argumentasi dalam diskusi, sedangkan militer seringkali memaksakan kehendak dengan menodongkan senjata, kebenaran perintah komando, absolut dan tentu sangat berbahaya bagi demokrasi. Baginya, militerisme perlu ditolak untuk masuk kampus, militerisme perlu ditolak masuk ke ruang masyarakat –selain menjalankan tugas dan fungsinya dalam mempertahankan negara dari ancaman luar. Karena pada akhirnya jika militerisme masuk ruang kampus dan ruang masyarakat secara umum, militer dapat berpotensi mendikte pikiran lewat todongan senjata kepada sipil.

“Kenapa militerisme itu harus ditolak masuk ke ruang kampus? kenapa kita harus menolak militerisme masuk ke ruang masyarakat? karena kita tidak boleh membiarkan senjata mendikte pemikiran orang-orang,” tegas Daniel.

Pengalaman penerapan militerisme di masa Orde Baru menjadi landasan mengapa kita harus melawan militerisme di masa sekarang. Bagi Herry Sutresna, pengalaman militerisme yang erat dengan pembangunan di masa lalu tak bisa dipisahkan dengan kepentingan segelintir orang di belakangnya. “Pengalaman sejarah apa yang kemudian kita harus mewaspadai makhluk yang bernama militerisme? bukan kita mau menakut-nakuti, bukan kita militerphobia, tapi sejarah ada di belakang kita bercerita tentang bagaimana kemudian negara dipersenjatai dengan bedil yang kemudian membangun seenaknya. Negara itu bisa diganti kemudian kata-katanya jadi oligarki, pengusaha, baron, segala macem. Karena kita sudah sama-sama paham, hari ini yang pegang negara kita itu segelintir orang punya duit, 1% lah,” ujar Herry.

Direktur LBH Bandung, Heri Pramono mengatakan bahwa perlawanan bukanlah suatu bentuk heroisme, melainkan suatu kewajiban sehari-hari apabila rakyat terancam ruang hidupnya, terancam kehidupannya, dan terancam kesehariannya. Melawan adalah kewajiban harian, “Perlawanan bukanlah satu heroisme,” ujarnya.

Daniel Limantara (kiri), Herry Sutresna (tengah), dan Heri Pramono (LBH Bandung) dalam diskusi “Mengejar Jalan Ketertinggalan Demokrasi”. Bandung, 19 April 2025. (Foto: M. Haikal Athar. A/LPM Daunjati).

Belajar Dari Reformasi

Lebih dari dua dekade setelah Reformasi, banyak tuntutan belum terpenuhi. Pelanggaran HAM masih terjadi, militerisme dan pembangunanisme masih lestari, dan para aktor Orde Baru masih berada di lingkar kekuasaan.

Kegagalan Reformasi 1998 memberikan PR-PR dalam gerakan hari ini, menjadi pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Herry Sutresna melihat bahwa kegagalan Reformasi 1998 adalah buah dari eksklusifitas gerakan mahasiswa yang tak ingin bergabung dengan gerakan rakyat. Bagi Herry, agar tidak mengulang kesalahan yang sama seperti di 1998, gerakan mahasiswa harus bersatu dengan gerakan rakyat, bukan menjadi gerakan eksklusif yang berdiri di menara gading.

“Jangan ulang kesalahan kawan-kawan di ‘98 yang gagal karena mereka eksklusif, karena mereka di menara gading, mereka merasa bagian dari gerakan mahasiswa yang tidak akan terkontaminasi oleh gerakan rakyat atau apapun itu. Jangan mengulang kesalahan itu. Bagaimana kemudian mahasiswa harus bisa bersatu dengan gerakan rakyat hari ini. PR kita itu, sama-sama di situ.” tutur Herry.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Direktur LBH Bandung, Heri Pramono bahwa “Reformasi gak terjadi dari kerja-kerjanya Budiman Sudjatmiko atau mungkin juga tokoh-tokoh pro demokrasi yang katanya juga saat ini telah mengisi kursi-kursi penguasa,” melainkan Reformasi adalah perjuangan dari berbagai elemen masyarakat yang ikut berjuang, baik buruh, mahasiswa, maupun kaum miskin kota. Namun, ketika reformasi itu baru dicapai, elit-elit Reformasi yang tinggal di menara gading yang melabeli diri sebagai aktivis pro demokrasi malah mencoreng demokrasi itu sendiri.

“Saya yakin Reformasi adalah hasil kerja-kerja rakyat yang berjuang. Bukan dari mahasiswa, bukan dari elit, bukan dari orang-orang di menara gading sekalipun mengatasnamakan pro demokrasi tapi pada akhirnya adalah orang yang menghancurkan demokrasi itu sendiri,” ujar Heri.

Meskipun Reformasi adalah kerja-kerja setiap rakyat yang berjuang, namun faktor kegagalan Reformasi adalah lunturnya idealisme dan munculnya oportunisme di kalangan para elit pro demokrasi yang berjuang di Reformasi, terpisahnya gerakan mahasiswa yang berada di menara gading dan jauh dari gerakan rakyat, serta kegagalan menghapuskan militerisme dan masih memberikan kesempatan bagi pelanggar HAM di era Orde Baru untuk berkuasa di hari ini. Menilik kegagalan Reformasi 1998 adalah pelajaran berharga agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa mendatang.


Penulis: Purwa Sundani
Dokumentasi: M. Haikal Athar. A.
Penyunting: Rifka Rahma Dewi