Home Default Blog
Berkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sendarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
(“Aku Berkisar Antara Mereka” Chairil Anwar, 1949)
Kutipan bait puisi diatas merupakan salah satu karya puisi Chairil Anwar di penghujung hidupnya yang bercerita secara lugas mengenai suasana sumpek dari kota metropolitan tersebut. Kota Jakarta bisa saja kehilangan statusnya sebagai ibu kota semenjak pemerintah pusat memutuskan untuk berpindah ke bumi Borneo sana . Namun, walau bagaimana pun ia akan tetap menjadi “pagoda” dari pulau jawa bagi para pejuang suaka maupun pencari dahaga semata.
Riuh para tukang parkir, pedagang kaki lima serta anak-anak kecil yang membiarkan tubuh mereka basah dalam guyuran gerimis saling bersahutan ketika saya menginjakan kaki untuk pertama kalinya di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Tempat yang diresmikan pada tahun 10 November 1968 dan berbatasan langsung dengan kampus Institut Seni Jakarta (IKJ) tersebut dinamakan dari seorang komposer pencipta lagu-lagu nasional kelahiran daerah Kwitang, Senen. Begitu Pula dengan gedung-gedung di dalamnya juga dinamakan dari para penggiat budaya yang mungkin pernah kalian lihat sekilas di buku pelajaran atau mendengarnya di kelas sekolah seperti : Emiria Soenassa, S.Soedjojono, Trisno Soemardjo, Amir Hamzah dan Oemar Effendi dan juga tidak ketinggalan Ali Sadikin sebagai gubernur yang menjabat pada saat itu juga turut diabadikan namanya.
Perbandingan Konsep Acara
Saat itu terdapat dua macam acara yang sedang berlangsung di tempat tersebut yaitu Jakarta Bienalle 2024 yang juga digelar di 3 tempat lainnya yaitu komunitas Salihara, Gudskul dan Kubo. dimana acara ini diselenggarakan oleh kelompok Majelis Jakarta yang terdiri dari 20 kolektif seni dengan mengusung konsep “lumbung” sekaligus merayakan hari jadi dari acara tersebut yang ke 50 tahun, sedangkan Jakarta Doodle Fest 2024 merupakan sekuel dari acara sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 2023 dengan berfokus untuk memasarkan seni visual dalam bentuk merchandising.
Berdasarkan fungsi kedua acara tersebut menerapkan hal yang sama yaitu sebagai ajang mengenalkan karya kepada khalayak masyarakat bagi seluruh seniman yang terlibat didalamnya namun memiliki latar belakang yang berbeda.
Acara Jakarta Biennale 2024 berawal dari Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dibawah Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) pada 18-23 Desember 1974 yang kemudian diboikot oleh kelompok Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dengan mengirim kiriman bunga bertuliskan “Turut Berduka Cita Atas Kematian Seni Lukis Kita” oleh kelompok Gerakan Seni Rupa Baru yang terdiri dari 14 seniman serta budayawan D.A. Peransi dimana pemboikotan tersebut dilakukan bukan karena mereka kalah dalam sayembara lomba yang diadakan akan tetapi sebagai protes dari stagnasi seni Indonesia pada waktu itu yang dinilai terlalu konservatif dan hanya menjual narasi lirisme semata tanpa ada melihat realita sosial didalamnya dengan turut menyebut semua orang yang masih melakukan praktek tersebut dengan istilah “purnawirawan budaya”. Hingga pada akhirnya Jim Supangkat sebagai salah satu pemboikot ikut melebur masuk kedalam jaringan Jakarta Bienalle sebagai kurator pada tahun 1993 sekaligus menjadi penanda dari berubahnya nama dari acara dari menjadi Jakarta Biennale IX. Hal lainnya yaitu acara ini pun sempat mengalami vakum pada awal dekade 2000-an dan baru terlaksana kembali pada 2006. Kembali pada konsep “Lumbung” pada tahun ini, agaknya hal tersebut dengan kontradiktif dengan beberapa karya seni berkonsep kolaboratif namun justru malah melempar penafsiran kembali kepada apresiator yang mengunjunginya ditambah dengan pemanfaatan tata letak yang kurang maksimal untuk skala gedung yang baru saja direnovasi menjadi lebih luas sehingga memberi kesan bahwa karya-karya yang hadir diletakan begitu saja untuk mengisi kekosongan sudut-sudut ruang dengan transisi antar instalasi
Sedangkan acara Jakarta Doodle Fest 2024 diinisiasi oleh seniman visual Muchlis Fachri (Muklay) yang bekerjasama dengan Mr.DIY, Bank BCA serta LokaKarya memiliki fokus pada pengembangan IP (intellectual property) atau HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sesuai dengan tema mereka untuk tahun ini yaitu “Art to Cart” diterapkan dalam berbagai bentuk produk mulai dari gantungan kunci hingga lukisan 50×50 cm.
Namun karena hal itu nilai seni yang terdapat pada barang menjadi tersaturasi dengan kapitalisasi harga jual, bagi seorang yang mempunyai brand kuat seperti namun hal tersebut tentu menjadi beban tersendiri untuk para pemula yang terjun dalam skena merchandising dengan beban “balik modal” di pundak untuk membayar sewa tenant yang diberikan oleh pihak penyelenggara.
Titik Temu Antara Idealisme dan Tren Industri
Tren dalam industri bersifat sementara dan selalu datang silih berganti. Sangat disayangkan jika para seniman mengorbankan identitas artistik mereka hanya untuk mengikuti tren dan berakhir terjebak pada skema eksploitasi kapital berkedok apresiasi artistik, karena hal ini akan berdampak pada kualitas karya yang mereka hasilkan. Secara perlahan, karya yang semula mengikuti tren tersebut dapat kehilangan nilainya seiring berjalannya waktu. Karya yang dibuat dengan pemikiran matang mampu menarik apresiasi lebih luas dan memberi pengaruh nyata pada masyarakat dibandingkan dengan karya instan yang berakhir pada eksploitasi kapital berkedok apresiasi artistik
Saya harap para seniman indonesia dapat lebih berfokus kepada pengembangan fundamental identitas artistik yang kuat dengan disertai pengelolaan brand secara mandiri agar dapat bersaing secara sehat dalam perjalanan karir mereka sehingga tidak lagi terjebak dalam skema eksploitasi kapital berkedok apresiasi artistik.
Penulis : M. Haikal. A. A.
Dokumentasi : M. Haikal. A. A.
Penyunting : Ossa Fauzan N.