Home Default Blog
Siliwangi, sosok raja kharismatik yang sampai kini melegenda, melekat pada ingatan kolektif masyarakat Sunda. Ia pemimpin yang dihormati sekaligus penguasa yang dicintai rakyatnya. Di era sekarang agak sulit kiranya menemukan figur yang demikian.
Seorang raja –jika dilihat dari etos yang dibangun– bisa saja hanya sebatas memimpin tanpa menumbuhkan kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya. Seorang penguasa sangat mungkin mempraktekkan wewenang kekuasaan secara semena-mena, absolut, dan otoriter. Tak sembarang pemimpin negara bisa menjadi penguasa sekaligus pemimpin seperti Prabu Siliwangi.
Ia mempersatukan tatar Pasundan dari Sunda dan Galuh menjadi Pakuan Pajajaran, 1428. Silih Wangi –adalah gelar yang secara etimologi berarti pengganti/penerus Prabu Wangi– memang tak hanya satu. Namun, Silih Wangi Jayadewata – Sri Baduga Maharaja atau Siliwangi III– namanya begitu bersinar, hampir menutupi kemasyhuran raja-raja setelah Prabu Wangi (Wastukencana) yang lain.
Sri Baduga memimpin Pajajaran selama 39 tahun (1482-1521 M), dalam 3 dekade lebih –masa yang tak beda jauh dengan masa pemerintahan Orde Baru– ia berhasil membawa Pajajaran ke puncak kejayaan, memberikan kharisma yang tak lekang oleh zaman, Sri Baduga menjadi manifestasi figur pemimpin yang melegenda di antara raja-raja lain di Nusantara.
Sebagai panutan, karakter seorang pemimpin haruslah seperti yang digambarkan peribahasa “saciduh metu saucap nyata“, yang berarti antara tindakan dan ucapan haruslah sesuai. Siliwangi tak kurang dari itu. Bahkan lebihnya ia berhasil mempraktekan nilai-nilai luhur “Kasundaan” selama memimpin Pakuan Pajajaran.
Seperti yang termaktub pada naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian (1815 M), ada beberapa prinsip yang menjadi kunci keberhasilannya sebagai figur pemimpin yang melegenda, yaitu;
Prinsip Parigeuing, adalah bagaimana sebagai pemerintah –dalam arti sosok pemilik otoritas untuk memberi titah– Siliwangi menggunakan pendekatan yang santun sehingga yang diperintah melaksanakannya dengan senang hati;
Prinsip kedua adalah Dasa Pasanta, yakni tata-titi –aturan atau etika– Siliwangi saat memberi perintah, Dasa Pasanta terdiri dari 10 poin implementatif, yakni; guna, ramah, ho’ok, pesok, asih, karunia, mukpruk, ngulas, nyecep,dan ngala angen.
Perintah yang diberikan oleh penguasa kepada rakyat akan lebih mudah dilaksanakan oleh rakyat bila memenuhi unsur guna atau kegunaan, artinya perintah dari penguasa memiliki maksud dan tujuan yang jelas, yang mana perintah itu disampaikan dengan ramah, yang berarti menggunakan bahasa yang sopan sehingga dapat menarik budi yang diperintah; dari perintah yang memiliki guna dan ramah timbullah ho’ok, pesok (rasa kagum dan bangga) yang muncul. Jika sudah demikian, maka suasana asih dan karunia, kasih sayang antara yang memerintah dan yang diperintah akan terjalin, karena pemerintah mampu mumpruk, atau dalam kata lain memberikan ketentraman pada yang diperintah. Adapun bila perintah sudah selesai terlaksana, maka raja perlu me-ngulas dan nyecep; ngulas yakni merespon baik pekerjaan yang diperintah, respon dapat berupa kritik atau pujian. Selain itu, pemberi perintah dapat memberi apresiasi (nyecep) dengan pemberian hadiah atau cukup dengan berterima kasih kepada rakyat yang diperintah, hal ini dilakukan supaya dapat menaruh simpati atau ngala angen antara yang diperintah dengan pemberi perintah;
Dan yang terakhir adalah prinsip Pangimbuh Twah, yakni kelengkapan diri Siliwangi (lahir dan batin) yang dipenuhi oleh kebijaksanaan dalam setiap twah –perintah– dan perilaku.
Ketiga prinsip yang dikukuh Siliwangi nampak jelas bahwa Sang Prabu adalah seorang pribadi yang telah mencapai taraf kemanunggalan antara tekad, ucap, lampah. Will, mind, power.
Akankah pemimpin kita –atau bahkan kita sendiri– mampu memimpin –dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang adiluhung– layaknya Siliwangi?
Penulis: Jundighifari
Foto: Lukisan Prabu Siliwangi di Keraton Kasepuhan Cirebon
Penyunting: Purwa Sundani