Home Default Blog
Selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 7-9 Maret 2025, telah berlangsung rangkaian presentasi artistik Pseudo Entertaiment #1: “Apa yang Tersisa Dari Masa Depan?” yang diinisiasi oleh Bandung Performing Art Forum (Yayasan Seni Pertunjukan Bandung). Selama tiga hari tersebut, sembilan partisipan individu dan satu partisipan kolektif program residensi penelitian artistik melaksanakan presentasi karya dalam bentuk pertunjukan di beberapa situs di Kota Bandung, di antaranya; Gelanggang Olah Rasa, Dago Elos, landmark Asia-Afrika, dan beberapa lokasi lain di Bandung.
Sebelum presentasi karya artistik tersebut, kesepuluh partisipan program Pseudo Entertaiment #1: “Apa yang Tersisa Dari Masa Depan?” yang terdiri dari Adhea Rizky Febrian (Aktivis, Bandung), Amina Gaylene (Penulis, Depok), Arif Furqan (Seniman, Yogyakarta), Arum Dayu (Seniman, Bandung), Ganda Swarna (Aktor, Ciputat), Fachry Matlawa (Penari/Koreografer, Papua), Mega Buana (Penari/Koreografer, Bandung), Rama Anggara (Komponis, Pontianak), Syamsul Arifin (Aktor, Sampang) serta Angela Sunaryo (Bandung) dan Helmi Hardian (Surabaya) dari Kolektif Bioahaha, melaksanakan residensi selama kurang lebih satu bulan, dari Februari – Maret 2025.
Selama residensi, para partisipan mengunjungi berbagai lokasi di Bandung, termasuk Dago Elos, Braga, Asia-Afrika, komunitas Dilans, dan Ruang Seni Budaya. Selain kunjungan kelompok, kesepuluh partisipan juga melakukan riset mandiri di beberapa situs pilihan, seperti Dago Elos yang menghadapi penggusuran, pasar Sarijadi yang sepi, sungai Cikapundung yang terabaikan, serta Rusunawa Rancacili.
Berbagai karya dalam residensi ini menyoroti isu sosial melalui pendekatan artistik yang unik. Mega Buana mengeksplorasi konsep radical caring, sementara Adhea Rizky Febrian merekam potret personal warga Dago Elos sebagai bentuk perlawanan yang lembut. Arum Dayu dan Syamsul Arifin menangkap semangat perjuangan melalui musik AI dan refleksi pengalaman nelayan.
Sementara itu, Ganda Swarna dan Rama Anggara menggunakan soundscape untuk menyoroti dampak pembangunan terhadap ruang hidup, sedangkan Amina Gaylene dalam karyanya mencoba menelaah ironi estetisasi kota. Kolektif Biohaha dan Arif Furqan dalam karyanya berusaha mengajak menjelajahi kota secara multisensorik dan kritis terhadap sejarah. Terakhir, Fachry Matlawa dalam karyanya mencoba menyoroti pengawasan dalam ruang publik melalui gerak tubuh dan rekaman CCTV.
Mendengarkan Sungai: Refleksi Antara Ingatan, Bunyi, dan Campur Tangan Manusia
Rama Anggara bersama dengan Arita Bagja Pramudita mempresentasikan karyanya dengan konsep quadraphonic spatial audio yang berjudul “Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu?” yang mengajak pengunjung untuk merenungkan hubungan antara manusia, waktu, dan alam. Presentasi karya dibawakan melalui pupuh yang diiringi jentrengan kecapi dalam intimasi ruangan di Gelanggang Olah Rasa, Dago.

Dalam karya ini, lanskap sungai Cikapundung ditonjolkan sebagai simbol aliran waktu dalam merenungi kehidupan: Apa artinya ketika sungai berbalik arah dengan mendatangkan berbagai bencana? Apakah ini pertanda dari kegagalan atau justru kesempatan untuk memulai kembali bagi umat manusia?
Secara teknis, karya ini dibawakan dalam bait campuran Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, dengan empat pengeras suara yang dipasang surround sound di depan dan belakang pengunjung yang duduk di lantai beralaskan bantal. Intimasi dalam presentasi karya ini terasa hangat karena paparan cahaya lampu redup, dan kapasitas pertunjukan yang dibatasi 15 orang. Karya “Bagaimana Jika Kini Sungai Berbalik Memunggungimu?” yang dibawakan oleh Rama Anggara dan Arita Bagja Pramudita dibagi menjadi 3 sesi, setiap sesi dilaksanakan bergilir dari pukul 16.00 hingga 18.00 WIB.
Kami kira sedari awal karya seni ini ingin menampilkan suara, karena tidak ada elemen visual pendukung seperti cahaya atau video. Sepanjang pertunjukan, Kami memejamkan mata dan mencoba menajamkan pendengaran yang terhubung dengan memori, menstimulus visual semu di dalam benak, dan membawa rasa hingga seluruh tubuh pergi ke tempat-tempat tertentu yang digiring oleh bunyi yang keluar dari pengeras suara. Tubuh yang dibawa menjelajah kembali pada pengalaman terdalam bersama sungai seakan seperti saat masa kecil berenang di aliran sungai, suaranya yang familiar karena selalu terdengar sampai ke pelataran rumah yang tak jauh dari sungai, bersembunyi disekitaran sungai hingga mencoba memancing ikan-ikan dalam arus airnya.

Semua kesan itu hilang ketika kami membuka mata dan melihat dua orang sedang duduk memainkan semua sandiwara sungai di ruangan ini. Kami rasa jika Rama hanya mengatur laju dan dinamika track audio pada perangkat lunak dan juru pantun yang terkesan mengambil alih pamor sungai yang apa adanya, permainan kecapi dan pantun seakan memberi sarat bahwa manusia selalu ikut campur di setiap pergerakan alam yang sudah sempurna dengan sendirinya. Kami sempat memikirkan alternatif pertunjukan dengan hanya mendengarkan audio tanpa harus mendesak mata untuk mengaktifkan penglihatan, cukup dengan merasakan dan membayangkan. Mungkin seniman bisa memainkan audio di belakang atau lampu sepenuhnya dimatikan. Karena tidak ada visual pendukung karya seni selain menimbulkan kesan keterlibatan manusia dalam proses-proses alam.
Betapa sungai sangat dekat dengan keseharian kami di masa lalu, tidak hanya sebagai aliran yang pasif. Namun, darinya kita diberi kehidupan. Sekarang di dunia perkotaan, Kami kira sungai adalah salah satu entitas alam yang masih hidup berdampingan dengan hiruk-pikuk dan kesibukan kota sebagai ornamen tambahan, tidak jarang dihias sedemikian rupa atau ‘dimanusiakan’ untuk bisa dinikmati oleh manusia. Di sinilah seniman menampilkan suara-suara perkotaan yang berisik, terkesan kontra dengan suara sungai yang tenang dan damai di sampingnya.
Penulis: Edwin May, M. Haikal Athar A.
Dokumentasi: M. Haikal Athar A.
Penyunting: Hana Diah Khoerunnisa