Home Default Blog

REFLEKSI MORALITAS DALAM TEATER “MORT SANS SÉPULTURE” KARYA JEAN PAUL SARTRÉ TERJEMAHAN ASRUL SANI
ARTIKEL

REFLEKSI MORALITAS DALAM TEATER “MORT SANS SÉPULTURE” KARYA JEAN PAUL SARTRÉ TERJEMAHAN ASRUL SANI

Dinamika Eksistensi 

Awal tahun baru selalu dihiasi oleh letupan gejolak semangat yang terwujud dalam sebuah “resolusi”, kumpulan harapan tersebut muncul dengan dasar untuk memperbaiki sekaligus mengejar tujuan baru. Dengan kata lain, resolusi adalah upaya memvalidasi eksistensi diri dalam hidup ini. Hal ini sejalan dengan tema pertunjukan teater yang dibawakan oleh Demam Teater dengan judul “Mort Sans Sépulture”  karya Jean-Paul Sartre terjemahan Asrul Sani yang berjudul “Hilang Tanpa Bekas”, di Gedung Pertunjukan Seni Rumentang Siang pada hari Jumat, 24 Januari 2025 di bawah pimpinan produksi Ladya Belga dan sutradara Dwi Nanda Perwira, serta dramaturgi Tony Supartono. Pertunjukan teater ini berhasil mengajak para penonton untuk merenung mengenai bagaimana nilai-nilai moralitas secara nyata dapat memengaruhi kehidupan kita, serta setiap keputusan yang diambil berdasarkan nilai-nilai moralitas tersebut dapat membawa konsekuensinya tersendiri. 

Meninjau secara historis, naskah teater Mort Sans Sépulture telah ditulis oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1941 sebagai respon dari peristiwa Peristiwa Perang Dunia II, terutama peristiwa okupasi Nazi yang membentuk rezim Vichy di Perancis pada tahun 1940-1944 yang memengaruhi pembawaan estetika dari teater ini, dengan menunjukan secara eksplisit bagaimana dampak perubahan sosial yang ditimbulkan dari perang,  sebagaimana dapat dilihat pada balutan emosi keputusasaan dan kekerasan dari para warga sipil ditunjukan secara dominan kepada penonton sepanjang pertunjukan berlangsung

Naskah teater Mort Sans Sépulture ini diciptakan Sartre sebagai bentuk eksplorasi dalam mencari arti dari heroisme serta bagaimana manusia menghadapi situasi ekstrim yang berada di luar batas kebiasaan manusianaskah Mort Sans Sépulture ini kemudian dipentaskan pertama kali dalam bentuk pertunjukan teater ke hadapan publik di Théâtre Antonie, Paris, Perancis pada tahun 1946 dengan sutradara Simone Berriau. Sementara itu, dalam versi Indonesia, judul teater ini diterjemahkan menjadi “Hilang Tanpa Bekas” serta pertama kali dipentaskan pada tahun 1970 oleh kelompok ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang disutradarai oleh Wahyu Sihombing, serta kemudian dipentaskan kembali pada tahun 1983 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Barisan para aktor dari Mort Sans Sépulture terjemahan Asrul Sani. (Foto: M. Haikal A. A./LPM Daunjati)

Sinopsis dari Mort Sans Sépulture menggambarkan perjuangan sekelompok martir yang tertangkap dan ditahan di sebuah kamp penjara bawah tanah oleh rezim Vichy yang mengokupasi Paris, Perancis. Mereka dihadapkan pada dilema moral yang berat, yaitu mengorbankan prinsip-prinsip mereka untuk tetap hidup atau mempertahankan prinsip-prinsip yang mereka pegang dengan konsekuensi berupa eksekusi mati. Setiap individu dalam naskah ini memiliki cara tersendiri dalam menghadapi tekanan dan interogasi dari milisi rezim Vichy, sebagaimana berikut:

– Henry (Mikhail Zidane) 

Merupakan sosok yang berusaha untuk bersikap tenang dan rasional dalam kelompok. Ia memahami bahwa interogasi adalah upaya para tentara Nazi untuk menghancurkan mental mereka, Henry, yang diperankan oleh Mikhail Zidane  memilih untuk tidak memberikan informasi apapun kepada musuh. Henry mempertahankan moralitasnya dengan tetap berpegang pada prinsip solidaritas dan tanggung jawab, meskipun dibalik itu semua ia merupakan sosok yang provokatif serta selalu meluapkan kemarahannya kepada orang lain.

– Canoris (Malik Fajar)

Tokoh Canoris merupakan  seorang pemuda dengan karakter impulsif, ia seringkali merasa marah dan frustasi terhadap diri sendiri karena situasi  yang sedang ia hadapi. Meskipun demikian, ia tetap berusaha untuk tidak mengkhianati teman-temannya. Meskipun mengalami ketakutan dan keraguan, Canoris yang diperankan oleh Malik Fajar tetap memilih untuk mempertahankan moralitasnya dengan tidak menyerah pada tekanan Nazi. Ia menyadari bahwa memberikan informasi kepada musuh tidak hanya akan mengkhianati kelompoknya, tetapi juga merusak integritas dirinya sendiri.

– Sorbier (Indra Apriyana)

Merupakan sosok pria paling sarkastik yang selalu memandang sesuatu dari kemungkinan-kemungkinan terburuk, yang pada akhirnya ia lebih memilih untuk mati bunuh diri dengan terjun dari jendela ruang interogasi sebagai puncak dari ego serta upaya terakhir dalam membebaskan diri dari para milisi rezim Vichy.

– Lucie (Sheira Agata)

Merupakan satu-satunya sosok perempuan dalam kelompok ini. Lucie merupakan kakak perempuan dari François serta kekasih dari Jean, ia berusaha untuk menutupi sifat feminitasnya agar tidak diremehkan oleh para anggota kelompok martir lain. 

– François (Rizky Herdiansyah)

Merupakan tokoh paling muda sekaligus adik dari Lucie, memiliki watak yang sangat gegabah dan tidak mau diatur, pada akhirnya mati terbunuh oleh para anggota kelompok martir  karena mengancam akan membocorkan segala informasi kepada para interogator. 

– Jean (Muhammad Rifaldi)

Merupakan pemimpin dari kelompok martir yang memiliki harga diri tinggi dan merupakan sumber utama permasalahan dalam cerita ini, ia dianggap sebagai pemimpin yang  tidak bertanggung jawab dan pengecut karena lebih memilih kabur terlebih dahulu ketika anggota kelompok martir lainnya tertangkap. Pada akhirnya ia dibebaskan terlebih dulu oleh para milisi rezim Vichy karena dianggap hanya melakukan kejahatan kecil dan bukan bagian dari para kelompok martir.

– Landrieu (Febriyan)

Merupakan sosok pemimpin kelompok tentara rezim Vichy, sangat mudah terbawa emosi karena berambisi mendapatkan informasi dari para tahanan kelompok martir dengan segala cara.

– Clochet (Ilham Maulana)

Merupakan penjaga atau algojo berbadan gemuk dan berwatak bengis yang bertugas untuk menyiksa para martir atas perintah Landrieu. 

Para tokoh tersebut memiliki permasalahanya tersendiri yang mencerminkan kompleksitas  dari tiap manusia dalam menghadapi situasi-situasi ekstrim, dimana situasi ekstrim dalam pertunjukan teater ini adalah medan perang. Tendensi untuk mencari kebebasan diri yang ditonjolkan oleh para martir pada akhirnya menjadi sebuah konflik kolektif. 

Kelompok martir harus dihadapkan pada fakta bahwa tindakan tersebut merupakan sebuah ancaman besar terutama bagi rezim Vichy yang berupaya meruntuhkan mental mereka secara total dengan melakukan tindakan-tindakan keji serta manipulatif, sebagai upaya dehumanisasi tiap individu. Namun, upaya ini justru membuat mereka menjadi target utama dari rezim Vichy yang melihat perlawanan tersebut sebagai ancaman terhadap kekuasaan. Sementara itu, tindakan yang dilakukan oleh rezim Vichy sebagai upaya dalam meredam perlawanan para kelompok martir adalah dengan  menggunakan berbagai  taktik, mulai dari penyiksaan fisik hingga tekanan psikis  untuk memecahkan solidaritas kelompok martir dan untuk menghancurkan identitas mereka. Misalnya, para milisi melakukan kekerasan seksual terhadap Lucie, walau mereka juga melakukan hal-hal ceroboh seperti membiarkan jendela tidak terkunci serta membebaskan Jean selaku pemimpin dari para kelompok martir tersebut.

 

Batas Bayang-Bayang Moralitas

Adegan ketika para kelompok martir dihampiri oleh para milisi rezim Vichy dalam sel tahanan sebelum dieksekusi mati. (Foto: M. Haikal A. A./LPM Daunjati)

Setiap langkah dalam tindakan akan selalu menciptakan sebuah bayang-bayang moral yang terus mengikuti. Walau para martir berasal dari satu kelompok, masing-masing individu tersebut harus berjuang dengan menggunakan egonya sendiri untuk mengatasi rasa takut, kesedihan, dan kemarahan dalam menghadapi situasi tersebut yang berusaha dieksploitasi oleh para interogator tentara Nazi. Bayang-bayang yang tercipta bukan hanya berasal dari penderitaan fisik semata, tetapi juga tentang perasaan bersalah atau penyesalan pada keputusan sepihak yang telah diambil, ditambah pula oleh ketidakpastian waktu yang terus menggerogoti pikiran mereka selagi merana di dalam kamp penjara bawah tanah.

Dalam Mons Sans Sépulture, bayang-bayang tersebut menjadi simbol dari beban moral dan psikologis yang harus ditanggung oleh setiap tokoh. Mereka tidak hanya menghadapi ancaman fisik dari interogator rezim Vichy, tetapi juga harus berurusan dengan konflik internal yang muncul akibat dari  keputusan-keputusan yang mereka buat, baik keputusan individu maupun keputusan kolektif. Hal tersebut menciptakan rasa terisolasi dan alienasi, karena setiap orang harus berjuang melawan ketakutan dan penyesalan mereka sendiri dalam ketidakpastian waktu yang terus menggerogoti pikiran selagi berada di dalam kamp penjara bawah tanah.

Dari sebelah kiri: Sutradara Dwi Nanda Perwira bersama dengan Benny Yohanes yang turut menghadiri pementasan teater Mort sans sépulture terjemahan Asrul Sani di Gedung Kesenian Rumentang Siang pada Jumat, 25 Januari 2025. (Foto: M. Haikal A. A./LPM Daunjati)

Pada konteks ini, Sartre mengeksplorasi bagaimana kebebasan individu meskipun dihadapkan pada kekejaman dan dehumanisasi yang menjadi kekuatan yang tidak dapat sepenuhnya dihancurkan. Namun, kebebasan ini juga menjadi sumber konflik, baik secara internal maupun eksternal dimana hal tersebut disadur oleh sastrawan Asrul Sani dalam ungkapan bahasa-bahasa puitis. Namun, hal ini juga perlu diwaspadai oleh para sutradara maupun aktor agar tidak lengah dan terjebak dalam labirin metafora kata yang mereka buat sedemikian rupa. Kekuatan metafora yang terlalu kompleks atau berlapis-lapis dapat mengaburkan pesan inti dan membuat penonton kehilangan esensi dari pertunjukan. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku teater untuk menjaga keseimbangan antara kedalaman makna dan kejelasan penyampaian, sehingga karya mereka tetap dapat dinikmati dan dipahami tanpa mengorbankan nilai artistik yang ingin disampaikan. Mengenai tujuan yang ingin disampaikan kepada para penonton, Dwi Nanda selaku sutradara turut menjelaskan “bahwa hidup ini pilihan, walaupun tidak sesederhana itu secara keutuhan naskah,  namun secara khusus saya ingin menyampaikan hal itu,” Dwi Nanda menuturkan.

Memasuki segi teknis, terdapat beberapa aspek yang patut diapresiasi dalam pementasan teater ini; Pertama, penampilan tokoh Lucie yang membawakan senandung untuk adiknya François yang mati terbunuh dalam bahasa Perancis dengan penuh penghayatan; Kedua, gerakan-gerakan akrobatik yang dilakukan oleh para pemain menunjukkan keahlian fisik yang tinggi serta menambah dimensi visual yang dinamis dan memukau; dan terakhir, riasan wajah dari tiap tokoh yang dibuat dengan detail dan presisi tidak hanya memperkuat karakterisasi masing-masing tokoh, tetapi juga memperkaya narasi visual secara keseluruhan yang menciptakan kesan  bagi penonton.

Mengenai alasan utama dalam memilih naskah ini, Dwi Nanda Perwira selaku sutradara mengungkapkan bahwa “Naskah ini banyak beretorika bahwa kita harus bisa menerima segala risiko yang dipilih, seringkali kita sebagai kawula muda tidak tetap pada pilihan, kadang-kadang berubah atau menyesali pilihan itu,” ujarnya.  Menyinggung perihal proses dalam garapan teater ini, Dwi Nanda menjelaskan bahwa “Saya sendiri membawa aktor untuk memahami naskah bersama-sama seperti ada muatan apa didalamnya, dan ketika kita paham pada sesuatu kita dapat meresapi hal tersebut ,”. Menyinggung mengenai tantangan yang dihadapi, Dwi Nanda turut menambahkan  “Proses kita sekitar 3 bulan, berangkat dari enggak punya modal sama sekali dari mulai tata panggung sampai properti, tapi kita tetap bisa menyajikan pertunjukan yang utuh, jadi secara keseluruhan saya puas.” ujarnya.

 

Konklusi 

Adegan penutup teater Mort Sans Sépulture terjemahan Asrul Sani di Gedung Kesenian Rumentang Siang pada Jumat, 24 Januari 2025. (Foto: M. Haikal A. A./LPM Daunjati)

Jika kita mengukur esensi heroisme yang ditunjukkan oleh para martir dalam teater ini melalui pandangan Sartre, dapat diartikan bahwa heroisme merupakan bentuk nyata dari keberanian moral dalam memilih apa yang benar menurut diri sendiri, meskipun hal tersebut bertentangan dengan mayoritas atau bahkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa, esensi heroisme terletak pada komitmen dari tiap individu untuk menanggung beban moralnya dengan secara sadar turut  mengetahui berbagai konsekuensinya hingga akhir.

Perjuangan para martir tidak sepenuhnya sia-sia. Meskipun mereka menghadapi konsekuensi yang besar berupa eksekusi mati, upaya mereka untuk mencari kebebasan diri telah menanamkan benih kesadaran baru dalam masyarakat. Konflik yang muncul justru menjadi cermin bahwa kebebasan diri adalah hak yang tidak bisa diabaikan, sekalipun harus dibayar dengan harga yang mahal, yaitu kematian. Melalui tindakan mereka, Sartre mengajarkan bahwa heroisme sejati bukanlah tentang kemenangan fisik, melainkan tentang keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan, bahkan di tengah tekanan yang paling ekstrim sekalipun.

Referensi :

Harian Merdeka terbitan 7 Januari 1970.
Kompas,10 Oktober 1983.
Majalah Djaja Nomor 417, Januari 1970.
QI, S., & ZHANG, W. (2019). Total Heroism: Reinterpreting Sartre’s Morts sans sépulture (The Victors) for the Chinese Stage. Theatre Research International, 44(02), 171–188.


Penulis: M. Haikal Athar A.
Dokumentasi: M. Haikal Athar A.
Penyunting: Purwa Sundani