Home Default Blog

ARTIKEL

APAKAH RUANG ALTERNATIF PAMERAN SENI RUPA DI COFFEE SHOP DAPAT DIKATAKAN LAYAK?

RUANG SEBAGAI BAGIAN

Ruang sebagai tempat dengan kongkritnya memiliki berbagai fungsional, ruang basis spasial sederhana sebagai dua dan empat tiang yang menyatu lalu terbentuk, ruang dalam alih fungsi sebagai imajiner seni sebagai pertunjukan dari konsen-konsen kesenian, ruang alternatif dalam harfiah sebagai jalur lain dari keduanya yang tidak biasa dilakukan secara konvensional.

Ruang-ruang alternatif dalam konteks kesenian dapat dilihat sebagai peralihan tempat yang mencoba menerobos batas-batas biasanya. Dalam teater ruang panggung menjadi dualitas antara realitas kehidupan nyata manusia dengan realitas panggung yang berangkat dari naskah atau teater dalam kajian konvensional yang mendikte penyesuaian gerak atau bentuk-bentuk kinetik.

Karya lukis pada pameran ANASIR, Smiljan Space, Tanggerang, Sabtu, 11 Mei 2024 (Foto: Meylfin Ridona/LPM Daunjati)

Seni rupa sebagai dua dan tiga dimensi paham betul berbicara mengenai ruang sebagai bagiannya, ruang menjadi sosok mutlak bagaimana karya rupa yang disajikan menjadi berbeda jika pendekatan dalam estetika ruang, semisal jika dalam ruang tersebut sempit dan kotor yang akhirnya ruang tersebut tidak dapat merespon karya tersebut dengan maksimal, artinya keberadaan ruang itu sendiri berperan penting dalam memaksimalkan suatu karya.

RUANG PEMERAN KONVENSIONAL

Pameran Capturing Silence karya Albert Yonathan Setyawan, Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, 6 Oktober 2023 (Foto: Resa Ramadhan/LPM Daunjati)

Pameran umumnya di pamerkan di sebuah galeri atau museum, aktivitas yang ada di galeri biasanya diperuntukan sebagai ruang memamerkan benda atau karya seni, galeri sendiri juga menjadi tempat aktivitas menjual dan membeli karya, museum adalah gedung yang digunakan untuk pameran seperti peninggalan sejarah dan seni.

Dari kedua tempat tersebut secara umum biasa digunakan sebagai ruang pameran, yang menjadi ciri dari keduanya, ruangannya luas dan keduanya dapat memaksimalkan karyanya, dalam konteks memaksimalkan karya sebenarnya bagaimana pengelola dapat menata ruangan tersebut dalam merespon karya dengan baik tetapi memiliki ruangan yang luas untuk sebuah pameran adalah suatu yang menjadi konvensional.

Pameran Capturing Silence karya Albert Yonathan Setyawan, Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, 6 Oktober 2023 (Foto: Resa Ramadhan/LPM Daunjati)

Semisal seniman Albert Yonathan Setyawan, ia mengadakan pameran bertajuk Capturing Silence di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta 6 Oktober 2023. Ketika pertama kali menginjakan kaki di Jogja National Museum dan mengapresiasi karya keramik Albert terasa berbeda dengan karya-karya lain yang pernah di apresiasi, sesuatu yang dapat maksimal dari karyanya tersebut adalah ruangan yang banyak dan luas, meski suatu ruang tidak memberikan efek secara dominan pada karya seni tetapi ruang dapat merespon suatu karya tersebut.

Karya Albert sesuai dengan tajuk Capturing Silence membuat saya merasakan hal yang berbeda, faktor suhu, audio dan karya Albert yang cenderung repetisi membuat semua menjadi satu-kesatuan yang seimbang. Dari hal ini dapat dipastikan bahwa suatu ruang untuk pameran bisa memberikan dampak yang signifikan untuk karya seni Albert.

 

RUANG ALTERNATIF PAMERAN

Karya lukis pada pameran ANASIR, Smiljan Space, Tanggerang, Sabtu, 11 Mei 2024 (Foto: Meylfin Ridona/LPM Daunjati)

Ruangan yang diperuntukan untuk pameran umumnya dilaksanakan di galeri dan ruang-ruang alternatif, ruang alternatif semisal Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung sedari awal bukanlah ruang untuk pameran, pembuatan awal bangunan tersebut awalnya untuk acara hiburan kelas menengah pada masa kolonial Belanda seperti tempat bermain kartu, bermain billiard, tempat pertunjukan band atau orkes kecil dan sebagai tempat makan serta minum. Seiring waktu pada tahun 1950 di sematkanlah nama bangunan tersebut menjadi Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Gedung ini berfungsi sebagai tempat pertunjukan kesenian tradisional, dan sering digunakan untuk kegiatan kongres, seminar, diskusi dan kegiatan lain yang bersifat kesenian dan kebudayaan. Selain itu, di gedung ini menjadi tempat berkumpul dan berkomunikasi para budayawan dan seniman yang berlangsung sekitar tahun 1950-1980.

Gedung YPK saat ini cukup masif digunakan sebagai ruang alternatif untuk pameran seni rupa, dari gedung tersebut dapat dikatakan bahwa ruang alternatif dapat digunakan sebagai tempat pameran dan tidak melulu dilakukan di galeri dan ruang alternatif, karena biasanya ruang-ruang alternatif digunakan sebagai langkah awal seorang seniman rupa berpameran.

Ruang alternatif pameran lainya yang sedang populer adalah art space coffee shop, seperti halnya pada tanggal tanggal 11 Mei 2024 Smiljan Space mengadakan sebuah pameran yang bertajuk “ANASIR” dari anak-anak Sekolah Seni Tubaba (STT), sekitar 30 karya dari 23 perupa dipamerkan disana. Pemeran tersebut pertama kalinya diselenggarakan di sebuah art space coffee shop Smiljan, kota Tangerang Selatan.

Suvi Wahyudianto sebagai kurator dalam tulisan kuratorialnya bahwa Anasir sebagai fragmen, bagian dan patahan sebagai gabungan potongan-potongan kehidupan, pengalaman dan harapan melalui media seni rupa. Para perupa merespon sebuah objek-objek di sekitar Las Sengoq Tubaba sebagai inspirasi dan refleksi dari memorial kehidupan dan harapan masa depan para perupa.

Selain di Smiljan, pada tanggal 24 Juni 2023 saya juga pernah mengunjungi pameran lain di art space coffee shop Jijou Coffee & Social kota Bandung. Solo Exhibition dari seniman rupa Wanti Amelia yang bertajuk “Potongan Dari Suara Laut”, sederhanya pameran tersebut mengusung pengalaman Wanti terhadap trauma-trauma dan keindahan laut yang tidak dihindarkan olehnya, pengalaman tersebut ia hadapi dengan metode artistik melalui lukisan.

SUARA APRESIATOR

Setelah mendapatkan pengalaman dari pertemuan pameran di ruang konvensional seperti Albert di Jogja National Museum, alternatif art space coffee shop dan YPK sangat terasa ketimpangan yang sangat besar, karya Albert menjadi momok yang memberikan dampak bahwa ruang mempengaruhi dan memaksimalkan karyanya, sementara pengalaman setelah mengapresiasi dari kedua pameran yang berada di ruang alternatif, Smiljan.space dan Jijou Coffee & Social keduanya tidak dapat memaksimal karya-karya yang ada, hal itu terasa ketika pembukaan di Jijou Coffee & Social yang menampilkan pameran dari perupa Wanti.

Sebuah coffee shop sudah tentu interiornya untuk menjamu pengunjung menikmati secangkir minuman dan makanan, posisi kursi dan meja sedemikian disesuaikan dengan ruang-ruang, yang menjadi point kendala ketika pameran di sebuah ruang alternative art space coffee shop adalah tidak hikmatnya sebagai apresiator dalam mengamati suatu karyanya.

Pertama, Terdapat jarak antara meja dan orang yang sedang menikmati minuman dan makanan disana, otomatis apresiator yang ingin khusyuk dalam melihat kedalaman suatu karya akan nihil karena perhatian nya akan teralihkan oleh orang didepannya. Kurator dalam pameran di Jijou Coffee & Social, Susilo Nofriadi berpendapat pada sharing session bersama publik menjelaskan “coffee shop itu ga proper buat pameran, karna rancangan bagunannya bukan buat pameran” pendapat tersebut secara jelas dan tegas dilontarkan di hadapan publik sekaligus dihadapan owner Jijou Coffee & Social.

Pada fakta lain bahwa pameran yang diselenggarakan di sebuah art space di Coffee Shop hanya menjadi tujuan promosi antara seniman dan tempat coffe tersebut. Hal lain yang menjadi minus pameran di ruang alternatif seperti coffee shop adalah cara menata karya dengan maksimal, dari kedua pameran keduanya gagal dan disayangkan kepada karya seni yang tidak diatur secara baik, entah dari lampu sorot atau aktivitas hiruk pikuk di coffee shop, karya tersebut terlihat seperti PIGURA FOTO bukan karya seni yang dapat dihikmati oleh para apresiator dengan khusyuk.

Suasana setelah pembukaan pameran ANASIR, Smiljan Space, Tanggerang, Sabtu, 11 Mei 2024 (Foto: Resa Ramadhan/LPM Daunjati)

Meski begitu terdapat nilai tambahan lain yang menjadikan pameran di ruang alternatif ini adalah dapat menciptakan ekosistem antara seniman dengan pemilik coffee shop. Kehadiran pameran di ruang-ruang alternatif menjadi hal lain ketika pengunjung coffee shop yang biasanya mereka meminum dan menyantap makanan dapat menambah aktivitas seperti melihat karya seni yang di pajang di sebuah tembok dengan lampu general. Pada sesi wawancara kepada publik di Smiljan.space,

Yogi berpendapat “ini tuh menjadi space alternatif buat ngadain pameran jadi ga harus di galeri atau museum dan ini hal yang bagus bagi seniman-seniman, jadi mereka punya ruang alternatif buat nunjukin karya mereka, Jadi ga harus terpaku sama space-space konservatif gitu sih, jadi beragam aja.”

Point lain yang menjadi pembeda adalah efek membaurkan antara apresiator dengan pengunjung coffee shop, hal itu tidak ada ketika berada di museum dan galeri, hal ini menjadi perasaan baru bagaimana menikmati karya seni dengan tambahan audio dari orang yang meneguk minuman, suara gesekan sendok dan garpu dengan piring dan suara mesin coffee shop yang terdengar menjadi pengalaman yang berbeda.

KRITIK SEPERTI MENINJU ANGIN

Dari perbandingan pameran antara ruang konvensional dan alternatif dapat disimpulkan bahwa ruang alternatif kurang efektif dan maksimal bagi karya jika ruangan tersebut disatukan dengan interior meja dan tempat duduk yang berseberangan dengan pengunjung, seharusnya terdapat ruang yang berbeda dengan ruang tempat makan dan minum, seperti Orbital Dago, terdapat ruang yang berbeda antara ruang makan dan ruang pameran tetapi jarak keduanya tidak jauh. Pada pihak apresiator tekun ini menjadi kerugian bahwa tidak bisa menikmati karya seni dengan maksimal dan berbeda dengan seorang Snobis, mereka tidak peduli dengan pendalaman suatu karya mereka hanya peduli ke popularitasan dirinya atas menghadiri suatu karya seni.

Barangsiapa melancarkan kritik, tidak cukup hanya mengetahui kenyataan yang di hadapannya, sebab barangsiapa melancarkan kritik, ia berusaha untuk menentukan apakah kenyataan yang dihadapinya itu benar-benar seperti yang seharusnya yang perlu dinilai itu. (R.C Kwant)

 

Penulis : Resa Ramadhan
Dokumentasi : Meylfin Ridona, Resa Ramadhan

Penyunting : Ossa Fauzan