Home Default Blog
Pada hari Senin, tanggal 10 Juli 2023, UAS Studio II Teater Pasca Sarjana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung mempertunjukkan sebuah pementasan teater yang mengundang perhatian yang berjudul “Ruang Tunggu dan Pertanyaan Tentang Catatan Akhir.” Dihadiri penonton yang berjumlah kurang lebih 10 orang, pembimbing dengan tim pendukung lainnya. Disutradarai serta ditulis langsung oleh mahasiswa pasca sarjana Adhyra Irianto, pementasan ini menghadirkan perspektif filosofis yang mendalam serta latar belakang yang menarik.
Dalam wawancara dengan Adhyra Irianto, sang sutradara dan penulis, kita dapat melihat motivasi di balik pementasan ini. Salah satu faktor pendorong adalah tingginya kasus bunuh diri yang terjadi di Bengkulu. Adhyra yang sebelumnya pernah menjadi jurnalis selama 8 tahun, seringkali menemui kasus bunuh diri dalam pekerjaannya. Namun, ia merasa bahwa alasan dibalik tindakan tersebut bukanlah semata-mata bunuh diri, melainkan efek dari pengaruh negatif orang-orang di sekitar korban secara tidak langsung. Orang-orang yang hendak bunuh diri ini pada umumnya datang kepada seseorang yang mereka percayai sebagai “orang terakhir” yang dapat menyelamatkan mereka. Namun, seringkali orang yang dipercayai ini justru menambah beban dengan ucapan-ucapan seperti “belajar yang bener, kamu jauh dari agama,” dan lain sebagainya. Itulah yang pada akhirnya membuat mereka merasa terpukul dan mengambil keputusan tragis tersebut. Melalui pertunjukan ini, Adhyra ingin menyoroti bahwa depresi seseorang dapat disebabkan oleh pembatasan-pembatasan yang dipaksakan oleh pandangan moral dan penafsiran orang lain, yang pada gilirannya menciptakan tekanan yang berat. Pementasan ini mencoba menggali lebih dalam tentang fenomena ini dan mengajak penonton untuk merenung.
Naskah pementasan ini sebenarnya telah ditulis sejak tahun 2020 dan telah mengalami beberapa kali pentas sebelum mencapai bentuk yang sekarang. Adhyra mencatat bahwa proses penulisan naskahnya telah berlangsung lama, terutama karena adanya pandemi yang membuat kegiatan teater terhenti. Selama satu tahun terkurung, pikiran-pikiran gelap pun muncul, termasuk pikiran untuk mengakhiri hidup. Namun, melalui tekad dan semangat, pementasan ini akhirnya dapat diwujudkan.
Salah satu aspek menarik dari pertunjukan ini adalah penggunaan jenis panggung arena. Adhyra menjelaskan bahwa panggung arena dipilih dengan sengaja untuk mengarahkan penonton pada perasaan terkurung dan gelap yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam pementasan. Penonton diharapkan dapat merasakan keterhubungan dengan tokoh yang diperankan oleh 120 orang tersebut, dengan mendorong mereka untuk terus bertanya dan melawan. Maka, di dalam kekacauan dan kehancuran dunia yang tak terkendali, penonton diajak untuk mempertanyakan eksistensi mereka sendiri melalui tokoh 120 yang akhirnya bertransformasi menjadi tokoh 114, dan diharapkan akan ada tokoh 120 lainnya di masa depan. Pertunjukan ini memanggil kesadaran akan keabsurdan dunia dan keterbatasan kita dalam mengendalikannya.
Dalam wawancara tersebut, Adhyra juga mengungkapkan harapannya untuk pementasan ini di masa depan. Salah satunya adalah rencana untuk mempertunjukkan pementasan ini di Bengkulu sebagai tugas akhir. Setelah menggelar pertunjukan di Studio II, langkah selanjutnya adalah melakukan pertunjukan pra-tugas akhir di Bandung, dan akhirnya akan tampil di Bengkulu.
“Ruang Tunggu dan Pertanyaan Tentang Catatan Akhir” adalah sebuah pementasan teater yang menggugah kesadaran dan mengajak penonton untuk merenung. Dengan mengangkat isu yang kompleks tentang depresi, pengaruh orang lain, dan keterbatasan kita dalam mengendalikan dunia ini, pertunjukan ini mengeksplorasi filosofi yang mendalam. Harapan Adhyra untuk mempersembahkan pertunjukan ini di Bengkulu sebagai tugas akhir adalah langkah berarti untuk menghadirkan pesan-pesan penting ini kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Penulis: Aris Junaedi, Meylfin Ridona
Penyunting: Nabila Eva Hilfani
Dokumen: Meylfin Ridona