Home Default Blog

SASTRAWAN LEKRA DAN TURBA   
ARTIKEL

SASTRAWAN LEKRA DAN TURBA  

Judul Buku         : Sastrawan Lekra dan Perlawanan Kelas Pekerja

Penulis                 : Fikri Zulfikar, Djoko Saryono, dan Moch Syahri

Penerbit               : Penerbit Bara Books

Tahun Terbit      : Cetakan Pertama, 2022

Tebal Halaman  : xxii + 228  Halaman

 

Bagi sebagian orang, nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menjadi barang asing yang jarang terdengar di telinga. Di masa lalu, Lekra dikenal sebagai wadah seniman dan sastrawan revolusioner, wadah bagi lahirnya seni dan sastra kerakyatan, serta menjadi basis gaung seni dan sastra perlawanan yang berpihak pada kaum tertindas. Namun kini, Lekra mulai dilupakan dalam diskursus sejarah seni dan sastra Indonesia. Padahal, karya seni maupun sastra yang diproduksi Lekra merupakan salah satu kekayaan khazanah seni dan sastra di Indonesia. Karya-karya seniman maupun sastrawan Lekra banyak yang hilang, dibakar, ataupun dilarang, berbarengan dengan peristiwa Genosida Pasca ’65.

Berbicara tentang sastra dan sastrawan Lekra, ada ciri khusus dalam setiap karya sastra mereka. Dengan berpegang pada manifesto Lekra (Mukaddimah Lekra 1950) yang berbunyi; sastra berfungsi sebagai senjata perjuangan dalam menghancurkan imperialisme dan feodalisme, serta sebagai stimulator pemantik api revolusi perlawanan terhadap kebudayaan asing yang merusak jati diri bangsa, ciri karya sastra dari sastrawan Lekra adalah antiimperialisme, antifeodalisme, bercirikan pemilihan susunan kata yang sederhana, serta penggambaran realitas masyarakat yang nyata.

Lewat buku Sastrawan Lekra dan Perlawanan Kelas Pekerja, Fikri Zulfikar, Djoko Saryono, dan Moch. Syahri berusaha menceritakan kembali bagaimana sepak terjang dan proses kreatif para sastrawan Lekra dalam membuat karya sastra. Karya-karya sastrawan Lekra banyak dipengaruhi oleh muatan ideologis, mengingat pada tahun 1950 – 1960-an ideologi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme tumbuh di Indonesia. Ketiga ideologi ini berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan merasuk kedalam diri sastrawan, maupun dalam karya yang dihasilkan. Dengan merasuknya ideologi yang menjadi landasan dalam karya sastra ini, sastrawan Lekra cenderung condong pada ideologi yang disebutkan terakhir.

Sastra Sebagai Pelukis Realitas Kaum Buruh dan Tani

Membaca kembali puisi Matinja Seorang Petani karya Agam Wispi (1961) yang menceritakan tentang seorang petani yang rubuh berdarah-darah di depan Kantor Bupati karena sebuah peristiwa konflik agraria, atau membaca kembali puisi 1 Mei karya Amarzan Ismail Hamid (1965) yang bercerita tentang seruan melakukan persatuan dan perjuangan di kalangan kaum buruh, dapatlah kita lihat bahwa ada kecenderungan orientasi tema yang diangkat oleh sastrawan Lekra di setiap karyanya; ialah seputar kaum buruh dan tani.

Sempat menjadi pertanyaan, mengapa karya sastra hasil sastrawan Lekra banyak mengangkat tema dan isu sekitar kaum buruh dan tani? Dalam buku ini dijelaskan karena Lekra melihat bahwa kaum tani dan buruh merupakan sumber lahirnya kebudayaan Indonesia, segala bentuk kesenian-kebudayaan di Indonesia berdasar dari hasil karya masyarakat yang sederhana, tertindas, dan cenderung nerimo keadaan karena belum tersadarkan –utamanya dari kalangan petani, buruh tani, dan buruh tangan tradisional. Macam ragam kebudayaan yang ada di Indonesia mulai dari budaya ritual –yang sedikit banyaknya tercampuri oleh kepercayaan/agama, kesenian, bahkan folklor yang merupakan sastra tradisional sebagian besar dihasilkan oleh kaum tani dan buruh –utamanya kaum buruh tangan tradisional, mengingat budaya-budaya ini banyak lahir sebelum industrialisasi– di masa lalu.

Pengangkatan tema maupun isu sekitar kaum buruh dan tani dalam karya sastra Lekra bukan semata-mata tak memiliki tujuan, melainkan semata-mata untuk mendidik kaum tani dan buruh agar memiliki kesadaran atas penindasan dan penghisapan sumber daya yang menimpanya (hlm. 27).

Dalam setiap karyanya, sastrawan Lekra konsisten dalam menyuarakan keresahan dan apa yang dirasakan oleh kelas pekerja untuk kemudian diharapkan mampu mempengaruhi pembaca untuk andil dalam upaya perlawanan (hlm. 24). Bagi Lekra, konsistensi menyuarakan keresahan dalam karya sastra harus membangkitkan semangat perlawanan bagi pembaca. Karena di mata Lekra, estetika sastra adalah ketika pesan yang disampaikan dalam karya bisa mudah dipahami oleh kaum tani dan buruh untuk membangkitkan sikap berani melawan segala penindasan.

Karena sastra-sastra Lekra ditujukan untuk dibaca oleh kaum tertindas –khususnya kaum tani dan buruh– serta diharapkan dapat memupuk sikap perlawanan, maka tak heran jika dalam karyanya ciri khas Lekra cenderung blak-blakan dan mengkritik tanpa tedeng aling-aling, sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Pramoedya Ananta Toer (hlm. 20), serta para sastrawan mengemas tulisannya dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti sebagai bagian dari inklusifitas sastra bagi orang banyak, sebagaimana tujuan Lekra dalam merealisasikan seni untuk rakyat.

Oleh sastrawan Lekra, sastra dijadikan sarana untuk melukis keadaan kaum buruh, tani, dan umumnya penggambaran rakyat tertindas. Lekra menjadikan sastra sebagai ladang penyemai kesadaran perlawanan atas ketertindasan, supaya tercipta kehidupan yang berkeadilan tanpa penghisapan.

Kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang ditampilkan dalam sastra digunakan sebagai acuan untuk mendorong agar karya sastra bisa memiliki efek pada pembacanya berupa tindakan nyata. Efek-efek tersebut ditujukan masih dengan dalih; agar tercipta kehidupan yang berkeadilan tanpa ada penghisapan atas manusia satu dengan manusia lainnya. (hlm. 46).

Lekra dan Aliran Realisme Sosialis

“Kesusastraan bagi kaum Marxis bukan menjadi barang luks, tapi alat yang ampuh untuk memperjuangkan kelas pekerja, buruh, dan tani…” (hlm. 61)

Realisme sosialis dan Lekra bagaikan dua hal yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Ia merupakan kesatuan utuh yang terikat, twin flame antara gagasan dan kekaryaan. Ihwal keterikatan ini adalah Lekra menjadikan realisme sosialis sebagai pegangan, panduan, dan metode dalam bersastra, sementara realisme sosialis adalah soal keberpihakan, sikap perjuangan, serta tentang penggambaran atau harapan kehidupan.

Realisme sosialis dalam suatu karya sastra merupakan implementasi harapan penulis maupun pembacanya akan suatu soal yang dikehendaki. Sastrawan Lekra mengehendaki kehidupan tanpa penindasan dan berkeadilan. Melihat realisme sosialis yang berorientasi pada keberpihakan dan sikap perjuangan –pembebasan, dengan pendekatan bersastra mengekspos kenyataan sosial (realis) tetapi mengandung semangat revolusioner yang progresif, maka tidaklah salah ketika sastrawan Lekra memandang realisme sosialis sebagai konsep yang memiliki peran penting dalam pembebasan dari ketertindasan.

Dengan pendekatan sastra aliran realisme sosialisnya, Lekra berupaya membentuk manusia yang optimis dan maju dengan melawan sikap-sikap imoralitas atau sikap-sikap menyerah yang ditampilkan di dalam karya sastra. Maka tak heran, tendensi kekaryaan sastra Lekra berbau patriotis dan revolusionis, sebagaimana karya-karya Lekra banyak bermuatan perjuangan dan semangat kelas –menampilkan pertentangan kelas–  dengan ciri utama; 1). militansi sebagai ciri tak kenal kompromi dengan lawan; dan 2). segaris dengan perjuangan politik sosialis.

Realisme Sosialis Lekra dan Turba: Berdiri Di Antara Pengaruh Soviet dan Tiongkok

Walaupun Lekra menjadikan realisme sosialis yang digagas oleh Maxim Gorky di Uni Soviet sebagai kiblat dalam berkesenian dan berkebudayaan, belakangan diketahui bahwa Lekra pun menjadikan madzhab kesenian ala Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai kiblat dalam berkesenian dan berkebudayaan. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam kerja berkesenian, sastrawan Lekra berpengkuh pada haluan sastra yang berpolitik dengan jargon “Politik Sebagai Panglima”.

Taktik politik sastrawan Lekra dalam berkarya yang mengharuskan karya berjargon politik sebagai panglima diadaptasi dari gaya kesenian di RRT, hal ini pertama kali disampaikan oleh pemimpin komunis RRT, Mao Tse Tung yang menegaskan bahwa seni dan sastra wajib mencerminkan perjuangan rakyat, dengan mengharuskan adanya empat golongan masyarakat yang diungkapkan dalam penciptaan seni dan sastra, yakni; 1). kaum buruh; 2). kaum tani; 3). kaum prajurit; dan 4). kaum intelegensia kecil yang menyokong perjuangan komunis. Mao mendorong kaum seniman dan sastrawan  agar melakukan metode Turun ke Bawah (Turba) dalam proses kreatif berkesenian. (hlm.56).

Melalui metode Turba, sastrawan Lekra diharuskan untuk meresapi kehidupan masyarakat, terutama petani dan buruh untuk mendapatkan inspirasi yang nyata dari kehidupan mereka. Selain Lekra menganjurkan para sastrawannya menuliskan karya sastra dengan cara Turba dalam mencari inspirasi, sastrawan Lekra pun diwajibkan agar mengemas tulisannya dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti, karena Lekra menentang penulisan dengan gaya abstrak berkedok estetika yang sulit dimengerti rakyat sehingga menegaskan bahwa karya yang mudah dimengerti adalah karya sastra untuk rakyat.

Dalam implementasinya, para sastrawan yang sedang melaksanakan Turba tak hanya cukup datang pada kaum buruh dan tani lalu menuliskan pengalaman hidup mereka sebagai bagian dari proses kreatif dalam melahirkan karya, namun ada prinsip “1-5-1” yang harus dilakukan sastrawan Lekra ketika melakukan Turba. Menurut Aidit, prinsip 1-5-1 dijabarkan sebagai 1 asas politik, 5 pedoman penciptaan, dan 1 cara kerja.

1 asas politik yang dipegang Lekra saat melakukan Turba adalah asas “politik sebagai panglima”. Dalam hal ini, sastrawan harus mahfum betul pada masalah-masalah kaum tani dan buruh yang berkaitan dengan politik, seperti masalah merdeka dari bayang ancaman imperialisme hingga perjuangan kaum tani dalam pelaksanaan UUPA dan UUPBH untuk tercapainya reforma agraria yang radikal. Bagi sastrawan Lekra, politik adalah  pemimpin pemikiran sekaligus pembayangan kreatif mengenai masalah-masalah yang tengah diperjuangkan kaum tani dan buruh. Semboyan politik adalah panglima merupakan pegangan yang harus dijalankan oleh sastrawan Lekra, agar sebelum melakukan penggarapan proses kreatif sastra di lapangan, penulis harus mengkaji dan memahami persoalan di lapangan dari sudut pandang politik.

Sedangkan 5 pedoman dalam penciptaan karya antara lain meliputi; 1). Pedoman meluas dan meninggi; 2). Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik; 3). Tradisi dan kekinian revolusioner; 4). Kreativitas individu dan kreativitas massa; serta 5). Realisme sosialis dan romantik revolusioner.

Pedoman meluas dan meninggi merupakan upaya yang dilakukan Lekra untuk meluaskan serta meninggikan karya sastra. Menurut Aidit, suatu karya sastra yang meluas adalah hasil kreasi yang dilakukan secara sadar dengan tujuan kepentingan praktis dalam mendorong dan memobilisasi massa dalam bentuk yang tepat, mudah, dan gampang ditangkap isinya. Sedangkan kerja yang meninggi adalah kerja yang memerlukan pengolahan artistik yang lebih tinggi.

Upaya yang dilakukan Lekra untuk meluas dan meninggikan karya sastra adalah dengan memperluas atau memperbanyak sanggar seni sastra hingga ke desa-desa. Dalam hal ini, Lekra banyak membangun sanggar seni sastra di desa-desa dengan berpegang pada semboyan “satu desa satu sanggar”. Upaya ini adalah jalan populerisasi hasil karya sastrawan dan seniman revolusioner di tengah-tengah massa, utamanya ditujukan pada kaum tani di desa-desa. Selain itu, pembangunan sanggar seni sastra di desa-desa adalah upaya meluaskan aktivitas basis hubungan antara sastrawan dan seniman revolusioner dengan kaum buruh dan tani di desa-desa. Dalam menjalankan garis sastra yang meninggi, sastrawan Lekra diharuskan untuk menempa diri dalam mendalami pengetahuan Marxisme-Leninisme agar mampu menganalisis dan menyimpulkan ragam kontradiksi dan keadaan yang dialami kaum tani dan buruh sehingga menjadi sebuah karya sastra yang berdasar analisis Marxisme-Leninisme.

Pedoman kedua yang harus dilaksanakan para sastrawan Lekra adalah pedoman tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik. Dalam mencapai tinggi mutu ideologi, Aidit menyarankan kepada para sastrawan Lekra untuk wajib belajar Marxisme-Leninisme serta mengintegrasikan diri dengan massa. Karena menurut Aidit, bahan-bahan kerja kreatif –inspirasi– sastra dan keartistikan sastra haruslah diolah dari kenyataan yang dialami oleh massa tani dan buruh di desa-desa. Bagi Aidit, sebuah karya sastra tidak mungkin memiliki mutu ideologi maupun mutu artistik yang tinggi apabila sastrawan tidak belajar dan menempa ideologinya sendiri. Karena dengan menjalankan ideologi dan terus mengasah pengalaman menulis di tengah massa, sastrawan akan menemukan sebuah bentuk artistik yang tinggi di lapangan.

Pedoman ketiga adalah memadukan antara tradisi dan kekinian revolusioner. Pertama-tama, yang perlu dilakukan sastrawan adalah mengenal tradisi kaum tani dan buruh, dalam mengenal hal ini, sastrawan diharuskan melakukan riset terlebih dahulu sebelum turun ke lapangan, karena dengan melakukan riset sastrawan dapat memahami mana tradisi yang benar-benar tradisi rakyat dan mana tradisi feodal atau tradisi pengaruh kebudayaan feodal dalam kebudayaan rakyat.

Dalam penciptaan karya, sastrawan perlu memadukan antara tradisi asli rakyat dengan kekinian revolusioner. Artinya, para sastrawan maupun seniman perlu melakukan pembaruan revolusioner atas seni maupun sastra asli rakyat. Namun perlu diingat, pembaruan ini bukan sekadar memperbarui atau sampai menghancurkan seni dan sastra asli rakyat (destruktif), melainkan mengharuskan meneruskan tradisi asli rakyat dengan pembaruan-pembaruan muatan revolusioner di dalamnya.

Pedoman keempat adalah memahami kreativitas individu dan kearifan massa. Dalam hal ini, Lekra mengakui peranan kreativitas individu sebagai bagian dari kesadaran subjektif dalam upaya mengabdi pada kelas pekerja –kaum tani dan buruh utamanya. Dalam kreativitas individu setiap sastrawan ini, sastrawan Lekra dituntut untuk meningkatkan ideologi dirinya sebagai individu komunis, karena kesadaran subjektif sebagai individu komunis adalah rangka dalam mengembangkan kemampuan atas kesadaran kolektif yang sesuai dengan filsafat materialisme dialektis, bukan individualisme borjuis yang mementingkan kepentingan pribadinya saja, melainkan kepentingan kelas pekerja dalam karyanya.

Pedoman kelima yang perlu dipegang oleh sastrawan Lekra adalah memadukan realisme revolusioner dan romantik revolusioner dalam karyanya. Realisme revolusioner berarti berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenyataan. Dalam hal ini, sikap revolusioner selalu berpihak pada yang baru atau sedang tumbuh untuk kehidupan yang lebih maju. Sementara romantisme revolusioner merupakan suatu harapan di atas kontradiksi yang sedang terjadi. Maka demikian, sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Lekra adalah sastra yang menggambarkan kehidupan dengan penuh kegairahan revolusioner, kaya, dan penuh cita-cita perjuangan, perlawanan, dan kemenangan di masa depan.

Untuk melaksanakan 1 asas dan 5 pedoman dalam proses bersastra itu, sastrawan Lekra harus melakukan satu cara kerja, yakni dengan cara Turun ke Bawah (Turba). Menurut Pram, untuk menguasai realitas kehidupan rakyat, setiap penulis harus biasa atau membiasakan diri untuk memasuki kehidupan rakyat. Dengan Turba, penulis akan merasakan suka duka rakyat, merasakan pengalaman, dan perasaan rakyat. Melalui metode Turba, sastrawan bukan hanya sebagai pengamat kehidupan rakyat (observasi non partisipasi), melainkan sastrawan menjadi pastisipan penuh dalam setiap kehidupan rakyat (observasi partisipasi). Dengan demikian, karya sastra yang ditulis menggunakan metode Turba dapat menjadi representasi realitas yang mengandung kekuatan emosional yang dapat dirasakan pembaca. Menurut Foulcher, sebuah gaung definisi realisme sosialis di tahun 1950-an.

Metode turba yang dilakukan Lekra juga dijabarkan dalam lakuan “tiga sama”, yaitu bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.

… Dengan melakukan tiga kegiatan yang dilakukan kaum tani dan buruh yang mereka kunjungi untuk bisa menulis karya sastra, sastrawan Lekra terlebih dahulu ikut membantu kaum tani dan buruh menyelesaikan pekerjaannya di sawah maupun di tempat kerjanya. (hlm. 81)

Kegiatan bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama yang dilakukan oleh sastrawan Lekra saat melakukan Turba, memiliki tujuan bahwa nantinya para sastrawan diharapkan dapat merasakan dan memahami kehidupan yang dialami oleh kaum tani dan buruh.

Buku “Sastrawan Lekra dan Perlawanan Kelas Pekerja”. (Foto: Purwa Sundani/LPM Daunjati).

Secara umum, buku ini cukup komprehensif dalam membahas metode proses kreatif sastrawan Lekra, membahas secara rinci meskipun sekilas karya-karya sastrawan Lekra – mulai dari puisi hingga drama ludruk, sepak terjang Lekra dalam perseteruan politik budaya di tahun 1950–1960-an, perjalanan Lekra pasca peristiwa 1965, hingga keruntuhan Lekra. Yang menjadi kelebihan dari buku setebal 228 halaman ini adalah pembahasan tiap subbab dalam bab-bab di buku ini dibahas dengan cukup singkat tetapi padat, serta informasi yang diberikan kepada para pembaca cukup berimbang, seperti mengutip bagaimana sudut pandang Manifes Kebudayaan dan bagaimana sudut pandang Lekra dalam suatu persoalan.

Namun, yang menjadi sedikit kelemahan dari buku ini adalah gaya penuturan yang cenderung berputar-putar –bahasan yang telah dibahas di subbab sebelumnya dibahas kembali di subbab baru, terdapat beberapa inkonsistensi dalam penulisan –seperti penulisan “Maxim Gorky” dan “Maxim Gorki”, serta kualitas percetakan dalam mencetak buku ini yang kurang baik – terdapat blur dan tulisan yang tidak tercetak sempurna di beberapa halaman buku ini.

Buku Sastrawan Lekra dan Perlawanan Kelas Pekerja cukup direkomendasikan untuk dibaca oleh mahasiswa seni, mahasiswa jurusan sejarah, dan masyarakat umum. Hal ini karena pembahasan sepak terjang sastrawan Lekra dalam buku ini cukup komprehensif, informatif, dan dapat menjadi pemantik diskusi-diskusi kesenian, sastra, dan sejarah di lingkungan formal maupun informal.


Penulis: Purwa Sundani
Penyunting: Marissa Anggita
Ilustrator: Laurancia Melani