Home Default Blog
Bandung, 4 Maret 2024 Konferensi Pers Internasional Women’s Day (IWD) 2024 yang diselenggarakan oleh Aliansi Simpul Puan, berlangsung di Balai RW Dago Elos menghadirkan perempuan dari berbagai latar belakang yang membawa keresahan terhadap kondisi yang telah mereka alami. Hal ini sesuai dengan Tema IWD 2024 yang merupakan “Investing in Women: Accelerating Progress” yang menekankan pentingnya investasi gender untuk kemajuan sosial dan ekonomi. Berdasarkan tema ini, istilah “Inspire Inclusion” meluncurkan kampanye yang berfokus pada upaya meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap inklusi perempuan untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif. Sederhananya, inklusi melibatkan upaya untuk memastikan bahwa setiap individu dihormati, terlepas dari latar belakang mereka, untuk membuat semua orang merasa diterima dan dihargai.
Pada konferensi pers tersebut, Abel sebagai seorang transpuan menjelaskan terkait diskriminasi pekerjaan pada transpuan, “Sulit mendapatkan pekerjaan yang layak bagi transpuan, hingga 50% banyak yang menjadi pekerja seks karena tidak adanya pekerjaan. Kerap kali mereka mendapat kekerasan seksual, kekerasan verbal, hingga pembunuhan. Tidak ada keberpihakan pemerintah, tidak ada HAM karena untuk aparat saja tidak mendapat perlindungan, bahkan hakim mendiskriminasi. Menjadi seorang transpuan di Indonesia begitu sulit mendapat keadilan.”
Penindasan juga terjadi pada perempuan Papua, bertahun-tahun hingga hampir setengah abad. Siska selalu Aliansi Mahasiswa Papua menyatakan bahwa, “Telah terjadi pembungkaman militerisasi papua dan pihak freeport, objektifikasi perempuan di tanah Papua, kasus kekerasan seksual yang tinggi, konstruksi strata patriarki, perempuan ditindas di keluarga sendiri, diskriminasi pekerjaan di hutan.” Sehingga Ia lanjut menyatakan tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah Indonesia sebab katanya, “Selama masih ada operasi militer dan kebijakan Indonesia yang kurang. Saya tidak ada kepercayaan.”
Venus sebagai bagian JAKATARUB (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) yang merupakan komunitas lintas agama memaparkan beberapa contoh kasus rentannya perempuan menjadi korban persekusi keagamaan. “Coba lihat, banyak kasus yang terjadi akibat relasi kuasa pendeta, pastur, ustad, pesantren yang tak jarang melakukan kekerasan seksual, yang bahkan pada akhirnya dimaklumi. Ada kerentanan lain beririsan, objektifikasi ras, keyakinan minoritas menjadi diskriminasi seperti tidak adanya perlindungan bagi keagamaan lokal, ragam seksualitas yang lain, sikap ketika pekerja seks di pandang sebelah mata walaupun untuk sebuah kebutuhan, pada akhirnya semua membutuhkan ruang aman.”
Beralih ke ranah pendidikan, Dinda menjelaskan “Pada saat ini terjadi komersialisasi pendidikan yang menguntungkan sebagian pihak. Peningkatan UKT di setiap kampus, PTNBH Perguruan tinggi melepaskan tanggung jawabnya sehingga APBN terus menurun, solusi peminjaman online yang tidak dibetulkan pihak pemerintah, dana utang pendidikan yang dikatakan dari Amerika nyatanya sudah terbukti merugikan, belum lagi harga ukt yang mahal tidak menyesuaikan fasilitas, biaya pendidikan yang tinggi yang mempengaruhi kehidupan, ketidaksesuaian taraf hidup sangat mempengaruhi kehidupan perempuan.”
Di sisi lain, permasalahan demokrasi mengalami kemunduran. Deti yang membantu banyak di lapangan ketika terjadi penggusuran memberi contoh, “Banyak sekali contoh nyata hukum yang menjadi alat demokrasi. Salah satunya kebebasan berekspresi berpikir dan berpendapat di beranguskan, ketika terjadi penggusuran. Sebagai korban perempuan yang dihadapkan penggusuran, segala aspek di hidupnya sangat terpengaruh bahkan secara psikis yang selalu menuntut hak dan bersuara.”
Dulu hingga kini penindasan terhadap perempuan tetaplah ada, melalui ranah privat hingga publik yang menepi banyak sektor ranah sehingga terjadilah penindasan struktural yang tak begitu terlihat tapi nyata adanya.
Maka pada IWD tanggal 8 Maret ini, diharapkan semua pihak berefleksi serta mendukung partisipasi perempuan penuh dari berbagai kelompok dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya tanpa adanya diskriminasi maupun pengecualian. MOAL AYA HASEUP MUN EUWEUH SEUNEU, WANOJA NGALAWAN!
Penulis : Sophia Septiani
Dokumentasi : Sophia Septiani
Penyunting : Meylfin Ridona