Home Default Blog
Pertunjukan teater “Jian Juhro” sukses menyita perhatian penonton yang memadati Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung pada Jumat, 8 November 2024. Nano Riantiarno, selaku penulis naskah “Jian Juhro” merupakan seorang tokoh teater yang telah mendirikan sebuah kelompok teater bernama “Teater Koma”, naskah tersebut digunakan oleh Vera Nurmaya sebagai tugas akhirnya dengan minat penyutradaraan. Pertunjukan ini mengangkat isu korupsi, kemiskinan, kekuasaan, ketidakadilan, dan berbagai dinamika sosial lain. Lakon “Jian Juhro” menceritakan tentang para kuli pengangkut sampah yang tinggal di gubuk kolong jembatan yang digaji harian. Lalu, ada para mandor dan sekretaris yang menjadi simbol penguasa atau orang-orang yang memiliki kekuasaan atas para kuli. Tokoh Jian yang diperankan oleh Rifaldi dan Juhro yang diperankan oleh Andini Mardiani merupakan sepasang suami istri yang tinggal disana.
Jian memiliki pendirian yang teguh, setiap hari ia giat bekerja untuk menafkahi istrinya dan mengumpulkan uang untuk biaya persalinan anaknya kelak karena istrinya sudah hamil tua. Jian dan Juhro merasa cukup dengan hidup dan nasib mereka saat ini walaupun mereka hidup dengan serba kekurangan.
”Kang Jian selalu bilang, biar cuma jadi kuli dengan gaji cukup untuk makan satu kali sehari, misal makan seadanya, bisa tidur tenang, bisa bergurau sekali-sekali, tidak sakit supaya bisa terus bekerja. Kalau itu sudah bisa dipenuhi, apalagi? Mengingat-ingat perubahan nasib hanya bikin pikiran jadi kacau dan, nantinya malah bisa jadi serakah.” Ucap Juhro kepada sekretaris dan para mandor.
Suatu ketika, Jian dan Tarba menemukan tas berisi uang yang disimpan oleh para mandor untuk menjebak Jian. Tetapi Tarba menjadi serakah ketika melihat jumlah uang yang ada di dalam tas itu dan ingin mengambil tas tersebut dari Jian, namun Jian bersikeras untuk mengembalikannya. Watak Jian yang jujur membuat Jian mudah dipermainkan oleh penguasa disana, seperti saat Jian mengembalikan tas berisi uang itu kepada sekretaris tetapi kemudian sekretaris tersebut mengambil uang nya secara diam-diam dibelakang para mandor, sehingga para mandor berpikir bahwa Jian lah yang mengambil uang tersebut.
Dari situlah awal mula kemalangan yang terus berdatangan kepada Jian dan Juhro, seperti uang yang sudah dikumpulkan untuk biaya persalinan Juhro lenyap dicuri, lalu ketika Jian diamankan saat istrinya tengah melahirkan, lalu setelah Jian ditangkap, Juhro kembali menjadi wanita bayaran demi mengumpulkan uang untuk membayar biaya persalinan, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan membebaskan Jian dari genggaman para mandor. Para penguasa terus-menerus mendatangkan penderitaan bagi Jian dan Juhro, seperti saat bayi mereka diculik dan pada akhirnya Jian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri meninggalkan Juhro tanpa tau keadaan Jian sama sekali.
Makna dalam Naskah dan Pertunjukan Jian Juhro Beserta Tanggapannya
Dalam cerita Jian Juhro ini benar-benar menceritakan realitas yang masih relevan hingga saat ini, terdapat banyak simbol dan adegan dalam pertunjukan yang menggambarkan berbagai isu, seperti saat sekretaris yang secara diam-diam mengambil uang dalam tas dan mengelabui Juhro untuk membayar biaya pengadilan, adegan tersebut menggambarkan tindakan korupsi yang merajalela bahkan hingga saat ini. Lalu posisi para mandor yang selalu berada diatas dan para kuli yang selalu berada di bawah, serta para pemegang kuasa yang berpesta ria sedangkan para kuli yang kesulitan bahkan untuk makan sehari-hari karena gaji mereka yang sangat jauh dari kata cukup, menggambarkan kesenjangan sosial yang terjadi antara para penguasa dan rakyat menengah bawah. Kemudian ditampilkannya sebuah mata di sepanjang pertunjukan merupakan simbol yang dapat menjelaskan bahwa para penghuni kolong jembatan selalu diawasi oleh orang-orang penguasa, sehingga saat para kuli melakukan kesalahan sedikit saja pun sudah pasti akan ditindas oleh para penguasa.
Rakyat menengah bawah seringkali mendapatkan diskriminasi, banyak hak mereka yang direnggut, seperti kebebasan bertindak, berpendapat, dan mendapatkan keadilan tidak dapat mereka raih sama sekali. Rasa serakah memicu adanya tindakan korupsi dan diskriminasi, terutama kepada pihak yang lemah, orang-orang yang memiliki kekuasaan selalu memanfaatkan segala cara untuk keuntungan pribadi, rasa kemanusiaan sudah sulit untuk ditemukan.
Seperti lantunan para kuli di akhir pertunjukan :
“Keadilan itu, oo, keadilan itu, di belahan tubuh sebelah mana?
Kalian harus kupeluk-cium, di bagian mana?
Pelukan rekonsiliasi, dan semua mengikuti.
Dengarkan aku, dengarkan.
Selama masih ada penguasa yang selalu menghantui manusia.
Selama kalian ingin berdiri, lebih tinggi dari yang lain.
kalian manusia, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Bagaimana bisa memilih kalau tidak punya keinginan?
Bagaimana bisa percaya kalau tidak punya harapan?”
Tak hanya sebatas sindiran bagi para penguasa yang selalu menindas kaum menengah bawah, pertunjukan ini pun cukup dapat membangkitkan emosi penonton, terlebih saat terjadi adegan sekretaris yang diam-diam membawa uang dan menuduh bahwa pencurinya adalah Jian. Karena dari situlah awal mula permasalahan menjadi semakin besar dan semakin menyengsarakan Jian dan Juhro. Selain itu, saat adegan menuju akhir-akhir pertunjukan, saat Jian memutuskan mengakhiri hidup dan Juhro yang memutuskan untuk kembali menjadi pelacur, membuat sebagian besar penonton kebingungan dan bertanya-tanya dimanakah letak keadilan dan kemenangan atas kemanusiaan.
Namun jika kita renungkan kembali, akhir dari cerita ini memang baiknya seperti itu. Karena hingga saat ini keadilan dan rasa kemanusiaan masih sulit untuk ditemukan. Naskah “Jian Juhro” sudah begitu baik untuk menggambarkan keadilan yang sulit didapatkan oleh rakyat miskin. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Maka, rakyat miskin selalu tertindas dan selalu kalah oleh para pemegang kuasa.
Tantangan dalam Proses Pementasan dan Pesan dari Sutradara
Dibalik pertunjukan yang sangat mengesankan ini, ternyata terjadi proses yang cukup panjang dan juga tantangan bagi orang-orang yang terlibat. Menurut penuturan Vera Nurmaya selaku Sutradara dalam pertunjukan Jian Juhro, “Prosesnya memakan waktu dua bulan. Ada beberapa hambatan juga selama proses latihan. Pertama dari ruangan, kedua dari teman-teman aktor. Karena ini teater musikal, jadi harus beradaptasi dengan lagu-lagu, tarian, musik. Karena teater sama musik itu beda, tapi dipertunjukan ini harus balance, Nah itu tantangan bagi aku dan bagi para aktor juga”.
Vera Nurmaya memberikan pesan kepada penonton, tujuan dari pementasan ini yaitu untuk mengingatkan bahwa korupsi dan kekuasaan seperti dalam cerita itu masih ada hingga saat ini, penindasan-penindasan seperti ini pun selalu ada dalam bentuk yang berbeda dan tidak hilang dimakan zaman.
Penulis : S. Hasna Kamila, Acep M. Sirojudin
Dokumentasi : Resa Ramadhan
Penyunting : Ossa Fauzan N.