Home Default Blog
oleh Nofal, LPM Daunjati
Ada yang menarik pada hari Minggu pagi (3/12) di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Bukan karena ada konsolidasi seluruh mahasiswa IPB untuk mogok kuliah merencanakan aksi besar-besaran bersolidaritas untuk Kulon Progo, yang akan digusur dari tanahnya oleh proyek Bandara NYIA. Bukan. Karena itu memang tidak terjadi. Minggu pagi itu, seratusan orang memenuhi depan Auditorium JHH, Fakultas Peternakan IPB, untuk mengantri menonton pertunjukan teater “Ssst..!” yang dipentaskan Teater Leuwiliang. Bukan tanpa alasan mengapa Teater Leuwiliang memilih gedung auditorium sebagai tempat mementaskan teater. Kabupaten Bogor memang tidak pernah memiliki gedung pertunjukan. Kabupaten yang Bupati-nya dipenjara sebab kasus korupsi empat tahun lalu ini, memang belum ramah terhadap kegiatan-kegiatan kesenian, khususnya teater. Maka dengan biaya sewa selama dua hari dua malam yang hanya Rp 600.000, dengan akustika gedung lumayan dan lokasi yang masih dekat dari Leuwiliang, Auditorium JHH adalah tempat yang paling logis dipilih oleh Teater Leuwiliang.
“Ssst..!” merupakan naskah karya Ikra Negara yang ditulis pada era pemerintahan kapitalisme-militeristik Orde Baru. Naskah ini sarat akan kritik terhadap penguasa otoriter yang berkuasa kala itu, dalam naskah ini tokoh Cupak adalah pengandaian dari tokoh nyata Smiling General ciptaan Ikra Negara. Karena pada era itu tak ada demokrasi sedikit pun, maka teks-teks dalam naskah ini pun sangat khas menunjukan bahwa ketika itu memang ada situasi yang menghambat seseorang untuk ‘mengatakan hal yang sebenarnya’, sehingga gaya satire dan komedi menjadi style yang kental. Walaupun dalam beberapa bagian, teks-teks yang muncul juga terlihat sangat berani (vulgar), seperti teks yang terlontar dari Cupak kepada Togok: …kau hanyalah alat kekuasaanku, aku yang punya kuasa atas ide dan pikiran di sini! Togok adalah tokoh militer, dalam pertunjukan yang disutradarai Fahmi Reza ini, Ia adalah tentara berseragam pink dengan polkadot warna warni, lengkap dengan sepatu, senapan dan topi perang. Tokoh Togok bertingkah laku sangat bodoh, polos, bisa ditertawakan oleh penonton kapan saja, dan segala tingkah lakunya Cupak lah standar kebenarannya.
“..yaa, saya memang ingin bilang kalau dia (Togok) itu emang cuma anjingnya penguasa. kayak di salah satu adegan, Togok merangkak sambil menggonggong. ya, dia memang diciptakan jadi anjingnya Cupak”, ujar Fahmi.
Teater Leuwiliang hampir dalam setiap produksinya membawa nafas komedi, seperti pementasan lakon Petang di Taman karya Iwan Simatupang dan Lakon Si Aladdin: sebuah dekonstruksi dongeng karya Fahmi Reza yang digarap dengan nafas komedi yang kental. Juga dalam pertunjukan “Ssst..!” ini, komedi hampir ada di setiap bagian adegan, jika meminjam istilah dalam seni komedi tunggal, laugh per-minute (LPM) dalam pementasan ini begitu padat, sehingga tak terlalu berlebihan jika “Ssst..!” Teater Leuwiliang ini kita sebut sebagai teater komedi.

Catatan sebagai penonton: menertawakan militer, deoptimisasi perubahan dan ending yang kehilangan arah
Saya sudah merasakan nafas ‘kritik’ dari pertunjukan ini sejak sebelum masuk gedung pertunjukan. Saat mengantri di depan pintu masuk, beberapa orang yang bertugas sebagai pemeriksa tiket masuk dan buku tamu semuanya memakai t-shirt putih bertuliskan “Setiap hak yang berlebihan adalah penindasan” dengan font berwarna merah. Kutipan yang berasal dari teks tokoh Minke dalam Tetralogi Buru, buku novel-sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Sesuai jadwal di poster, pertunjukan mulai lima menit lagi tapi saya dan puluhan penonton lain sudah duduk di kursi yang telah disediakan. Pertunjukan dimulai, kami langsung dihadapkan pada sebuah visual panggung; sebelah kiri panggung ada kursi singgasana yang diduduki oleh Cupak, pakaiannya seperti seorang kapten TNI AU, pakaian serba putih seperti seorang angkatan udara. Ternyata, Cupak ini adalah seorang pimpinan negara, atau presiden. Kita sebut saja presiden. Samping kanan-kiri Cupak, ada dua orang berdiri tegak lengkap dengan kaca mata hitam. Di sisi panggung yang lain, ada sebuah esteger setinggi kira-kira tiga meter, di atasnya berdiri seorang tentara bernama Togok. Kostum yang dia pakai, senjata yang dia pegang dan cara berdirinya yang tegak berikut seperti mengintai keadaan dari ketinggian, cukup jelas memberitahu kami sebagai penonton bahwa Ia adalah tentara. Walaupun sebagai tentara, tampaknya desain kostumnya terlalu pop and fun sebagai seorang yang siap untuk berperang. Lucu ya kalau tentara kostumnya begitu jadi enggak serem, celetuk seorang penonton lain yang berada dua kursi di sebelah saya. Tapi barangkali, bukan kesan lucu itu yang ingin dikatakan pertunjukan ini, tapi kesan lucu yang lain. Nilai dan makna pink polkadot pada kostum Togok bukan menjadi tentara yang ramah dan baik pada semua orang, justru kostum Togok adalah upaya memperlihatkan transformasi kualitas dengan menggunakan teknik comparison (buku Estetika Teater hlm 215, Benny Yohanes, 2014). Togok sebagai tokoh militer ditampilkan lain dengan tampilan militer pada umumnya: seram, gagah, berani, kuat, hebat dan maskulin, menjadi lucu, imut dan bisa ditertawakan. Makna apa yang ingin disampaikan oleh pertunjukan ini, dari pink polkadot dari diri seorang Togok?
Sedikit membaca sejarah, siapa dan apa sebenarnya militer, di Indonesia institusi tentara adalah institusi yang belum terbentuk sama sekali ketika Indonesia pertama kali menyatakan kemerdekaannya pada Agustus 1945. Saat itu, bangsa Indonesia belum memiliki institusi ketentaraan, bahkan konsep ketentaraan seperti apa yang akan dimiliki Indonesia, pun belum jelas. Adalah para ex-PETA, ex-KNIL dan Tentara Rakyat tiga golongan yang ada sebagai barisan orang-orang yang memiliki pengalaman dalam soal perang, yang menjadi unsur dalam diskusi konsep tentara Indonesia. Para pemuda ex-PETA dan ex-KNIL merupakan orang-orang yang dididik secara professional menjadi tentara. Para ex-PETA adalah orang-orang dididikan Jepang, yang dilatih selama kurang dari setahun untuk langsung siap menjadi prajurit perang. Ketika itu, PETA diakui sebagai produk sukses Jepang karena skill perangnya yang baik dan hanya dilatih kurang dari satu tahun, padahal ketika itu para PETA adalah pemuda kampong yang rata-rata paling tinggi hanya berpendidikan hingga sekolah dasar, tapi Jepang bisa mendidik mereka secara singkat, bagaimana pemuda kampong yang tidak sekolah itu bisa cepat memahami trigonometri? Tapi, di satu sisi jangan juga kita lupa bahwa skill tinggi yang dimiliki oleh para PETA itu didapat, dari Jepang yang memiliki watak fasisme yang kuat. Lalu ex-KNIL, mereka adalah sekelompok pemuda yang menjadi tentara di jaman pemerintahan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang sengaja dilatih Belanda, sebagai tentara penjaga pemerintahan Belanda ketika itu. Kualitas skill perang ex-KNIL memang tidak melebihi para ex-PETA. Namun, ex-KNIL memiliki watak politik dan licik, khas kolonial. Tentu, baik ex-PETA maupun ex-KNIL tak bisa kita pisahkan dari sejarah dididik oleh watak macam siapa mereka. Sedangkan yang terakhir, Tentara Rakyat. Tentara Rakyat adalah orang-orang sipil yang tergabung dalam Laskar-Laskar Rakyat. Mereka adalah para gerilyawan yang ikut berperang saat masa kemerdekaan, mereka adalah yang sehari-harinya petani, buruh, dan para pelajar. Ketika proses perumusan konsep tentara seperti apa yang akan dimiliki Indonesia inilah, Tentara Rakyat atau para Laskar Rakyat ini lah yang pertama kali ditendang. Laskar Rakyat dianggap tidak mumpuni dalam skill perang karena tidak pernah mengenyam pelatihan ketentaraan yang professional. Juga, satu pernyataan ketika itu yang membuat akhirnya konsep tentara professional lah yang dipilih sebagai konsep militer Indonesia, adalah “negara ini mesti memiliki tentara yang professional, yang tidak ikut campur dalam politik sipil”. Ini dikatakan oleh AH Nasution yang seorang ex-KNIL, sebagai landasan untuk menolak konsep tentara rakyat: yang ikut serta dalam politik, tidak ada seseorang yang ‘khusus’ menjadi tentara, dan semua orang adalah tentara ketika perang dibutuhkan. Konsep macam ini bisa kita lihat di negara Kuba hari ini. Gudang-gudang senjata berada di tiap-tiap desa, yang jika sewaktu-waktu perang dibutuhkan negara akan membukanya dan setiap orang akan menjadi tentara. Namun pada fakta sejarahnya, konsep tentara professional ala ex-KNIL dan ex-PETA lah yang dipilih, di atas ribuan korban tewas para Laskar Rakyat (buku militerisme untuk pemula). Walaupun dalam proses pembentukannya, ex-KNIL dan ex-PETA bukan tanpa konflik. Bahkan apa yang menjadi landasan awal konsep tentara professional pun dilanggar sendiri oleh mereka, bahkan hingga hari ini pasca-orde baru. Tentara kita professional? Benarkah, begitu? Apakah tentara kita tidak berpolitik atau mencampuri kehidupan sipil? Omong kosong, semua lini kehidupan sipil hamper tak ada yang luput dari peran militer. Sepak bola, perguruan tinggi, pemerintahan, desa, ekonomi, bahkan pada setiap praktik penggusuran dan konflik agraria, tentara selalu hadir: ikut menggusur dan mengusir rakyat. Maka, citra militer yang ada di kepala kita (sipil) tentang mereka yang professional, kuat, disiplin, gagah, pemberani bahkan selalu benar telah dipancing untuk keluar dari sana lewat warna pink dan polkadot dari kostum Togok.
Lalu, selain itu apa lagi yang ‘lucu’ dari kerja tentara jika melihat Togok? Setiap institusi kemiliteran, selalu memakai pola kerja yang instruksional. Pola kerja yang ketika atasan bilang A, maka bawahan harus bilang A. Membantah atau mempertanyakan perintah atasan sama saja melanggar hukum ketentaraan. Itu lah mengapa kata “siap” selalu menjadi awalan dari setiap ucapan tentara. Apakah kita juga terbiasa dengan kata “siap”? Itu lah warisan militerisme yang telah tertanam menjadi chip, hingga kita yang sipil saja memiliki watak itu dalam praktik menjalankan keseharian.
Maka, penggunaan comparison pada Togok memiliki makna untuk membandingkan antara citraan tentara yang umum kepada citraan tentara yang lain, yang telah di transformal nilai dan maknanya. Kepada kritik atas nilai dan makna yang mapan itu, bahwa tentara sebenarnya hanya alat yang selalu menurut pada intruksi/perintah pemimpinnya, “kau hanyalah alat kekuasaanku, aku yang punya kuasa ide dan pikiran!” (dialog Cupak pada Togok). Status kemanusiaan seorang tentara telah diokupasi oleh kekuasaan, sehingga tentara hanya sebagai makhluk yang siap menjaga dan menjalankan segala yang diperintahkan penguasa. Togok juga dalam dialognya ..memang kesalahan itu ada, tapi ya namanya sedang membangun jangan sedikit-sedikit dikrtik lah, saat membela Cupak yang dikritik oleh wartawan. Togok membiarkan kontradiksi yang dia telah dapatkan “..memang kesalahan itu ada..” dengan tetap membela Cupak yang atasannya. Karena Cupak adalah atasannya.
Bagian awal adalah adegan Cupak dan pengawalnya melihat berita-berita dari media soal situasi negara. Dari perspektif penonton, berita-berita itu adalah slide show yang berada di kain putih di sentral panggung. Selama berita-berita itu hadir bergantian, music mendukung suasana seperti sebuah pengiring acara-acara berita pagi hari. Pada akhir tampilan berita-berita tersebut, muncul sebuah teks kritik dari sebuah media tidak dikenal. Cupak, kemudian memerintahkan satu orang pengawalnya yang ia sebut Intel, untuk mencari tau dari mana datangnya teks kritik itu. Sekaligus menyelidiki siapa yang membuat teks-teks tersebut.
Seperti yang telah dibocorkan sebelumnya, bahwa hampir setiap adegan adalah adegan komedi: mulai dari adegan Cupak yang akan pergi tidur sambil melontarkan teks “..aku akan melakukan pekerjaan yang mulia. tidur! sebab tidurnya seorang pemimpin akan menghasilkan inspirasi dari mimpi-mimpi untuk membangun negara”, adegan Franciscus (pengawal Cupak) melakukan smackdown ala John Cena kepada Togok, hingga adegan Cupak memarahi pemusik kalian bisa enggak sih main musik? saya buat perppu ormas music nanti, biar semua musisi bermusik sesuai kehendak pemerintah!.
Sebagai penonton, di 20% bagian awal pertunjukan saya masih menikmati berbagai komedi yang dipertontonkan panggung. Namun selebihnya, ada perasaan seperti: kok seperti saya tidak diberi waktu untuk memahami teks-teks yang berisi kritik itu, karena terus-menerus dipaksa tertawa. Saat mewawancarai Fahmi Reza, hal ini saya tanyakan, mengapa sangat banyak komedi, apakah tidak takut esensi teks itu tertutup makna kritiknya oleh efek komedi yang ditimbulkan? Fahmi menjawabnya dengan santai, bahwa Teater Leuwiliang memang punya kecenderungan seperti ini (komedi). Alasannya, karena kultur penonton teater Bogor tidak bisa menonton sesuatu yang serius lama-lama. Buktinya, pertunjukan ini yang komedinya padat saja masih banyak yang tidak focus, main handphone dan sebagainya. Jadi, berbagai kritik di pertunjukan ini cukup sampai sebagai pengetahuan saja. Caranya lewat komedi, karena kalau tidak, tidak akan diingat.
Dalam hal ini, sutradara mengakui bahwa esensi (makna) yang dihadirkan dalam pertunjukan “Ssst..!” ini masih ada dalam posisi kedua, karena yang pertama tetap sebagai sebuah teater. ‘Kami sebuah pertunjukan teater, dan kalian adalah penonton’. Barangkali slogan itu yang dipakai oleh Teater Leuwiliang, yang bagi saya tetap sebuah hal yang mesti disayangkan, karena kehadiran komedi yang sangat padat itu, bagi saya beberapa kali menghambat saya (sebagai penonton) untuk mampu memahami esensi teks dan tubuh dari para aktor.
Cerita dilanjut sampai pada Intel berhasil menangkap ‘pelaku’ di balik teks-teks kritik terhadap Cupak. Ia adalah Wartawan, seorang tokoh yang muncul dengan pakaian biasa-biasa saja, tidak memperlihatkan tanda apapun dari kostumnya: selain orang biasa dan disebut “Wartawan”. Wartawan terlihat biasa, karena dibandingkan dengan tokoh lainnya, hanya Wartawan yang tidak terkena teknis pengubahan, pelebihan, pengasingan atau pemberi-tandaan. Tokoh Wartawan juga dimainkan menggunakan acting yang sangat realisme. Aktor yang memainkannya, Samsul Bachri juga cukup baik dalam memerankan teknik Stanislavskian, terlihat ketika adegan Solilokui-nya tentang kebebasan berpendapat, yang dilontarkan sebagai orang biasa (sipil) yang memang sedang ingin mengatakan itu, di tengah situasi yang tidak demokratis: diperlihatkan melalui akting kecil cemas dan tidak tenang (seperti sedang diintai).
Wartawan akhirnya ditangkap, Ia diborgol di bawah esteger yang sedari awal berada di panggung. Ia diinterogasi, dipukuli oleh Togok dan Intel. Cupak membuat surat perintah penahanan terhadap Wartawan. Salah satu kutipan dialog Cupak: “..diperintahkan untuk menahan Wartawan, alasan penahanan: menyusul!”. Dialog ini menurut Fahmi relevan dengan kondisi saat ini ketika siapa pun bisa menjadi korban kriminalisasi. Namun, lagi-lagi adegan penyiksaaan Wartawan yang diwarnai dengan perdebatan sebentar antara Cupak dan Wartawan pun tak luput dari alineasi yang membuat pertunjukan menjadi cair kembali. Bahkan sang tokoh Wartawan dalam kondisi terborgol itu, kebagian mengisi dialog yang menjadi punchline dalam alineasi itu, menyuruh aktor lain untuk melanjutkan adegan. Sialnya, bagian ini memang lucu!
Singkat cerita, Wartawan akhirnya dihukum mati. Bagian ini saya rasa kurang berhasil, atau terasa timpang karena efek komedi sebelumnya yang terlalu tinggi. Sehingga adegan hokum mati Wartawan dengan cara dimutilasi lewat tampilan siluet, terasa ‘nanggung’. Kami para penonton dibuat geli karena adegan pemotongan tangan yang mestinya menjadi ngeri, malah menjadi lucu karena property tangan palsu yang sangat terlihat. Ini karena properti dan aktor tidak sama skalanya pada tampilan kain siluet.
Dalam tokoh Wartawan ini, yang muncul awalnya sebagai tokoh seorang yang berani melawan dan mati begitu saja. Ada yang hilang dari ‘nasib hidup’ Wartawan di lakon ini. Ia muncul, berani melawan, lalu dihukum mati begitu saja. Tidak ada massa yang mendukungnya, tidak jelas juga siapa yang sebenarnya Wartawan selain idealisme memperjuangkan kebebasan berpendapat dan apa efek dari kematian sang wartawan? Sesuatu yang hilang ini saya rasakan karena memang tidak dimunculkan satu pun tokoh dari kelas masyarakat yang tertindas: tidak ada tokoh petani miskin, tidak ada tokoh buruh, tidak ada tokoh orang-orang putus sekolah. Padahal, andai tokoh-tokoh ini hadir, apa yang diperdebatkan Cupak dan Wartawan tentang konsep keadilan dan menjalankan negara tidak bias menjadi perjuangan yang idealis. Tapi lebih jelas, bahwa efek dari semua kekuasaan yang tidak adil itu, adalah penderitaan rakyatnya. Namun, kritik ini juga telah dijawab Fahmi bahwa Ia memang berpikir bahwa masalah negara bukan kemiskinan yang menjadi intinya, tapi masalah intinya adalah cara kerja penguasanya. Karena, lanjut Fahmi, biar pun kemiskinan itu masih ada saat ini, tapi tidak sebanyak saat orde baru, dan watak orde baru lah yang tidak berubah sama sekali hingga hari ini. Hm…benarkah?
Kematian Wartawan ternyata bukan bagian terakhir dari pertunjukan ini, padahal pertunjukan sudah berlangsung selama 90 menit. Luar biasa, sebagai pertunjukan, “Ssst..!” memang berhasil membuat penonton tidak bosan dan lelah untuk bertahan memirsa panggung. Usai matinya Wartawan dibalik kain siluet, semua tokoh lalu meninggalkan panggung. Di balik siluet itu, kemudian muncul seseorang. Ia adalah tokoh dengan topi, mirip topi yang sering dipakai Sudjiwotedjo. Ia makin mirip Sudjiwotedjo dalam kepala saya, saat yang muncul adalah dialog seperti mantra dan memegang sebuah gunungan; makin seperti dalang. Tak lama, Cupak dan gengnya muncul lagi, mereka berkumpul di atas esteger. Lalu duduk dan melihat ke arah kain siluet sang dalang. Mereka seperti sedang menonton sebuah pertunjukan ketika melihat kain siluet itu. Ternyata, dalam bagian ini, penonton baru diberi tahu bahwa ‘Cupak’ adalah sebuah legenda atau karangan sang dalang. Atau dalam kata lain, apa yang telah terjadi di panggung 90 menit sebelumnya merupakan drama Cupak yang dimainkan sang dalang. Cupak yang sebenarnya, sebenarnya tidak tau sama sekali tentang sebutan itu. Yang Ia tau, ‘Cupak’ adalah sebuah legenda terlarang yang membahayakan kekuasaan. Dalang ini menjadi lawan satu-satunya dari ‘Cupak’ di panggung sekarang. Dalam bagian ini yang sudah saya duga akan menjadi bagian ending, saya langsung mendapat kesimpulan: bahwa pertunjukan ini memiliki ending seniman sebagai hero yang akan meruntuhkan rezim. Perdebatan terjadi, antara Dalang yang masih berada di balik siluet, dengan ‘Cupak’ dan gengnya. Namun lagi-lagi, di adegan yang mestinya menjadi resolusi ini, yang lazimnya adalah serius, alineasi tetap dihadirkan. Dalang yang sedang mendebat ‘Cupak’ dengan lantang dibuat lupa dialog, Ia memanggil timnya untuk membaca naskah, dan seseorang dari luar panggung berpakaian seperti tim produksi sebuah pertunjukan masuk ke panggung dan bilang “..maklum, ini lah aktor, yang di luarnya bekerja sehari-hari dan di luarnya juga latihan sehari-hari..”, kemudian keluar lagi, dan adegan dilanjutkan kembali.
Dalang lalu keluar dari kain siluet, ke atas panggung. Wujudnya tak jauh beda seperti yang bisa diduga penonton saat di kain siluet: memakai topi, memakai selendang dan memakai kain. Satu hal yang baru bisa penonton lihat adalah make-up di wajahnya yang meniru wajah Joker. Seorang ikon antagonis di film batman, yang tampilannya tidak seperti penjahat pada umumnya. Dalang ber-makeup Joker itu kemudian berbicara tentang keseriusan seorang seniman untuk terus mengisahkan ketidakadilan penguasa, dan terus begitu tanpa henti. Perdebatan yang tidak terlalu jelas soal apa yang diperdebatkan, karena barangkali juga bias oleh efek fiksi tokoh Dalang ini. Togok diperintahkan oleh ‘Cupak’ untuk menangkap Dalang dan menjebloskannya ke penjara. Cupak dan gengnya keluar panggung, membiarkan Dalang berlutut menghadap latar yang telah bergambar sebuah sel penjara. Sambil berlutut, sedih dan seperti menyesal. Kemudian lagu karya Sundari Soekotjo “Tanah Airku” dimainkan sebagai latar pendukung suasana.
Pertunjukan selesai, diakhiri dengan dipenjaranya sang seniman dan rezim yang tetap berkuasa. Alasan Fahmi mengapa endingnya sang penguasa tidak berhasil dikalahkan, adalah karena perjuangan harus diteruskan oleh semua yang menonton. Lalu soal tokoh seniman yang melawan, lalu akhirnya dipenjara. Saya sendiri tidak siap dipenjara, seperti pilihan lagu yang terakhir: saya akan sedih seperti itu.
Melalui pertunjukan “Ssst..!” yang berdurasi hampir dua jam ini, setidaknya Teater Leuwiliang telah banyak mendapat pencapaian artistik-estetik maupun empati (gagasan). Secara artistik-estetik, permainan para senimannya cukup tidak mengecewakan. Biarpun cukup banyak juga nama lama seperti Fahmi Reza (aktor Teater Gading sejak 2012), Muhamad Harfan (aktor Teater Koma sejak 2014), Samsul Bachri (aktor Teater Leuwiliang) dan Farhan Radi (penata musik Teater Gading sejak 2014). Namun Teguh, yang memerankan Cupak adalah orang yang sama sekali baru, dan permainannya sama sekali tidak mengecewakan. Tata musik dan suara juga sangat digarap dan rapi. Dalam pertunjukan ini saja, ada tiga lagu baru yang dimainkan, dan satu lagu cover-dekonstruksi yaitu himne Partai Perindo. Kerja sama lini musik aktor juga digarap sangat baik dan serius. Dalam wilayah empati sebagai pertunjukan, komedi memang menjadi penting akhirnya untuk meraih empati penonton. Gagasan besar yang disebut Fahmi sebagai “penggambaran situasi saat ini lewat teater” barangkali memang cukup relevan untuk konteks penonton teater Bogor.
Publik Kabupaten Bogor memang masih melihat teater sebagai alternatif hiburan selain televisi di rumah atau bioskop. Ada salah satu ungkapan menarik dari penonton teater Bogor di salah satu media sekitar tahun 2015, katanya ..lebih untung nonton teater, soalnya lebih murah dari nonton bioskop.. film-film bioskop juga suatu saat bakal ada di teve atau didownload di internet…
“..maka keberadaan teater di Bogor menjadi ruang kemungkinan selain hiburan alternative untuk misi-misi edukasi dan ruang dakwah..”, pungkas Fahmi.
Dalam sesi mewawancarai Fahmi Reza, di waktu sebelum berpisah saya bilang bahwa Teater Leuwiliang berhasil membuat pertunjukan teater menertawakan militer, walaupun ketidakhadiran tokoh ‘orang miskin’ tetap menjadi kegagalan untuk memahami masalah yang sebenarnya bagi pertunjukan ini. Juga, ending yang membuat penonton justru menjadi makin pesimis untuk berani berjuang (melawan ketidakadilan) gara-gara melihat kegagalan perlawanan Wartawan dan menderitanya Dalang di dalam penjara.
Semua tingkah laku penguasa itu memang komedi yang harus ditertawakan, ujar Fahmi sambil tertawa.
[ Nofal ]