Home Default Blog
Keberadaan padepokan seni sebagai lembaga penjaga budaya sejatinya memberikan dampak signifikan bagi kebertahanan dan kelestarian suatu budaya. Setidaknya, itulah yang tergambar dari Padepokan Seni Bale Pakuan di Kampung Heubeul Isuk, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.
Padepokan Seni Bale Pakuan yang berkonsentrasi pada pelatihan pedalangan dan produksi wayang golek di Bandung Selatan ini didirikan pada tahun 2016 oleh Nanang Taryana. Ia mendirikan padepokan ini sebagai upaya dalam mempertahankan eksistensi wayang golek di tengah gempuran kemajuan zaman, dengan cara memberikan pelatihan dan pengajaran bagi generasi muda yang tertarik pada dunia pedalangan.
“Berdirinya Padepokan Bale Pakuan awal mulanya berdiri dari tahun 2016 didasari pribadi saya sendiri terhadap kecintaan pada seni Sunda wayang golek. Karena seni Sunda wayang golek (merupakan bagian dari) turunan keluarga saya, (dari) orang tua saya, makanya saya terus mempertahankan eksistensi wayang golek. Selanjutnya, motivasi saya mendirikan Padepokan Bale Pakuan ini karena melihat potensi-potensi anak sekarang (pada wayang golek) masih ada dan masih banyak yang antusias ingin mendalami dalam seni padalangan, makanya saya rangkul anak-anak tersebut. Dan dari situlah terbentuk Padepokan Bale Pakuan sampai sekarang,” ucap Nanang ketika ditemui di Padepokan Bale Pakuan.
Dari tahun 2016 hingga sekarang, antusiasme dan ketertarikan generasi muda terhadap kesenian wayang golek terus meningkat, tercatat pada saat ini Padepokan Bale Pakuan memiliki kurang lebih 25 siswa yang belajar pedalangan dengan rentang usia yang beragam.
“Siswa di sini yang tercatat kurang lebih ada 25 siswa, mulai dari yang TK, SD, SMP, SMA dan yang kuliah juga ada,” jelas Nanang.
Menariknya, Padepokan Seni Bale Pakuan dalam pengajarannya tidak selalu berfokus pada pelatihan pedalangan saja, melainkan mencakup pelatihan gamelan, pengolahan perilaku, etika, dan agama.
“Selain belajar mendalang, di sini juga diwajibkan belajar karawitannya dan gendingnya dari segi instrumen, perilaku, etika, dan agamanya juga di sini diolah,” ucap Nanang.
Karena jumlah siswa Padepokan Bale Pakuan dapat dikatakan banyak dan proses pelatihan hanya dilakukan satu hari setiap minggu, yakni pada hari Minggu, dibutuhkan tenaga pengajar dengan pembagian tugas yang berbeda. Nanang menerangkan saat ini ada beberapa tenaga pengajar di Padepokan Bale Pakuan yang secara spesifik mengajarkan materi yang berbeda-beda.
“Untuk tim pengajarnya di sini ada beberapa tim, soalnya kalo diolah saya sendiri ga bakal keolah karena banyak siswa,sedangkan waktu belajar di sini hanya sekali dalam seminggu, cuma pada hari Minggu karena hari lainnya pada sekolah anak-anaknya. Saya sendiri khusus tim mengajar wayangnya, ada juga guru yang mengolah untuk kendang dan karawitannya dari teman dan sodara saya. Kurang lebih, ada 3 orang pengajar untuk kendang, gending, dan segala macamnya.” terang Nanang.
Bakat, Konsistensi, dan Kemampuan Sebagai Unsur Utama untuk Menjadi Seorang Dalang
Dalam kegiatan pelatihan pedalangan di Padepokan Bale Pakuan, terdapat beberapa proses dan tahapan, dimulai dari tahapan mudah, menengah, hingga sulit. Tahapan pertama atau dasar dari pelatihan pedalangan yang diajarkan di Padepokan Bale Pakuan adalah cara memegang wayang, meliputi pelatihan cara gerak, berjalan, dan ngibing (menari) pada wayang. Setelah itu, barulah masuk pada tahapan pelatihan tata bahasa dalam pertunjukan wayang, meliputi pelatihan dialog (antawacana) yang dianggap sulit karena setiap tokoh wayang memiliki suara, karakteristik dalam berbicara yang berbeda, serta terikat pada aturan tatabahasa (undak usuk basa) yang kompleks.
Dalam proses pelatihan lakon, Nanang menggunakan cara yang berbeda di setiap tingkatan murid-muridnya. Untuk siswa-siswa tingkat 1 atau pemula, lakon diplot dalam bentuk mudah dan sederhana, sedangkan untuk siswa-siswa tingkat 2 atau menengah, lakon diplot menjadi lebih rumit. Menariknya, dengan perkembangan teknologi seperti YouTube menjadi referensi dan memberikan dampak positif bagi siswa-siswa Padepokan Bale Pakuan, yakni memudahkan siswa untuk mengenal beragam lakon melalui media YouTube, sebagaimana tutur Nanang,
“Untuk pengolahan lakon, untuk pemula kita diplot satu lakon itu khusus buat tingkatan 1, lalu tingkat 2 udah naik ke lakon selanjutnya yang agak rumit. Dan untuk mengenal lakon-lakon cerita wayang, anak-anak sendiri untuk yang (lakon) galur itu udah pada tahu (dari YouTube),” tutur Nanang saat ditanyakan bagaimana proses latihan lakon.
“Tahapan awal contohnya kita ambil lakon karangan, bukan (lakon) galur, jadi (lakon) ciptaan sendiri. Jadi, dengan lakon(karangan) itu, kemampuan anak tersebut bisa muncul. Seperti lakon (untuk tingkatan) pertama, kita menggunakan lakon dengan rajanya Rahwana, Tokoh Rahwana kan otomatis harus keluar suaranya keras, lantang. Jadi membuat anak berani bersuara. Tahapan kedua lakonnya diambil yang galur atau yang resmi, soalnya dalam lakon galur banyak tatatertib dan etika-etika dalam wayang yang harus persis (dilaksanakan).” Jelas Nanang.
Nanang selaku pengajar pedalangan di Padepokan Bale Pakuan mengatakan bahwa meskipun setiap siswa belajar dengan tahapan-tahapan yang sama, seringkali hasil dari latihannya berbeda-beda. Hal ini secara teknis dipengaruhi oleh konsistensi latihan dan bakat yang dimiliki setiap anak yang berbeda-beda.
“Untuk teknisnya (menjadi dalang), (syaratnya) dia udah mumpuni, gerakannya memainkan wayangnya udah bagus, suaranya udah bagus, garapannya udah bagus,” ucap Nanang ketika menjelaskan tentang seorang siswa dapat dikatakan telah lulus latihan pedalangan.
Menurut Nanang, bakat yang diasah dengan proses latihan sangat berpengaruh dalam melihat hasil cepat atau lambatnya seorang siswa bisa memainkan wayang.
“Tergantung bakat bawaan anak itu sendiri, kalo yang cerdas pasti cepet setahun juga dia udah berani manggung seperti di acara-acara yang kecil, contohnya agustusan, atau di sekolahnya, seperti yang TK, SD, sudah pada manggung di sini,” jawab Nanang ketika ditanya mengenai berapa lama waktu yang dihabiskan bagi seorang siswa dari nol sampai bisa memainkan wayang.
Menurut Gilang, selaku dalang jebolan Padepokan Bale Pakuan, ia mengamini apa yang dikatakan oleh Nanang dalam proses latihan, meliputi latihan dasar-dasar teknik pedalangan hingga latihan pada tahap yang lebih kompleks adalah serangkaian latihan yang diajarkan di Padepokan Bale Pakuan
“Yang pertama diajarkan itu pegang wayang, karena kita kan awalnya hanya melihat dari tv, nah, jadi pada saat latihan itu(teknik latihannya) pakai cermin untuk melihat pergerakan wayang yang dilihat oleh penonton, (dengan maksud) melihatdari lewat jalan (wayang) yang beda-beda, kan (cara) jalannya ada gedig, ada keupat baksa, terus cepeng wayang. Setelah itu, baru (latihan) dialog bebas, langsung ke (latihan) kakawen, lalu (latihan) perang wayang, tapi yang pertama (diajarkan) itu tadi, cepeng wayang,” tutur Gilang.
Selain itu, Gilang membagikan cerita selama ia berproses dalam latihan pedalangan di Padepokan Bale Pakuan. Gilang mengatakan bahwa selain konsistensi latihan dan bakat yang dimiliki siswa, umur pun berpengaruh pada keterampilan siswa dalam memainkan wayang.
“Kalau untuk tahapan (hingga menjadi dalang), ya mungkin dipengaruhi dari teknis garapan saya yang sudah cukup baik, mungkin (faktor) penguasaan cerita dan antawacana bisa dikatakan sudah cukup, (untuk) jadi dalang mungkin juga umur berpengaruh.” Jelas Gilang.
Tiga unsur utama, yakni bakat, konsistensi latihan, dan kemampuan adalah unsur utama seorang siswa dapat lulus dalam tahapan latihan pedalangan, hingga pada akhirnya didaulat menjadi dalang. Bakat adalah faktor utama cepat atau lambatnya seorang siswa belajar, konsistensi latihan adalah proses mematangkan atau menumbuhkan bakat, sedangkan kemampuan dalam memainkan wayang adalah hasil dari perkembangan bakat dan hasil dari gemblengan latihan yang memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Perubahan Zaman, Perubahan dalam Lakon Pedalangan
Secara umum, dalang dituntut harus memiliki sifat dinamis yang berarti memiliki fleksibilitas dalam perubahan zaman, memiliki kepekaan terhadap fenomena yang terjadi di seputar masyarakat, dan dituntut dapat menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Sebagai contoh, Nanang Taryana merespon perubahan di masyarakat dengan melihat bagaimana kecenderungan masyarakat di zaman sekarang yang menyukai pagelaran wayang golek dengan sajian ringkas dan padat, dalam artian tidak memakan waktu yang lama sebagaimana pertunjukan wayang golek di zaman dahulu. Untuk menjawab hal ini, Nanang menyusun dua lakon sebagai jawaban dari kecenderungan masyarakat yang menyukai pagelaran wayang golek yang singkat dan padat.
“(lakon) Dewi Panca Wati dan (lakon) Bambang Surya Pringga. Nah, (dua lakon) itu menyesuaikan dengan zaman sekarang, kan zaman sekarang (penonton) sukanya yang cepat dan siget, gak seperti dulu, kan kalo dulu (pagelaran wayang golek) bisa sampai subuh. Sekarang tuh ringkas, tapi padet lakonnya itu. Dalam masalah ibingannya, bodorannya, wacananya, itu padet.” tutur Nanang ketika ditanya mengenai lakon ciptaan yang diselaraskan dengan zaman.
Penciptaan lakon-lakon seperti yang disebutkan di atas adalah jawaban dari perubahan kecenderungan masyarakat di zaman sekarang yang menyukai hal cepat dan padat. Dalang yang dituntut untuk dinamis dan peka terhadap perubahan, harus bisa memberikan jawaban sebagaimana yang Nanang lakukan. Dua lakon tadi adalah jawaban dari kondisi masyarakat di zaman sekarang yang ingin serba cepat dan padat, termasuk cepat dan padat dalam pementasan pagelaran wayang golek.
Penjaga Budaya Beregenerasi, Kemanakah Pemerintah Pergi?
Setelah melakukan wawancara pada Nanang Taryana selaku pendiri Padepokan Bale Pakuan dan M. Gilang selaku dalang jebolan Padepokan Bale Pakuan yang telah “manggung” di berbagai daerah di Jawa Barat, kami menyempatkan diri untuk berbincang lebih dalam bersama Gilang sebagai siswa generasi pertama di Padepokan Bale Pakuan.
Selama kurang lebih delapan tahun berdiri, Padepokan Bale Pakuan telah mencetak dua dalang muda, yakni M. Danis Wardhana Sapaat dan M. Gilang Trisnakomala Sapaat. Selain itu, padepokan ini juga telah menghimpun 22 siswa dengan konsentrasi pelatihan pedalangan (berdasarkan data pada papan tulis di Padepokan Bale Pakuan). Selama delapan tahun terakhir, Padepokan Bale Pakuan telah meregenerasi pewaris budaya dan penjaga budaya, khususnya budaya seni wayang golek sunda dengan melahirkan dalang-dalang muda.
Meskipun telah berprestasi dalam melahirkan para penjaga budaya, Padepokan Bale Pakuan samasekali tidak mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah. 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang termaktub dalam UU No.5 Tahun 2017, yang di dalamnya termuat seni sebagai Objek Pemajuan Kebudayaan barangkali hanya bualan dan gimmickprogram yang tak menyeluruh semata. Padepokan Bale Pakuan dengan tempat latihan sederhana di ruang terbuka di bawah jalan Soreang-Ciwidey menjadi bukti bahwa UU mengenai Objek Pemajuan kebudayaan hanyalah sebatas tulisan tanpa dorongan realisasi oleh pemerintah (khususnya pemerintah daerah) dalam membantu masyarakat untuk pemajuan kebudayaan.
Nanang Taryana selaku pendiri Padepokan Bale Pakuan secara nyata melakukan empat langkah strategis; perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap budaya (seni wayang golek). Namun, partisipasi Nanang dalam upaya pemajuan kebudayaan hanyalah sebatas upaya individu sendiri yang tak didorong oleh partisipasi pemerintah setempat dalam pemajuan kebudayaan. Gilang kepada Daunjati menyampaikan bahwa Padepokan Bale Pakuan dengan tempat latihan sederhana dan terbuka di bawah Jalan Soreang-Ciwidey dibangun secara swadaya antar orangtua siswa dan Padepokan Bale Pakuan. Bahkan, dalam proses pembangunan lantai padepokan sendiri pun melibatkan tenaga para siswa Padepokan Bale Pakuan. Gilang menuturkan bahwa tak ada andil sedikitpun pemerintah Desa Sukajadi (yang hanya berjarak 1.04 km dari Padepokan Bale Pakuan) selaku kepanjangan tangan dari pemerintah daerah, pun demikian dari pemerintah Kabupaten Bandung sendiri tidak ada upaya dalam mendukung pemajuan kebudayaan yang dilakukan di Kecamatan Soreang, khususnya di Desa Sukajadi dengan Padepokan Bale Pakuan sebagai tempat realisasi upaya pemajuan kebudayaan.
Ketika para penjaga budaya beregenerasi dan secara tak langsung telah berpartisipasi dalam upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan nasional, kemanakah dukungan dan partisipasi pemerintah daerah pergi?
Penulis : Purwa Sundani
Dokumentasi : M. Gilang, Purwa Sundani
Penyunting : Acep Muhamad Sirojudin`