Home Default Blog
Kegiatan bertajuk “From Roads To Roots: Youth Tackling Climate Crisis through Just Transportation” atau FRTR merupakan serangkaian aksi yang diinisiasi oleh generasi muda Kota Bandung pada hari Sabtu, 7 Desember 2024, dengan tujuan terciptanya transportasi publik di Kota Bandung yang aman, nyaman, terintegrasi, dan inklusif.
Adapun beberapa rangkaian kegiatan dari FRTR ini ialah workshop, fashion show, dan diskusi publik. Kegiatan FRTR ini dilaksanakan di tiga tempat secara mobile, titik kegiatan pertama ialah di Pecel Saestu, Jl. Anggrek Kota Bandung, yang mana di titik pertama ini dilaksanakan workshop melukis pada payung hitam dengan tema transportasi publik. Setelah workshop selesai digelar, massa dimobilisasi menuju titik lokasi kedua, yakni Taman Pramuka. Selama mobilisasi berlangsung, massa aksi tak henti-hentinya menyerukan jargon “ayo-ayo ayo beralih, ayo beralih ke transportasi publik” sambil menenteng poster tuntutan dan mengenakan payung hitam. Setelah sampai di Taman Pramuka, massa aksi beristirahat sebentar lalu bergerak menuju titik akhir, yakni ke Disclosure Store, Jalan Cendana Kota Bandung, untuk fashion show, gelaran teater dari Suar Nusantara, dan diskusi publik. Beberapa musisi seperti Rasukma, Bisma Karisma, hingga Dongker pun turun aksi dan turut memeriahkan FRTR ini.
From Roads To Roots membalut acara dengan begitu hangat dan menyenangkan dengan merangkul orang tua dan anak muda dalam menyuarakan haknya untuk mendapatkan layanan transportasi publik yang berkeadilan. Selain penampilan musik dari musisi yang telah disebutkan, terdapat kegiatan lomba fashion show dengan menggunakan bahan daur ulang, games, dan diskusi yang membahas tentang transportasi publik yang adil dan berkelanjutan. Dalam diskusi publik, FRTR (From Roads To Roots) turut menghadirkan Anugrah Nurrewa (Pemerhati Transportasi), Reka (Golosor/Lekka Union), Daryl (Enter Nusantara), dan Khemal (Antropolog) sebagai pembicara. Diskusi publik yang digelar di Disclosure Store dimoderatori oleh Widya Purbakawasa.
Selain itu, FRTR ini pun merupakan suatu kegiatan peluncuran zine berjudul From Roads To Roots, yang mana zine tersebut merupakan hasil dari observasi perihal permasalahan transportasi publik di Kota Bandung. Menurut penuturan Cacing, selaku salah satu peserta FRTR menyebutkan bahwa transportasi publik di Bandung masih perlu dievaluasi dan diperbaiki. Selain itu, dengan digelarnya FRTR ini, Cacing berharap bahwa pemerintah Kota Bandung dapat lebih fokus dalam memecah permasalahan transportasi publik yang semrawut di Kota Bandung.
“Pendapat aku tentang transportasi di Bandung masih harus diperbaiki lagi dan masyarakat harus mau untuk menggunakan transportasi umum agar meminimalkan kemacetan yang terjadi di Bandung. Untuk harapan ke depannya semoga fasilitas transportasi di Kota Bandung jadi lebih baik lagi, apalagi sekarang udah mau ganti Wali Kota, ya semoga isu minimnya transportasi di Bandung ini bisa menjadi salah satu fokus.” tutur Cacing, peserta FRTR.
FRTR: Menyuarakan Polemik Transportasi Publik di Kota Bandung
FRTR menyuarakan beragam polemik, keresahan, keluhan, serta kritik atas masih minimnya transportasi publik yang aman, nyaman, inklusif, berkeadilan, dan berkemanusiaan di Kota Bandung. Menurut penuturan Fajar Syaris atau yang biasa dipanggil Jares sebagai Koordinator Lapangan dari Enter Nusantara, FRTR bermaksud untuk mengajak setiap anak muda dan masyarakat Bandung dari segala kalangan untuk mengkampanyekan transportasi publik yang nyaman, ramah lingkungan, berkeadilan, dan berkemanusiaan. FRTR ini sejatinya merupakan respon dari buruknya transportasi publik di Kota Bandung yang telah lama menjadi momok buruk dari tahun ke tahun, juga merupakan respon bahwa transportasi publik di Kota Bandung masih belum berkeadilan dan berkemanusiaan, serta sebagai respon pada pemerintah Kota Bandung yang seakan tuli dan bisu akan permasalahan transportasi publik yang inklusif.
“Sebenernya kita mau mengajak anak-anak muda dari setiap kalangan, kita juga mengajak setiap masyarakat Bandung untuk melihat bahwa anak-anak Bandung ini sangat punya kekhawatiran karena Bandung dari dulu-dulu terkait transportasi publiknya masih gini-gini aja lah gitu, kita melihat bahwa transportasi publik di Bandung ini ya tidak ada pemerataan, terus juga kita lihat bahwasannya akses-akses transportasi publik masih terbatas, terus juga banyak yang mengeluhkan angkot dari dulu katanya gitu-gitu aja tak ada pembaruan, dan kebijakan pemerintah Bandung pun sedikit kurang aware-lah terhadap permasalahan ini ya, misalkan kayak di halte-halte bus pun Bandung jelek banget, berantakan banget, itu kan harus kita perhatikan dan kita sedang mengusung transportasi berkeadilan dan berkemanusiaan, supaya bahwa manusianya tuh harus dimanusiakan oleh pemerintah Bandung, kayak disediakan halte yang nyaman, ramah lingkungan, dan sebagainya. Itu sih yang sedang kita suarakan.” tutur Fajar selaku Koordinator Lapangan dari Enter Nusantara.
Menurut penuturan Yogi dari Suar Nusantara, kemacetan dan masalah transportasi publik yang inklusif, berkeadilan, ramah lingkungan, dan berkemanusiaan sebetulnya dapat direduksi oleh pemerintah jika pemerintah aware dan sadar menjalankan tugasnya dengan baik, seperti mendengarkan keluhan masyarakat dan bukan lebih banyak mendengarkan para pengusaha swasta. Namun, permasalahannya ialah pemerintah sering kali buta akan permasalahan yang nyata dialami masyarakat sehari-hari, hal ini terbukti dari minimnya anggaran Pemerintah Kota Bandung terhadap transportasi publik, yakni hanya 10% dari total anggaran pemerintah kota (anggaran tahun 2023) yang mana secara ideal seharusnya minimal anggaran transportasi publik ialah 20%, imbasnya adalah aksesibilitas masyarakat tersendat hingga akhirnya masyarakat banyak memilih kendaraan pribadi yang tidak ramah lingkungan serta mahal untuk aksesibilitas, akhirnya kemacetan dan meningkatnya polusi adalah permasalahan baru yang dilahirkan karena minimnya transportasi publik yang inklusif. Dengan demikian, menurut penuturan Yogi, kemacetan dan masalah transportasi publik adalah masalah bersama, yang mana kita tidak bisa menggantungkan permasalahan ini pada pemerintah yang buta semata, melainkan juga harus adanya partisipasi langsung masyarakat untuk perubahan dan mendorong kebijakan, khususnya kebijakan perihal transportasi publik. Yogi menuturkan bahwa sebetulnya banyak metode untuk mendorong adanya kebijakan terbaru tentang transportasi publik seperti langkah collaborative government yang pada akhirnya masyarakat harus mengambil langkah lebih dulu untuk suatu perubahan.
“Harapan ke pemerintah sebenernya ga ada harapan ya, karena sejauh ini cuma gini-gini aja, cuma harapannya lebih ke masyarakat sebenernya, untuk lebih mendorong kebijakan itu lahir. Banyak modelnya atau banyak metodenya, seperti melalui collaborative government mungkin ya, karena memang mau gak mau ini harus jadi masalah bersama, dan pemerintah harus mau dengerin apa yang jadi kebutuhan publik dan tidak hanya mendengar para swasta yang berjualan kendaraan dengan semurah itu. Karena inti dari kemacetan adalah populasi kendaraan yang makin meningkat, terus kayak halte, kondisi jalan, terus trayek, dan lain-lain masih bermasalah jadi tidak terintegrasi satu sama lain. Sebenernya mah banyak banget yang harus disuarakan, yang harus didiskusikan, agar pemerintah mau mengambil langkah yang progresif kalo memang mereka peduli suara rakyat pas sampe akhir, bukan sampe pilkadanya aja, kan mereka butuhnya pas pilkada, nah temen-temen di sini sedang melakukan ‘nih kita tuh butuh ini’, kalo ga mau dengerin mending gak usah jadi pejabat publik aja, turun aja gakpapa, bisa diganti dengan temen-temen di sini buat ngebuat kebijakan, temen-temen di sini udah sanggup dan pinter-pinterlah. Banyak di sini yang lulusan transportasi dan lain-lain. Tapi balik lagi, ya politic will-nya masih gitu-gitu aja sebenernya kalo pemerintah mah.” tutur Yogi.
Harapan, Bertahan, Melawan: Anak Muda di Tengah Krisis Iklim dan Transportasi Kota Bandung
From Roads to Roots dengan slogan “Youth Tackling Climate Crisis through Just Transportation” membawa topik penting atas keresahan yang dirasakan anak muda yang seringkali menjadi kelas kedua dalam menghadapi krisis iklim. Dengan bukti hasil riset yang telah dilakukan, walaupun peran serta suara anak muda seringkali terabaikan dalam pengambilan keputusan, mereka tetap memiliki kepedulian terhadap isu yang terjadi.
Dalam isu transportasi, relasi kuasa ini terasa kentara. Angkot, sebagai transportasi publik yang paling banyak digunakan di Kota Bandung, mayoritas penggunanya adalah anak muda. Mereka kebanyakan usia sekolah yang belum memiliki kuasa atas harta dan uang pribadi. Anak muda ini sangat bergantung kepada transportasi publik yang ada, terlebih lagi masih dibawah umur yang belum legal untuk membawa kendaraan pribadi. Akhirnya, anak muda yang tidak punya privilege akan terhambat berkegiatan karena tidak ada transportasi publik yang dapat mereka jangkau.
Anak-anak muda menjadikan FRTR sebagai cara perlawanan dalam menyampaikan aspirasi untuk pemerintah, akan apa yang menjadi kerisauan akses transportasi di Kota Bandung dan menjadi awareness atau kesadaran pada masyarakat lainnya.
“Dari konteks kenaikan suhu yang paling tinggi ialah energi, tetapi yang kedua berupa transportasi,” ujar Uky, perwakilan dari WALHI sebagai salah satu anak muda yang terlibat dalam penggagasan FRTR ini mengatakan bahwa WALHI memuatkan topik emisi karbon dan transportasi yang berkeadilan, “WALHI ingin menuturkan pada pembahasan penurunan emisi melalui pengurangan dan kesadaran atas kendaraan-kendaraan pribadi yang ada di Bandung. Kami mendorong untuk Transportasi Bandung lebih masif dan sesuai dengan kategori kalangan khusus dan jalur-jalurnya” tutur Uky.
Transportasi publik di Kota Bandung saat ini memiliki masalah sistemik yang jauh lebih serius untuk diatasi terlebih dahulu jika ingin transformasi transportasi publik yang benar-benar menutup semua lubang permasalahan. Perencanaan tata kota yang semrawut menjadi akar masalah transportasi publik dan disusul dengan political will pemangku kebijakan yang kurang berpihak pada kebutuhan masyarakat kelas bawah. Sebagai salah satu penampil di acara ini, Rasukma, Adel dan Eson menanggapi urgensi peningkatan fasilitas transportasi publik.
Adel menuturkan, “Sebagai orang yang tinggal Bandung, transportasi ini masih tidak memadai dan tidak difasilitasi. Gerakan dan acara ini diharapkan sebagai awareness atas krisis iklim, transportasi publik. Inisiasi seperti pawai ini aku sangat mendukung, dan semoga kegiatan seperti ini lebih banyak lagi.” ucap Adel. Kemudian, Eson mencoba membandingkan transportasi Bandung dengan Jakarta yang dinilai lebih terintegrasi, inklusif, dan lebih nyaman bagi khalayak banyak.
“Publik transportasi di Jakarta lebih terintegrasi, inklusif dan lebih nyaman bagi orang-orang. Baiknya di Bandung sendiri ada gebrakan baru agar fasilitasnya lebih mudah diakses banyak orang lagi.” tutur Eson, personil Rasukma.
Salah Kaprah Human Centric dalam Pembangunan Jalur Transportasi di Kota Bandung: Pemecahan Masalah Atau Pemantik Masalah Baru?
Pembangunan jalur transportasi dan moda transportasi Kota Bandung yang digembar-gemborkan berdasar pada human centric atau sesuai kebutuhan manusia untuk memobilisasi diri patut dipertanyakan, pasalnya kemacetan dan buruknya transportasi publik adalah momok mengerikan yang terjadi di Kota Bandung. Meskipun kemacetan, transportasi publik yang belum berkemanusiaan dan berkeadilan, serta leletnya pemecahan permasalahan mengenai kemacetan ini adalah masalah sejak zaman baheula, tapi pemerintah Kota Bandung seakan belum menemukan pemecahan atas masalah tersebut. Baru-baru ini, pemerintah Kota Bandung mencanangkan pembangunan Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR) atau Tol dalam kota sebagai langkah dalam memecah permasalahan kemacetan di Kota Bandung yang diklaim telah melalui kajian dan pendekatan human centric. Akan tetapi, menurut penuturan Khemal selaku antropolog yang turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi FRTR menyampaikan bahwa, pemerintah salah kaprah dalam melihat human centric sebagai pemecahan masalah kemacetan di Kota Bandung, seakan bukan mereduksi kemacetan, tetapi dengan adanya BIUTR ini malah menjadi penyumbang kemacetan baru di Kota Bandung karena meningkatnya intensitas kendaraan pribadi yang menggunakan tol dalam kota. Khemal menuturkan, perlu kajian human centric berbasis di Bandung untuk memecah permasalahan kemacetan ini, bukan tiru-meniru pendekatan human centric pada transportasi publik di negara lain dan dirasa perlunya optimalisasi dan perbaikan jalur transportasi yang sudah ada dibanding membuat project baru yang diklaim sudah human centric.
“Tentang pembangunan yang human centric, saya pikir pemahaman human entric kita sebagai human, sebagai masyarakat dengan pemerintah itu berbeda. Mungkin mereka (pemerintah) pikir kita belum human centric, tapi human centricnya tidak dateng. Bisa disandingkan seperti di Inggris, di Perancis, atau di negara yang memang sudah sangat-sangat terstruktur kayak gitu, udah punya Ferrari, udah punya Harley. Tapi gak human centric ketika itu dibawa ke Bandung. Nah ini, ini menjadi catetan kita semua sebenernya, human centric itu seperti apa sih? Jangan-jangan aku hawatir nanti temen-temen di sini yang lulus dari urban planning terus masuk ke pemerintahan bilang ‘ini (kajiannya sudah) human centric, saya sudah human centric’, di sini iya-iya aja, pas masuk ke sana (pemerintahan) bilang ‘oh ini kajiannya tidak human centric’, nah kajiannya di mana tolol, gitu kan? Eh ternyata kajiannya ada di Manhattan, kan ini harusnya kajiannya di Bandung kan. Nah, ini menjadi persoalan sebetulnya bagi mereka sebagai pengambil kebijakan, si human centricnya di mana. Saya gak tahu apakah proses ini melibatkan warga seluas-luasnya dalam arti proses pembangunan, atau apakah ada sebuah studi yang udah tepat (tentang pemecahan masalah), atau tadi kalau ini tuh titipan untuk orang-orang yang lebih dapet cuan dibanding memperbaiki jalur yang sudah ada,” tutur Khemal.
Khemal menuturkan, ada kecurigaan bahwa BIUTR ini adalah suatu “barang titipan” agar sirkulasi keuangan tidak mengalir ke masyarakat dan mengalir pada oknum-oknum tertentu. Padahal, suatu kebijakan pemerintah haruslah menjadikan masyarakat sebagai jaringan sosial yang paling diuntungkan, sebagaimana tugas pemerintah yang memang seharusnya peka terhadap permasalahan yang dialami masyarakat dan mencari jalan keluarnya untuk kepentingan masyarakat.
“Ketika kita ngomongin kebijakan, kita tuh lagi ngomongin jaringan sosial, maksudnya siapa yang paling diuntungkan. Ini yang harus kita sebagai anak muda melek soal itu, ketika kebijakan digulirkan, kita harus petakan bagaimana uang ini mengalir, di jaringan sosial mana uang ini mengalir, harus reflektif soal itu. Nah jangan-jangan di BIUTR ini titipan, ini ngalirnya ke mana. Karena kalau bikin transportasi publik yang baik mah uang-uangnya pasti ngalirnya ke masyarakat, nah itu yang tidak diinginkan oleh oknum-oknum yang ada di sana.” tambah Khemal.
Project pembangunan yang diklaim pemerintah sudah melalui kajian human centric patutlah dipertanyakan, apakah berdampak besar pada masyarakat selaku jaringan sosial yang diuntungkan, atau project pembangunan yang diklaim pemerintah sudah melalui kajian human centric adalah project titipan yang menguntungkan beberapa kelompok di luar masyarakat? Sebagaimana kita tahu, pemerintah acap kali tidak memperhatikan apa yang seharusnya masyarakat inginkan, seperti transportasi publik yang aman, nyaman, inklusif, terintegrasi, berkeadilan, dan berkemanusiaan. Pemerintah lebih memilih project yang seakan dianggap baik tetapi sebenarnya memantik permasalahan baru, seperti BIUTR yang diklaim sebagai pemecah masalah kemacetan Kota Bandung, yang jika kita ingat lagi, dengan adanya tol dalam kota secara otomatis kendaraan pribadi membludak dan memicu kemacetan baru di luar pintu tol, serta otomatis menambah buruknya kualitas oksigen karena tercemar polusi kendaraan bermotor. Di samping itu, ajakan pemerintah untuk beralih ke kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan pun sebetulnya memicu permasalahan baru selain sama-sama memicu kemacetan, sebagaimana kita tahu jika kendaraan listrik memerlukan baterai yang harus di-charge dengan tenaga listrik yang besar, yang mana hal ini dapat memicu krisis iklim karena listrik di Indonesia masih banyak bergantung pada PLTU Batu Bara dibanding teknologi pembangkit listrik terbarukan. Sebagaimana PLTU Batu Bara yang mencemari lingkungan, kendaraan listrik sebetulnya sama-sama mencemari lingkungan bahkan memperparah pencemaran udara dan memicu buruknya krisis iklim yang terus berlanjut.
Transportasi publik yang aman, nyaman, inklusif, terintegrasi, berkeadilan dan berkemanusiaan sebetulnya adalah jawaban dari permasalahan dan penyakit Kota Bandung yang tidak jauh-jauh dari macet, polusi, dan transportasi publik yang masih belum berkemanusiaan dan berkeadilan sebagaimana yang sedang diperjuangkan dalam FRTR ini. Namun, akankah pemerintah peduli dan mendengar keinginan masyarakatnya? Atau akan tetap menghamba pada cukong-cukong swasta penjual kendaraan pribadi dan oligarki yang menguasai PLTU Batu Bara? Bagaimanapun, selama pemerintah masih belum merealisasikan transportasi publik yang aman, nyaman, inklusif, terintegrasi, berkemanusiaan, dan berkeadilan, Kota Bandung akan tetap macet sampai kapanpun.
Penulis : Azany Magrina Duarte, Sophia Septiani, Purwa Sundani
Dokumentasi : Azany Magrina Duarte, Purwa Sundani
Penyunting : Ossa Fauzan Nasrulloh