Home Default Blog
Jumat, 6 Desember 2024. Telah terlaksana Inaugurasi yang digelar oleh mahasiswa angkatan 2024 dari Program Studi Antropologi Budaya yang bertempat di G.O.S Patanjala ISBI Bandung dengan tajuk “Kawistara Bhumi”.
Pada acara ini terdapat pameran yang menampilkan infografis kesenian gembyung disertai juga dengan alat musiknya serta talkshow dengan mengusung tema “Ketika Gembyung Beralih dari Tradisi Spiritual menjadi Hiburan” bersama Gempur Sentosa selaku pengajar dari Fakultas Seni Karawitan dan Abah Ayi selaku perwakilan dari anggota kelompok gembyung asal Subang “Dangiang Linggar Manik”. Setelah talkshow kemudian dilanjut dengan penampilan band-band dari mahasiswa ISBI Bandung yaitu Insomnia, Downbeat, Suhada, dan Orkes Bros.
Fikri Nasywan selaku ketua pelaksana menuturkan jika kesenian gembyung memiliki berbagai sudut pandang didalamnya untuk dibahas mulai dari gender, ekonomi hingga budaya masyarakatnya itu sendiri.
“Dalam kesenian gembyung terdapat berbagai sudut pandang yang dapat dibahas seperti gender, ekonomi serta budaya masyarakatnya itu sendiri dan semoga para yang mengunjungi acara dapat lebih mengerti tentang kesenian ini” ujar Fikri.
Talkshow yang diangkat membahas tentang peralihan kesenian gembyung dari Subang dengan judul “Ketika Gembyung Beralih dari Tradisi Spiritual Menjadi Hiburan”. Dengan tujuan mengenalkan dan melestarikan kesenian gembyung.
Kesenian gembyung merupakan salah satu seni musik warisan kesenian buhun (tua). Penampilannya memainkan lagu-lagu religi Sunda, karena digunakan sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. Salah satu karakteristik kesenian gembyung yaitu hanya dimainkan dengan 3 jenis alat yaitu kemprang, kempring dan kemprung. Seiring berkembangnya zaman, gembyung yang tadinya digunakan sebagai media dakwah dan ditampilkan di ritual tertentu, berubah menjadi media hiburan. gembyung yang telah masuk ke ranah hiburan pun mengalami modifikasi berupa konsep dan alat. Alat musik ditambah dengan kendang, tarompet, gamelan dan sinden.
Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan apa benar bahwa kesenian gembyung sudah bergeser fungsinya, yang awalnya sebagai penyebar agama atau media dakwah, kemudian digunakan sebagai media ritual dan upacara adat, lalu bergeser lagi menjadi media hiburan. lalu apabila telah berubah menjadi hiburan, berarti kesenian ini menjadi seni pesanan, yang dimana dalam hal ini masuk ke ranah industri ekonomi komersial. Kerap terjadi Pro dan Kontra antar seniman kesenian gembyung, antara seniman yang sangat memegang ketat Tetekon (Pakem/Aturan) dengan seniman yang fleksibel dalam konsep. Abah Ayi, selaku seniman gembyung kelompok Dangiang Linggar Manik dalam talkshow ini mengungkapkan “Tetekon (aturan) tergantung yang menanggap atau ahli kebudayaan yang biasanya ingin asli gembyungnya, bisa menggunakan gembyung buhun”.
Dikalangan seniman, akademisi maupun pelestari, topik seniman komersil menjadi topik utama. Pak kempur selaku narasumber kedua dalam talkshow berpendapat “Kalau dipandang dalam sudut pandang tradisi atau tetekon, meskipun seorang seniman sudah memiliki konsep gembyung dalam jaipongan, tidak mungkin ditampilkan dengan ritual. Sebaliknya gembyung yang benar-benar sakral jarang ditampilkan di penampilan yang bersifat hiburan. Kuncinya tradisi itu dinamis tergantung audiens dan pementasan dalam konteks apa”. Pergeseran fungsi gembyung yang berubah eksistensinya, saat ini sudah kembali eksis namun sebagai hiburan. hal ini menjadi menarik dikarenakan semakin banyak pro dan kontra dari sebuah kesenian maka kesenian tersebut bisa semakin eksis.
Kesenian secara efektif menjadi media untuk menyampaikan pesan tentang keberagaman, sejarah, dan adat-istiadat dari suatu masyarakat sehingga menjadi landasan bagi terciptanya kesenian yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga sarat akan nilai-nilai luhur yang turut terkandung didalamnya, perdebatan mengenai relativitas suatu kebudayaan yang terbagi kepada nilai profan maupun sakral dapat diselesaikan dengan menyelaraskan budaya sebagai identitas serta menghargai norma-norma sebagai pedoman moral dalam berkarya.
Penulis : Aris Junaedi, M. Haikal. A. A.
Dokumentasi : M. Haikal. A. A.
Penyunting : Meylfin Ridona