Home Default Blog

ARTIKEL

MENGAPA KEKERASAN SEKSUAL TUMBUH SUBUR DI PERGURUAN TINGGI ?

Munculnya kabar adanya pelecehan seksual terhadap salah satu mahasiswi di sekretariat organisasi mahasiswa kampus seni di Bandung. Sungguh ironis kejadian tersebut berlangsung di tempat yang semestinya berfungsi sebagai wadah mahasiswa untuk pengembangkan kreativitas serta nalar kritis yang menjungjung nilai-nilai kemanusiaan, justru menjadi tempat berlangsungnya prilaku bejat. Parahnya lagi perilaku di atas dilakukan oleh mahasiswa senior pada junior. Seperti kambing, pie: membimbing jadi mengibuli dan mengayomi jadi menyetubuhi atas nama kasih sayang kaka pada adik, ‘keluarga’.

Bila melihat relasi kuasa yang terjalin antara pelaku dan korban di atas. Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa senior kepada mahasiswi junior, perilaku tak berbudaya dan ber-perikemanusian tersebut bisa juga dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa. Jurnal perempuan menuliskan, ada beberapa mahasiswi kampus seni di Bandung mengalami pelecehan seksual oleh oknum dosen. Kasus pelecehan seksual pada Ardila, menambah daftar panjang kekerasan seksual yang terjadi di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia. Lewat #NamaBaikKampus sejak 13 Feb sampai 28 maret, Tim penelusuran dari Jakarta Post, Tirto.id dan VICE Indonesia menerima laporan 147 kasus pelecehan seksual yang terjadi 79 Pergurun Tinggi negri dan swata di Indonesia. Beberapa kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi yang terungkap, diantaranya terjadi di: UNDIP, USU, Universitas Jember, Universitas Mulawarman, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN SGD Bandung. Universitas Mercu Buana, UNAIR, UIN Raden Intan Lampung, UGM, UI dan lain-lain.

Ardila, barangkali hanyalah salah satu korban dari banyaknya perempuan  Indonesia yang mengalami pelecehan seksual, catatan Komnas perempuan menyebutkan bahwa di Indonesia setiap harinya ada 35 perempuan mengalami pelecehan seksual. Tentunya ada banyak Ardila-Ardila lainya yang mengalami kekerasan seksual namun tak pernah terungkap. Para korban kekerasan seksual menurut survey Lentera Sintas, Magnalena.co dan Cange.org yaitu 93% dari 1.636 memilih tidak bercerita pada teman maupun melaporkan kasus tersebut ke Polisi. Dan sepanjang empat tahun terakhir ini dari 2014 hingga 2018 ada 20.000 korban kekerasan seksual.

Lembaga pendidikan sebagai tempat wawasan, moral dan ilmu pengetahuan senantiasa diperbincangkan. Namun di tempat yang konon sering disebut sebagai menara gading tersebut, kekerasan seksual seakan menjadi rahasia umum. Kekerasan seks tidak lah serta merta-merta terjadi selain karena ada niat dan kesempatan semata, karena siapa pun bisa menjadi korban dan pelaku. 

Budaya perkosaan ‘rape culture’

Kita kan gak tahu seperti apa kejadiannya. Mungkin saja ceweknya mau dan nyaman cuman gak bilang aja…”. Komentar salah satu mahasiswa yang saya dengar secara tak sengaja, kalimat tersebut dilontarkan setelah dia mendengar kabar pelecehan terhadap Ardila  oleh KRG di salah satu sekretariat ORMAWA di kampus seni. Komentar di atas mirip dengan pernyataan Tito Karnavian ketika ditanya oleh BBC tentang penanganan korban perkosaan: “semua korban bisa ditanya apakah nyaman selama pemerkosaan”. Komentar salah satu mahasiswa dan Polisi ini memiliki logika sama dengan pelaku yang memposisikan perempuan sebagai objek (seks) dari laki-laki (kuasa), menganggap korban kekerasan seks ‘menikmati’ sehingga tak perlu persetujuan. Perkosaan adalah perkara agresivitas dan kuasa kepada yang dianggap tak berdaya atau dikuasai, perkosaan bukan lah perkara seks karena peneterasi bisa terjadi ketika keduanya mau menerima dan berbagi. Pola pikir seperti komentator di atas secara tak langsung turut andil dalam melestarikan budaya perkosaan, maka wajar saja bila 93% koban perkosaan tak sudi melapor ke Polisi karena otak polisi sama bejatnya dengan pelaku. Jika siapa pun memang peduli terhadap kekerasan seksual maka yang pertama didengar adalah korban, karena ia yang dilecehkan dan dirampas hak-hak kemanusiaannya oleh pelaku.

Pandangan merendahkan, menindas serta mengobjektifikasi perempuan muncul karena adanya ketimpangan gender dalam masyarakat, kondisi ketika kelaki-lakian dianggap superior dan keperempuanan dianggap inferior. Ketimpangan gender ini pada akhirnya meyebabkan perempuan yang lahir dengan vagina atau laki-laki beridentitas feminis berada dalam sifat inferior ketimbang laki-laki yang lahir dengan penis mupun perempuan beridentitas maskulin. Masyarakat patriarki yang berdasarkan lelaki heteroseksual seperti di Indonesia, secara otomatis akan memposisikan perempuan, perempuan lesbi, trans dan lelaki gay sebagai mahluk yang tak mengeluarkan ekspresi seksual dan objek yang masif.

ajig, itu susu gede (payudara besar) gitu.”,“bangun anu ngenah jigana mun dilamot (sepertinya enak untuk dijilat!)”,“bujur (pantat),eum”,”toket cuy”,“hey, yang berkerudung…witwiw”, “toket-toket!”, “Yang seksi, minta no wa dong!”, “montok (padat dan berisi) euy, peulem (lezat)!”, “kiww..kiww!”, “ehem.eheum!”, “yoyoyy!”, “dongdot,dongdot!”, “Mbak cantik, kasih tahu aku dong alamat kosan! Haha..haha..” dan lain-lain diucapkan kepada perempuan yang lewat.

Ujaran-ujaran seperti di atas atau bersiul, masih saya terdengar dalam beberapa kerumunan mahasiswa di sekitar kampus terutama dilakukan kepada mahasiswa baru. Beberapa orang ketika melakukan tindakan tersebut merasa bangga, bahkan ada pula angapan bahwa perempuan mestilah senang ketika dipanggil laki-laki seperti itu dan laris. Pada dasarnya semua yang melakukan tindakan di atas menyadari bahwa perempuan yang lewat tidak akan secara tiba-tiba jatuh dalam pelukan dan minta disetubuhi. Ucapan di atas secara langsung memperlihakan kuasa laki-laki atas perempuan dalam bentuk komunikasi, intimidasi psikologis. Masyarakat sebagian besar (pelaku dan korban) menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang wajar, padahal itu merupakan tindakan merendahkan/melecehkan secara verbal kepada perempuan yang lewat di jalanan ‘catlcalling’. Bila hal tersebut terus dibiarkan dan dianggap sebagai kewajaran laki-laki pada semua perempuan yang dilihat pada pandangan pertama, maka secara perlahan ‘catcalling’ akan berkembang dan mengarah pada pelecehan seksual di tempat-tempat umum ‘street harassment.

Selain ‘catlclling’ ada juga lelucon – lelucon sering dilontarkan beberapa mahasiswa dilingkungan kampus di waktu senggang maupun dalam kegiatan acara. Beberapa ujaran yang sering saya dengar diantaranya: “disini duduknya sama aku, siapa tahu kita khilaf…haha”, “Dari pada ikutan rapat gak jelas mendingan jadi istriku aja, sudah pasti enak!”, “ihh..gemes deh, jadi pingin bawa kamu ke kosan”, “seneng banget lihat kamu hari ini, kayak gurih-gurih gimana gitu rasanya?”, dan lain-lain. Ujaran seksis seperti di atas dianggap hal yang biasa dan lumrah padahal melecehkan.

 

Tiga hari setelah terjadinya kasus kekerasan seksual pada Ardila, sebagian mahasiswa ada yang berkomentar:“ceweknya juga kali sama-sama gatelnya!”,“bisa jugakan karena ceweknya ganjen“,“ya kalau tidur pake rok mini sama aja ngasih kesempatan buat cowok”, dan lain-lain.

Komentar-kometar tersebut sejalan dengan keyakinan masyarakat pada umumnya yang menganggap perkosaan terjadi karena perempuan tidak mampu menjaga diri, menyalahkan korban ‘victim blaming’. Keyakinan tersebut muncul dari mengakarya patriarki yang diajarkan pada perempuan sejak kecil hingga dewasa untuk senantiasa menjaga keperawanan, tapi tak ada yang mengajarkan laki-laki sejak kecil hingga dewasa untuk tidak bersetubuh dan memperkosa. Keyakinan masyakat memandang keperawanan sebagai kehormatan dan suci bagi perempuan secara tak sadar berdampak pada cara melihat korban perkosaan sebagai mahluk kotor dan berdosa sehingga seringkali penyintas dikucilkan. Masyarakat kemudian menyalahkan segala hal atas peristiwa pemerkosaan mulai dari aurat, alkohol, pornografi, narkoba, ganza, sinte, lingkungan dan lain-lain kecuali tindakan perkosaan dan si pelaku lantas mencari mangsa baru.

Suburnya budaya perkosaan ini didukung pula dengan tiadanya pendidikan seks dan kesetaraan gender. Sejak SD/MI hingga jenjang yang lebih tinggi seperti Universitas, pendidikan seks tak pernah masuk dalam kurikulum kecuali soal peneterasi penis ke vagina, berkembang biak dan penyakit kelamin. Masing-masing orang untuk mengetahui lebih lanjut terkait seks kemudian akan mencari sendiri secara diam-diam lewat tontonan bokep dan berbagai media masa cetak maupun elektronik yang mengkontruksi perempuan sebagai objek tatapan, patriarkis. Tak ada pengetahuan seks yang komferensif yang bisa diakses oleh anak dan remaja di Indonesia, sehingga berdapak pula pada seperangkat nilai dan laku yang dianut berdasarkan kontruksi yang ada. Seks tentunya bukan hanya masukin penis ke vagina semata, berlapis-lapis layer mulai dari dimensi sosial, politik, psikologi, relasi gender, ekonomi dan lain-lain yang perlu diketahui oleh semua orang sehingga dapat memangkas budaya perkosaan.

Pewarta:John Heryanto
Editor: Redaksi LPM Daunjati