Home Default Blog

Konferensi Pers "Menuju Peringatan International Women's Day" (dokumentasi: aliansi clamber) Rabu (6/3) di lantai dua Masjid Al-Islam, yang terletak di belakang mall Baltos Tamansari.
ARTIKEL

MENUJU IWD 2019, ALIANSI CLAMBER: PERJUANGAN PEREMPUAN HARUS BERSAMA-SAMA

Bandung, Aliansi Clamber mengadakan konferensi pers dalam rangka menyerukan peringatan International Women’s Day (selanjutnya IWD) atau Hari Perempuan Internasional pada hari Jumat tanggal 8 Maret 2019. Momen yang telah diperingati rutin setiap tahun di seluruh dunia selama lebih dari 1 abad ini, menjadi suluh bagi api perjuangan pembebasan perempuan dan kelas-kelas tertindas yang diusung Aliansi Clamber.

Dalam konferensi pers ini Aliansi Clamber menjabarkan beragam kondisi sosial masyarakat sekaligus tuntutan yang akan disuarakan dalam aksi peringatan IWD tanggal 8 Maret nanti.

Salah satunya di bidang ketenagakerjaan, khususnya kondisi pekerja perempuan. Supinah, salah satu panelis dalam konferensi pers ini menjabarkan:

“Perempuan di sektor ketenagakerjaan, jumlahnya itu dominan di bandingkan laki-laki. Apakah jumlah pekerja perempuan yang lebih banyak menandakan bahwa perusahaan di Indonesia berpihak pada perempuan? Tentu bukan. Pekerja perempuan dalam kenyataannya bisa diupah lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki, itu menguntungkan perusahaan dan jelas merugikan perempuan.

Padahal, negara telah mengatur dalam undang-undang ketenagakerjaan no.13 bahwa tidak boleh ada diskriminasi upah. Tapi yang terjadi di lapangan sampai hari ini ada diskriminasi itu. Belum lagi soal hak cuti haid yang sulit didapat oleh pekerja perempuan.

Dari mulai ada kewajiban membawa surat sakit dari dokter, padahal haid bukan penyakit. Bahkan di sebuah pabrik, pekerja perempuan harus membawa celana dalam yang memiliki bercak darah sebagai bukti haid. Apakah itu semua manusiawi?

Maka dari itu, bersama (Aliansi) Clamber dalam Internasional Women’s Day 2019 kami membawa tema ‘Bergerak Keluar dari Kelas Tertindas, Mewujudkan Politik Alternatif, Menuju Demokrasi Sejati!’. Mengapa? Sebab perempuan akan selamanya tertindas kalau tidak berjuang bersama-sama. Tentunya perjuangan itu juga harus melibatkan laki-laki dan gender lain. Karena perjuangan perempuan melawan budaya patriarki (budaya menganggap perempuan lebih lemah dari laki-laki) juga harus seiring dengan melawan penindasan di semua sektor, dan itu harus bersama-sama, tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri.”.

Dalam rilisan persnya, Aliansi Clamber pun menjabarkan bahwa perempuan mendapatkan ketidakadilan dalam ranah domestik dan tempat kerja.

Perempuan di ranah domestik, perempuan masih diidentikan dengan “Kasur, Sumur, Dapur” plus dengan stigma yang masih tersemat pada diri perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya.

Sedangkan di tempat kerja–senada dengan yang dikatakan Supinah–ketidakadilan juga didapat perempuan. Upah kerja perempuan yang masih jauh lebih rendah dari upah laki-laki. Pemberlakuan Upah Padat Karya dan diberikannya tunjangan anak adalah bentuk nyata diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja. Upah rendah pekerja perempuan adalah imbas dari kebijakan rezim pro-neoliberal Jokowi melalui PP 78 yang menentukan kenaikan upah buruh harus ditentukan berdasarkan investasi asing dan hanya dapat naik tak lebih dari 8%, merupakan contoh nyata dari kebijakan ini.

Diskriminasi upah perempuan diperburuk dengan kondisi tempat kerja yang tidak layak. Tidak adanya jaminan kesehatan, ruang menyusui, penitipan anak dan sering dijumpai pelecehan dan kekerasan sseksual terhadap perempuan di tempat kerja.

Hal yang menarik, kritik Aliansi Clamber terhadap rezim pro-neoliberal Jokowi ternyata tidak serta merta menjadikan mereka mendukung paslon tandingannya, Prabowo. Menurut Ricko, salah satu panelis yang berbicara dalam konferensi pers ini, mengatakan bahwa baik Jokowi maupun Prabowo, sama-sama akan melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Baik itu menghisap secara ekonomi melalui keberpihakannya pada pemilik modal, maupun dalam soal pelanggengan budaya kekerasan, yang selama ini paling merugikan kaum perempuan.

Dalam aksi peringatan IWD tanggal 8 Maret nanti, aksi akan diisi dengan panggung ekspresi perempuan dan mimbar bebas, dimulai dengan longmarch dari Monumen Juang – Dipati Ukur – Cikapayang – Dukomsel – Jalan Diponegoro dan akan berhenti di Gedung Sate.

Tema yang diusung adalah “Bergerak Keluar dari Kelas Tertindas Mewujudkan Politik Alternatif Perempuan melalui Demokrasi Sejati”.

Dalam bagian akhir rilisan persnya, Aliansi Clamber menyerukan: Bergabunglah dalam peringatan Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret 2019. Gelorakan Api Perjuanganmu!


(daunjati/Naufal)